22. Matchmaking

6K 253 32
                                    

Backsound: HURT by Christina Aguilera.

Sudah cukup rasa cemburu itu menggelayuti hatiku sore ini. Aku sudah lelah. Aku ingin pulang. Teriakku dalam hati.

"Kak Narra, ayo dong kita berenang lagi. Sudah lelah ya? Kak Narra payah sekali." Suara manja Acha memecah lamunanku yang sedang merutuki diri sendiri karena kebodohan sekaligus kecerobohan Vano.

"Berenang saja sendiri." Ketusku tanpa beralih pandang dari perosotan raksasa di dalam kolam renang yang sedang ku pandangi.

Aku dapat mendengar Acha sedang menggerutuh dibelakangku dengan sebalnya. Bocah itu benar-benar mengganggu acara liburan ku yang kata Vano hanya berdua ini. Ah, bullshit! Nyatanya Acha pun ikut.

Awalnya setelah mendaftar kuliah, aku dan Vano berniat akan liburan berdua di salah satu pusat perbelanjaan dan taman atau tempat rekreasi lainnya. Rencana itu kami rencanakan matang-matang setelah seminggu tidak bertemu usai acara Barbeque kala itu. Tetapi realitanya? Mengapa harus di ikut-sertakan bocah tengil tidak tau diri ini? Kalau saja keadaan tidak seramai sekarang. Aku akan menceburkan Acha atau bahkan menenggelamkannya sekalian! Ah, sebal!

"Tidak jadi masalahkan kalau Acha ikut?" Alisku langsung bertautan, bibirku mengerucut dan tatapan sebal tergurat jelas saat Vano berkata liburan kami harus rela terganggu karena Acha.

"Aku sudah tau kamu pasti akan mengajaknya." Tukasku menahan emosi.

Vano menggeleng lalu meraih jemariku kemudian di genggamnya. "Bukan soal itu. Maaf ya, ini salahku. Harusnya tidak aku sebarkan semalam di Path agar Acha tidak tau."

Aku memutar kedua bola mataku jengah. Aku ingat semalam Vano mempost moment di media sosial via Path tentang acara liburan kami lewat listening to lagu yang di dengarkannya. Tetapi aku tak menyangka bahwa Acha melihat dan langsung meminta ikut. Parahnya, kenapa Vano menyetujui? Apa alasannya?

"Kamu baik-baik saja kan?" Terpaksa aku menganggukan kepala. Memang kalau aku terlihat tidak baik, apa pedulinya bagi pemuda yang suka seenaknya seperti Vano. Paling-paling ia tidak peduli.

Kaca mobil porsche milik Vano yang terletak di samping kemudi terbuka, seseorang telah membukanya dan mengeluarkan sebuah kepala yang aku tau itu Acha. Oh rupanya bocah itu sudah ambil tempat duduk di samping kursi kemudi Vano.

"Kak.. Ayo cepat! Kalau kesiangan keburu panas nih." Perasaan dongkol semakin menyerang perasaanku. Ku lirik sekilas ke arah Vano, dirinya diam mematung sampai akhirnya menuruti keinginan Acha masuk ke dalam mobil. Aku bahkan sampai tak di ajaknya atau sekedar menyuruh Acha berpindah tempat. Tega-teganya dirimu, Stevano!

"Kak Narra, jadi ikut tidak? Lama banget sih."

Vano menatapku iba antara ingin menyuruh aku untuk tinggal dan membiarkannya hanya menikmati moment berdua Acha atau menghentikan ocehan tidak sopan gadis ini. "Bicara yang lebih sopan kedengarannya lebih baik. Kamu seperti bukan anak sekolah saja." Kata Vano membelaku.

"Habis Kak Narra sengaja berlama-lama. Kalau tidak mau ikut bilang saja." Sikap Acha benar-benar bak princess di negeri dongeng sekarang ini. Dan aku? Sudah jelas aku yang menjadi dayang-dayangnya.

Aku malas di bicarakan tidak enak seperti itu lama-lama. Ku buka kasar pintu belakang porsche abu-abu mobil ini. Aku menempati tempat duduk di bagian belakang sedangkan Vano dan Acha di bagian depan. Posisinya persis saat pertama kali aku menaiki mobil kesayangan Vano ini.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk membangun benteng pertahanan yang lebih kokoh agar air mataku tidak jatuh walaupun sebenarnya hatiku sudah berlubang-lubang bagai tertusuk berbagai macam benda tajam. Mataku panas melihat kejadian di depanku ini. Acha sedang menyuapi Vano dengan bekal makan yang dibawanya. Entah lapar atau memang ingin membuat Acha senang, Vano malah asyik menerima beberapa kali suapan yang Acha berikan.

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now