28. A New Beginning

5.4K 204 9
                                    

Maliq melepas kacamata hitamnya yang sedari tadi ia kenakan saat akan berjalan menuju Bandara International Soekarno Hatta. Hari ini hari keberangkatannya menuju Oxford, setelah sebelumnya berpamitan pada orang tuanya, kini laki-laki yang memiliki setengah keturunan Arab itu harus berpamitan pada mantan gadisnya.

Tadinya Maliq menolak Heni untuk mengantar, banyak hal yang menganggu pikirannya jika ia mengizinkan. Bisa jadi Maliq tidak tega melihat gadis itu menangis atau bahkan bingung memikirkan bagaimana caranya gadis itu pulang karena Maliq mengenakan jasa penerbangan di jam akhir. Tetapi dasar gadis keras kepala, di luar dugaan meski Maliq sudah menolak, Heni tetap kekeuh pada keinginannya. Bahkan Heni sendiri sudah bertengger sejak siang dirumah Maliq, membuat laki-laki itu tak habis pikir meski bahagia kalau Heni masih sepeduli itu pada dirinya.

"Kalau kamu pulang, kabarin aku ya." Setengah mati Heni menahan benteng pertahanannya untuk tidak mengeluarkan secuil air mata pun saat perkataannya dibalas senyuman oleh laki-laki yang pernah mengisi hidupnya beberapa tahun belakangan ini.

"Aku pergi ya." Pamit Maliq karena merasa kode pesawat yang akan ia tumpangi sudah diserukan oleh pramugari melalui pengeras suara.

Kepala Heni tertunduk, disaat-saat seperti inilah dirinya diuji. Siapa coba yang ingin melepaskan seseorang yang kita cintai untuk pergi walau itu tidak lama? Tetapi Heni sadar meski ia mencintai Maliq, dirinya tidak boleh egois. Terlebih Heni bukan siapa-siapa Maliq lagi.

Maliq mendesah kesal, ia tidak bisa melihat Heni seperti ini. Bisa-bisa ia membatalkan tujuannya, karena inilah kelemahannya. "Hei ayo dong, tadi katanya janji gak bakal nangis."

Kepala Heni mendongak, kedua matanya mengembangkan uraian air mata disana. Di tatapnya lekat-lekat wajah Maliq, meski masih bisa berkomunikasi, paling-paling via Skype. "Kamu jangan lupain aku ya." Heni merajuk, membuat Maliq terkikik. Bagaimana bisa ia melupakan mantannya setelah melalui masa-masa indah dalam pendekatan selama 3 tahun dan pacaran yang nyaris setengah tahun.

"Kalau aku gak bisa? Gimana?" Gumam Maliq yang masih bisa Heni dengar. Tangan Maliq bermain di rambut Heni, menyelipkan sebagian rambutnya kebelakang telinga. Mungkin istilah lain bagi mereka adalah Mantan Terindah, lalu kalau Terindah kenapa berakhir dengan perpisahan?

"Ya pokoknya jangan lupa. Kalau pun kamu juga udah punya pacar baru disana." Sebuah senyuman tersungging di bibir Maliq, apa dia tidak tau? Sejujurnya Heni berat mengatakan hal seperti itu.

"Kamu juga ya, kalau punya pacar kasih tau aku. Jangan sungkan cerita." Heni mengangguk lesu, membayangkan mereka berdua nantinya memiliki pasangan hidup masing-masing membuat pusing dikepala.

"Bye." Sebuah kecupan hangat mendarat di kening Heni. Membuat gadis itu tersipu malu akan kelakuan Maliq.

"I will miss you." Ucap Heni dalam hati dan langsung berhamburan memeluk tubuh tegap Maliq yang dibalas dengan dekapan hangat.

Sedetik kemudian Maliq merasa bahwa gadis yang ada dalam pelukannya itu menangis. Tubuh gadis itu bergetar dengan suara isakan yang hanya bisa di dengar dirinya. "I'm gonna be okay." Kata Heni melemah sambil melepas pelukannya dan menghapus jejak air matanya.

Maliq menelan salivanya cepat seraya dengan suara-suara pemanggil di pengeras suara yang sudah sejak tadi terus menyerukan kode pesawat yang akan ia tumpangi. Diraihnya kedua tangan Heni kemudian digenggamnya erat.

"Kamu tau berapa banyak waktu yang kita habiskan selama ini untuk membuat moment tersendiri? Sebanyak itu pula aku kesulitan menepis perasaan yang masih timbul di hati untuk kamu meski aku merasa lebih nyaman dengan status kita saat ini. Aku bahkan belum sempat berpikir untuk mencari sosok yang lebih baik untuk menggantikan namamu di relung hatiku. Terserah kamu mau percaya atau tidak, sepulang aku dari Oxford nanti, jika perasaan itu masih ada. Aku dan orang tuaku akan datang menemui kamu dan orang tuamu dirumah. Aku akan melamarmu. Namun jika tidak, aku akan mengajak kamu ta'aruf."

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now