23. Stevano or Rendy?

6.6K 255 18
                                    

"Woy, Kang... Nyaneh teh bisa bawa mobil tidak?!! Kalau sampai taxi saya celaka, kumaha?" Amukan dan protes sebal dari seorang supir taxi yang sedang ku tumpangi terlontar begitu saja dengan medoknya saat sebuah mobil menghalangi langkah taxi ini untuk melaju.

Pandanganku semakin terfokus pada sosok orang yang keluar dari dalam mobil pajero putih. Oh, mobil itu.. Mobil Rendy! Ya benar, pemuda berusia 27 tahun itu keluar dari mobilnya dengan menggunakan style anak muda pada zamannya dan tidak terlihat formal seperti pakaian kebanggaan Rendy di rumah sakit.

Aku segera menghapus air mata yang sudah kering di pipi dan pelupuk mataku. Bahaya kalau sampai Rendy tau aku menangis.

"Maaf, Pak. Saya hanya mau mengambil penumpang didalam." Ujar Rendy berbicara pada sang supir.

Di lihat dari kaca spion taxi, kening supir itu berkerut seperti menduga-duga siapa Rendy sebenarnya. "Tidak. Nyaneh teh mau macam-macam nyak? Mau saya teriakin ini?"

"Eh.. Eh... Bukan, Pak. Yang didalam taxi itu teman saya. Boleh ya." Pinta Rendy memelas agar laki-laki paruh baya yang duduk di kursi pengemudi ini mau menurunkan penumpangnya yaitu aku dijalan. "Sebagai gantinya, ambil uang ini, Pak. Semoga cukup untuk ongkos taxi teman saya." Kata Rendy lagi diselingi dengan memberi pecahan seratus ribuan sebanyak 3 lembar pada sang supir yang ia ambil dari dompet kulit coklatnya.

Supir taxi itu mengangguk setelah mendapatkan uang dalam arti mengizinkan aku turun dan ikut dengan Rendy. Dokter muda itu langsung dengan sigap membuka pintu taxi bagian belakang dan menarikku keluar. "Aku bisa pulang sendiri, Ren."

"Aku juga bisa menjaga kamu, tidak seperti calon suamimu itu."

Aku mendecak kesal. Luka di hatiku belum mengering sejalan dengan air mataku yang jatuh sia-sia ini, tetapi Rendy sudah kembali mengingatkan aku pada sosok pemuda yang membuatku seperti ini. "Mau ya untuk tidak menolak pulang bersamaku." Ujar Rendy bersungguh-sungguh sambil menggenggam jemari tanganku.

Aku menghela nafas gusar, tentu saja aku tidak berniat menolak tumpangan yang Dokter muda ini berikan. Mengingatnya harus menyusulku jauh-jauh sampai kesini, itu pasti butuh pengorbanan. Aku tidak ingin mengecewakan Rendy, tetapi bagaimana ya.. Aku ingin menyendiri saat ini.

"Narra pulang bersama saya." Suara khas yang berat itu kembali terdengar. Dari parfum yang dikenakan, aku hafal siapa orang ini. Cih, masih punya hati juga pemuda seenaknya satu ini.

Vano keluar dari mobil porsche abu-abu miliknya kemudian berdiri disampingku dan menautkan jemari tangannya pada jemari tanganku. Aku mendelik tajam kearahnya. Segera ku sentak jemari Vano yang mulai menggenggam jemariku. Ekspresi di wajah Vano terlihat datar saat ku perlakukan seperti itu, ia seperti menerima apa yang aku lakukan ini. Berbeda halnya dengan wajah Rendy yang terlihat geram melihat Vano yang masih saja berani menampilkan batang hidungnya setelah berhasil membuat kedua mataku menumpahkan air mata sepanjang perjalanan hingga Rendy menyusul. Tangan Rendy terkepal kuat-kuat menandakan bahwa ia sangat tak suka aku diperlakukan seperti itu oleh Vano. Tolong, tolong, untuk saat ini jangan memulai pertengkaran. Batinku bergumam.

"Kenapa? Ada yang salah kalau saya membawa pulang calon istri saya?" Sentak Vano menantang mendapati Rendy yang menatap sinis ke arah dirinya.

Rendy tersenyum sinis. Kali ini benar-benar sinis, tatapan matanya bahkan terlihat jijik dan enggan menatap Vano. "Kamu masih merasa gentle, begitu? Ada berapa banyak gadis yang kamu perlakukan dengan manisnya di belakang calon istrimu? Hmm?"

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang