25. Suasana Yang Mengharukan

5.4K 233 10
                                    

"ARGHHH... SAKITTTTTT!!" Erangan Venna membuat nyaliku menciut, air ketubannya benar-benar sudah pecah dan mengalir keluar. Tubuhnya dingin dipenuhi keringat yang menjalar. Ingin rasanya menolong, tetapi aku tidak tau apa-apa.

"Eh, lelet banget sih lo! Bisa bawa mobil gak sih?" Ku dengar suara Mario sudah berkoar membentak-bentak Stevent yang menurutnya terlalu lama membawa mobil.

"Sabar dong, macet nih!" Protes Stevent membenarkan posisinya.

Suasana saat ini benar-benar menegangkan. Semua pertanyaan berkelebat di kepalaku. Bagaimana kalau Venna tidak selamat? Atau anaknya? Atau keduanya? Setitik air mata jatuh dari kelopak mataku, terlalu takut membayangkan hal itu. Sebuah genggaman erat menyentuh jemari tanganku, Venna ternyata. Wajahnya pucat sekali, sebuah senyuman tersungging tulus dari bibirnya.

"Lo bisa, bertahan ya." Kataku menyemangati. Takut-takut kalau hal itu benar-benar terjadi.

Sekali lagi Venna mengerang, berteriak kesakitan, sekali lagi itu pun membuatku merinding. Tidak ada yang bisa kami perbuat, jalanan ibu kota saat ini benar-benar padat merayap dipenuhi kendaraan lain. "Oke, tenang. Kita berpencar aja. Yo, lo gendong nih Istri lo sampai keluar dari kemacetan. Lo Mal, keluar dari mobil dan cegat Taksi di depan jalan. Gue sama Narra akan cari Rumah Sakit terdekat. Stevent sama Annisa dan Heni tetap disini, hubungin keluarga dan ambulance kalau-kalau kita gak menemukan Rumah Sakit terdekat. Paham?" Komando dari Vano dibalas anggukan oleh kami semua. Satu persatu dari kami mulai menjalankan perintah Vano. Dalam hati aku berdoa, apapun kemungkinan yang akan terjadi, Tuhan tolong selamatkan keduanya.

Rasanya Tuhan benar-benar menjawab doaku, apa yang kami pinta dikabulkannya tanpa pamrih. Akhirnya, Venna behasil melahirkan dengan selamat dengan proses persalinan normal meski salah satu bayinya sempat terlilit tali pusar. Berita paling membahagiakannya adalah, sahabatku ternyata melahirkan bayi kembar, laki-laki dan perempuan. Dari luar ruang operasi, terdengar suara tangisan malaikat itu dengan nyaring. Ku usap air mata yang sempat jatuh, tertegun melihat pengorbanan Venna yang kini resmi menjadi seorang Ibu. Sebelum di bawa ke ruang incubator, dari balik kaca sempat terlihat Mario mengadzani kedua bayinya dengan khidmat. Venna masih belum sadarkan diri saat dipindahkan kekamar rawat, mungkin efek dari biusan Dokter.

Kami diizinkan memasuki kamar rawat Venna setelah keadaannya stabil. Wajah Venna terlihat bersemu saat sedang menggendong bayi perempuannya. Mario tersenyum menyambut sambil menimang bayi kembarannya. Vano menggenggam jemari tanganku membawa menemui mereka.

"Selamat ya." Kata itu terucap dari kami semua untuk orang tua baru ini. Mereka membalas dengan senyuman, tak beberapa lama keluarga besar mereka datang. Membuat ruangan ini terasa padat. Saat itu juga bayi kembar mereka yang diberi nama Zafania Radmilo Emery dan Zafanio Radmilo Emery pun dibawa kembali masuk incubator karena rentan terkena penyakit. Bayi kembar yang lucu dan menggemaskan, meski terlahir dengan bobot lebih kecil, tetapi tidak menampik bahwa bayi kembar itu sehat. Rambut mereka lebih dominan pada Ibunya, hitam dan lebat. Warna mata dan alis mereka menurutku masih diambil alih Venna kecuali untuk bentuk hidung dan bibir serta warna kulit, Mario yang mewarisi.

"Kamu ingin cepat menyusul ya?" Aku mendelik tajam ke arah Vano, pemuda itu akhir-akhir ini suka sekali meledek. Segera ku sikut perutnya dengan lenganku. Ia malah tertawa terbahak-bahak.

"Tenang, Sayang. Beberapa saat lagi kamu akan merasakannya." Tuh kan, dia meledek lagi.

"Vano, itu masih terlalu jauh." Lengan kokoh Vano terasa memeluk pinggangku. Disibakkannya rambut panjangku kebelakang.

"Kalau tiba waktunya, berikan aku bayi yang lucu seperti sikembar." Bisiknya sensual membuatku merinding merasakan sensasi berbeda.  Aku hanya manggut menuruti permintaannya, sedikit tidak mengerti apa yang ia bicarakan.

"Perhatian semuanya." Mataku dan beberapa sorot mata lainnya memandang ke arah Stevent yang meminta perhatian kami semua.

"Di hari kelahiran keponakan baru saya yaitu anak dari sahabat saya tercinta, saya Alfariel Stevent berdiri disini ingin mengungkapkan sesuatu jika kalian semua berkenan mendengarkan." Aku memiringkan kepala, menatap pemuda bule ini dengan intents.

Stevent berjalan mendekati Annisa yang berdiri disebelah Tante Sofia, berlutut di hadapannya. Tangan Stevent terulur meraih jemari tangan gadis itu dengan mudahnya. Sepertinya Annisa sudah tersihir oleh pesona mantan kekasihnya. Ya, pemuda itu berhasil.

"Maukah kau memaafkan segala keputusanku beberapa saat lalu yang telah menyakitimu? Maukah kau menerimaku kembali, gadis cantik?" Perkataan Stevent barusan membuat kedua pipi Annisa merona.

"Aku.." Sahutnya gugup, membuat Stevent menanti.

"Bagaimana soal Raysa?" Buru-buru Annisa menepis perasaan bahagianya, sosok Raysa yang menjadi calon tunangan Stevent patut dibahas agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari.

Stevent tersenyum. "Entah kenapa dia sendiri yang memutuskan rencana pertunangan yang dibuatnya."

Annisa terlihat menghela nafas, apa yang kali ini yang akan keluar dari bibirnya itu adalah penentu masa depannya. "Maukah kau menikah denganku?" Oh may, akhirnya.

Suasana berubah menjadi tegang saat Annisa belum juga membalas pertanyaan Stevent. Pandangan gadis itu beralih menatapku, seperti meminta pendapat. Aku tersenyum kearahnya, seakan mengatakan, ikuti kata hatimu. Lagi-lagi sahabatku itu menghembuskan nafas gusar, mulutnya perlahan terbuka untuk berkata. "Ya, aku mau." Sekali lagi ini kebahagiaan kedua yang aku dapatkan.

Kami semua tersenyum bahagia, Stevent mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru yang berisikan sebuah cincin bermata satu. Lalu dengan cepat cincin itu sudah melingkar dengan indahnya di jari manis Annisa. Rasa bahagia tak dapat ditutupi. Ucapan selamat itu semakin banyak terlontar.

Pintu kamar rawat Venna tiba-tiba terbuka, Heni memutuskan keluar. Membuat kami semua bertanya-tanya. Maliq terlihat mengejar, entah apa yang akan mereka lakukan. "Heni.. Heni, tunggu." Cegah Maliq dengan cepat meraih pergelangan tangan Heni, membuat gadis itu berhenti melangkah.

"Apa?" Sahutnya dingin. Tanpa menoleh ke arah Maliq sedikit pun.

"Ada yang mau aku katakan." Akhirnya Heni menoleh. Menatap Maliq kebingungan.

"Aku sudah memutuskan untuk kuliah di luar negeri." Tatapan mata Heni terlihat sendu. Apa tidak ada hal yang lebih buruk daripada ini? Huh?

"Selamat." Balas Heni dengan suara bergetar. Semoga kali ini ia masih sanggup mengkokohkan benteng pertahanannya.

"Hanya itu?"

"Lalu harus bagaimana?" Tanya Heni lemah. Dengan lembut, Maliq menarik Heni dalam dekapannya. Mengelus kepalanya dengan sayang, membuat gadis itu susah mengatur perasaan.

"Aku mau sebelum pergi, kita punya kesan yang baik." Cih, hanya kesan baik? Mata Heni memanas, menahan buliran air mata yang siap terjun bebas.

"Maliq?"

"Hmmm?"

"Aku cinta kamu." Ucap Heni nyaris tak terdengar bersamaan dengan air matanya yang jatuh begitu saja.

Maliq melepas pelukannya, menangkup wajah Heni dengan kedua tangannya membentuk bingkai. Heni tertunduk, segan menatap Maliq takut-takut ia akan semakin deras menangis dan hanya akan terlihat lemah. "Sssttt.. Jangan menangis."

Heni mengusap air matanya yang jatuh dengan kasar. "Sana pergi. Semoga kamu bahagia, Maliq." Ucapnya datar kemudian pergi meninggalkan Maliq yang tengah diam mematung. Rasa sesak itu kembali datang, menyeruak di kedua benak mereka.

'''

Haiiiiiiiiii, maaf aku ngaret ya... Selamat membaca cerita gaje ini lalalala... Ayo vote dan komentarnya jangan lupa ditinggalkan, supaya aku semakin semangat.

Oyaaa, sekalian promosi nih.. Jangan lupa baca cerita baruku yang sudah dipublish. Judulnya ANOTHER. Semoga kalian suka. THANKS BEFORE


Secret AdmirerWhere stories live. Discover now