4. I'am Jealous, Boy's - Part A

9.3K 362 5
                                    

"Ayo Narra, kejar aku, terus.." Vano meneriakiku sambil tertawa dan mengumbar senyumannya. Ia terus berlari menjauhiku di lahan yang banyak tertanam dandelion ini, sementara aku terus berusaha mengejarnya dalam kecepatan lariku.

"Ah, Vano. Capek, ah! Aku lambaikan tangan ke kamera nih." Kataku terengah-engah dengan melambaikan tangan keatas. Pertanda aku sudah tak kuat lagi berlari menangkap Vano

Pemuda itu berjalan mendekatiku, ia mengacak pelan tatanan rambutku, "Baru segitu saja sudah capek. Uh, payah kamu." Aku berusaha mengatur nafasku senormal mungkin. Jantungku berdegup kencang, lelah tak lagi ku rasa. Saat ini aku merasa sangat bahagia.

"Gendong dong, baru aku kuat deh." Pintaku manja.

Ah, aku tak percaya, Vano menuruti permintaanku. Ia berlutut membelakangiku dengan kaki kiri ditekuknya. Aku memandangi punggungnya, rasanya ini sebuah mimpi.

"Ayo naik, kok diam." Aku terkesimah, segera kunaiki punggung lebar itu, tangan ku mengalung dari belakang leher Vano.

Vano pun mulai bangun pelan-pelan, tangannya ia arahkan kebelakang, menautkan jemarinya untuk menopang bokongku, "Siap?"

Aku mengangguk penuh semangat. "Lari ya, Van." Begitu juga Vano, ia terlihat sangat bersemangat. Pelan tapi pasti, Vano mulai berlari kecil sambil menggendongku. Kami tertawa riang dan terkadang aku berteriak saat Vano berlari terlalu cepat. Aku takut ia tak menjaga keseimbangan dan kami malah akan jatuh nanti.

"Huh, capek ya." Aku mengelap peluh yang jatuh bergantian dari pelipis Vano dengan tanganku, kami berkeringat. Vano menatapiku dengan senyumnya yang khas.

"I love you, Narra." Katanya singkat dengan menahan tanganku untuk berhenti melakukan aktivitas ku sekarang. Meskipun singkat, kata-kata itulah yang selalu aku harapkan keluar dari bibir seorang Stevano.. Dan kini, itu terucap.

Aku membalas perkataannya dengan senyumku, "Do you love me?" Pertanyaan mengagetkan Vano barusan membuatku tersadar bahwa ia perlu jawaban dan bukan hanya sebuah senyum saja.

Aku membuka mulutku dan sedikit membasahi bibir yang kering ini dengan lidahku yang basah. Tubuhku bergetar, aku akan mengutarakannya, perasaan yang sudah lama ku pendam ini. Nyaris 3 tahun lamanya.

"Vanooo..." Belum sempat aku membalas pernyataan Vano. Sebuah suara berteriak kearah kami memanggil nama Vano. Kami berdua menengok ke asal suara. Rupanya yang berteriak itu adalah seorang gadis. Siapa dia berani berteriak memanggil Vano-ku? Pikiranku meracau.

Gadis itu berjalan dengan anggunnya mendekati kami. Tangannya mengamit tangan Vano dan di genggam kuat-kuat.

Aku menatap Vano, ia memberikan senyum khas-nya pada gadis itu. Senyuman itu kan harusnya hanya untukku. Siapa sih gadis ini? Aku terus berperang batin.

Kini Vano beralih menatapku, tanpa senyum, wajahnya datar. Hei, kenapa ini? Aku buru-buru mengambil tangan Vano yang satunya lagi untuk ku genggam. Aku tak mau kehilangan dia. Aku sangat mencintai pemuda ini.

Vano tak merespon genggaman tanganku, beda saat kulihat justru Vano malah lebih merespon genggaman tangan gadis disebelahnya itu.

Aku membeku. Seperti yang kulihat, gadis itu berjalan meninggalkan langkahnya dengan menarik Vano pelan-pelan. Vano sendiri melepas genggaman tanganku, tanpa menatapku sedikitpun. Mereka berdua berlari sambil tertawa gembira dengan tangan mereka yang saling bergandengan. Gadis itu menggantikan posisiku. Dia merebut Vano dariku.

Pukkkk!

Sebuah benda padat tepat sekali menghantam kepalaku atau memang sengaja dilempar kearahku. "Aww.." Aku mengaduh dan mengelus kepalaku. Rasanya sakit sekali. Aku membenarkan posisi dudukku dan merapihkan penampilanku.

Secret AdmirerOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz