15. Not a Bad Thing

6.5K 297 8
                                    

2 minggu yang lalu sepertinya aku baru saja menerima sebuah undangan pernikahan yang di dalamnya tertera nama Venna dan Mario. Ooh, ternyata mereka jadi menikah juga. Dan sekarang hari itu tiba, rasanya waktu cepat sekali berlalu. Mengapa harus Venna yang mendahului aku dan kedua sahabatku lainnya untuk menikah? Dalam hati aku merasakan perasaan iri yang menyerbak.

Bertempat di sebuah hotel mewah, lebih tepatnya di ballroom, resepsi pernikahannya dilaksanakan. Ijab qabul sudah selesai di lakukan dan di ucapkan dengan lantang oleh Mario di sebuah masjid, pagi tadi. Dan kini, mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Anyway, congratulations!

Waktu menunjukkan pukul 19.00 pas, para tamu undangan semakin ramai berdatangan. Nampaknya ini akan menjadi sebuah malam yang panjang. Aku sendiri kemari datang bersama Oma dan Vano. Entah ada angin apa Vano mengajak datang bersama, mengingat tempo lalu ia marah padaku. Ku lihat kehadiran Annisa disini, tetapi tentu tak bersama Stevent. Hmm, ku perhatikan pula ternyata Stevent telah menggandeng gadis baru. Jadi mereka benar-benar telah resmi berpisah? Setelah 3 tahun berpacaran, itu tentu tidak mudah.

"Hai, Nar." Sapa Annisa ramah padaku. Aku tersenyum padanya selembut mungkin.

"Datang sendiri, Ca?" Tanyaku pada Annisa. Ia mengangguk.

"Heni mana?" Aku kembali bertanya saat sedari tadi tak melihat keberadaan Heni. Selepas ijab qabul mengapa sahabatku yang satu itu tak kelihatan? Maliq juga tak ada. Apa mereka ada masalah? Tanyaku dalam hati.

"Mungkin sebentar lagi datang." Kata Annisa menjawab pertanyaanku. Aku pun mengangguk.

"Gue kesana dulu, ya." Lanjut Annisa lagi sambil menunjuk ke arah dessert table. Lagi-lagi aku mengangguk dan Annisa kemudian berlalu untuk mencicipi hidangan yang disediakan.

Aku kembali duduk sendiri, tentunya di barisan kursi putih bermeja bundar yang berwarna sama ini. Aku terus menerus menatap ke arah pintu masuk hotel. Nah, akhirnya seseorang yang ku tunggu datang. Aku melihat Heni keluar dari mobil sport birunya. Ia sangat anggun dengan memakai long dress berwarna pink di bagian punggung sedikit terbuka.

Aku mengangkat tanganku saat ia melihatku di ballroom ini. Heni pun langsung menuju ke arahku. Ia lantas mengambil kursi untuk duduk disampingku dan Heni langsung memelukku sambil menangis terisak. Hai, ada yang tau Heni kenapa?

"Why?" Tanyaku kaget saat mendapat perlakuan seperti ini. Namun aku tetap membalas pelukan Heni dengan mengelus punggungnya lembut, bermaksud menenangkan.

"Nar, sebenarnya gue malas datang kesini. Pasti nanti ada Maliq, kan?" Aku merenggangkan pelukan Heni dan menatap ke arahnya bingung. Bukankah jika Maliq hadir itu akan membuatnya senang dan bahagia?

"Kita putus. 3 minggu yang lalu." Aku menghela nafas. Jadi ini alasannya.

"Terus kalau Maliq benar-benar ada disini, lo mau pergi ninggalin pesta ini?" Aku bertanya padanya dengan tatapan menggertak. Enak saja ia pergi, bagaimana perasaan Venna nanti.

Heni menunduk sambil mengelap air mata yang mengembang di kedua matanya menggunakan tissue. "Gue belum siap aja, Nar."

Aku kembali menghela nafas. Beginikah perasaan seseorang yang baru putus cinta? Beruntung aku belum pernah merasakannya.

"Ya, siap atau enggak, kita disini kan buat Venna. Fokus Venna sama calon keponakan kita." Heni mengangguk setelah mendengar pernyataanku. Tampaknya suasana hatinya sudah mulai tenang.

"Udah jangan nangis-nangis, nanti mascara lo luntur tuh." Candaku mencoba merubah moodnya. Heni tersenyum. Ya, begitu lebih baiklah. Setidaknya ia tak menangis lagi.

Aku bangun dari dudukku saat Vano menarikku untuk menemaninya bersalaman dengan kedua mempelai dan juga keluarga mempelai.

"Kenapa harus aku, sih?" Protesku pada Vano saat ia menggenggam tanganku menuju pelaminan.

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now