24. Pengakuan

6.7K 241 17
                                    

Gelapnya awan dan semilir angin datang menyambut kehadiranku dan Vano di kediaman orang tua Venna. Rintik hujan perlahan mulai turun, menambah kedinginan suasana di ruang tamu bergaya minimalis ini. Kami semua hadir disini setelah Rendy mengizinkanku keluar Rumah Sakit untuk memberi pengakuan dan keterangan bersamaan dengan beberapa kedatangan ajudan Polisi yang bertugas mengintograsiku sebagai korban dan Vano sebagai saksi. Keluarga besar Venna serta Mario sempat kaget dengan berita penerroran yang dilakukan Mas Alvin. Tante Sofia sedari tadi bahkan tak henti-hentinya menangis dalam pelukan Om Ray yang terlihat tegar meski wajahnya menyisakan kekecewaan besar.

Aku menatap lirih Venna, sedikit terbesit rasa bersalah karena menyebabkan Kakaknya harus mengendap di balik jeruji besi. Vano merengkuh tubuhku bermaksud menenangkan. Aku menangis dalam dekapannya. "Ini semua gara-gara aku." Ucapku sambil terisak.

Vano menggeleng. "Bukan. Kamu tenang ya." Tuturnya halus sambil membelai rambut panjangku.

"Menurut laporan, sudah banyak yang dilakukan pelaku kepada korban. Salah satunya percobaan pembunuhan." Terang salah seorang Polisi menuturkan kesalahan yang diperbuat Mas Alvin.

"Tolong bebaskan Putra saya, berapapun jaminannya akan saya tanggung, Pak." Pinta Tante Sofia memelas.

"Maaf Bu, kami tidak bisa. Ini sudah termasuk tindak kriminal. Untuk sementara waktu sdr. Alvin akan kami tahan dan biar Pengadilan yang menentukan." Tegas Polisi satu lagi.

"Gak adil." Geram Venna menahan air mata yang hampir jatuh kemudian bangkit meninggalkan kami semua di ruang tamu. Mario berniat ingin mengejar istrinya, tetapi ditahan Vano. Melihat kesempatan seperti itu langsung ku manfaatkan untuk mengejar Venna meminta penjelasan.

Aku mengikuti wanita hamil itu sampai di sebuah kamar berdesain bendera Inggris. Oh, aku tau kamar ini milik Mas Alvin. Ku lihat Venna duduk di tepi ranjang sambil menangis sendu. Aku iba melihatnya, segera ku hampiri dan langsung mengelus lembut punggung Venna.

Wanita itu menoleh dan langsung memelukku. Tangisnya pecah saat aku balas memeluknya, meski terhalang perutnya yang semakin membuncit. "Maafin Kakak gue, Nar." Imbuhnya miris.

Tanganku dengan lembut membelai rambut hitam panjang sahabatku ini. Berkali-kali ku coba menghela nafas. Menenangkan perasaan dan mencari berbagai macam kosa kata untuk ku gunakan bertanya tanpa menyinggung perasaannya.

"Gue gak ngerti kenapa Mas Alvin bisa senekat itu." Lanjutnya lagi. Aku menggeleng pelan, mencoba bersikap tenang untuk sekedar meyakinkannya bahwa ini semua bukan mutlak kesalahan Mas Alvin.

"Dulu, Mas Alvin pernah cerita kalau sedang suka sama seorang gadis. Dia bilang, umurnya sebaya sama gue. Kita satu sekolah. Tapi gue gak pernah berpikiran yang dimaksud Mas Alvin itu adalah lo. Pernah suatu saat Mas Alvin menunjukkan foto gadis itu, tapi cuma dari arah belakangnya aja. Sekilas penampilannya mirip sama lo, saat gue tanya Mas Alvin, dia bilang hanya mirip. Beberapa kali gue pernah liat Mas Alvin jalan sama gadis lain. Tetapi dari sikap Mas Alvin dan sorot matanya, tidak ada gambaran Mas Alvin mencintai kekasihnya. Sebelum Ujian kelulusan kita, Mas Alvin balik ke Inggris. Dia pernah berpesan sama gue untuk tidak memasuki kamarnya, apalagi sampai membuka isi lemarinya. Gue menurut, dan ini pertama kalinya setelah dilarang Mas Alvin gue memasuki kamarnya. Tapi gak ada yang janggal, jadi apa semua ini benar perbuatan Mas Alvin?" Aku tersentak mendengar apa yang baru saja Venna katakan. Otakku mencoba memutar memori sikap Mas Alvin saat bersamaku. Tidak ada yang janggal, itu benar. Mas Alvin yang bisa mengendalikan emosinya dengan baik atau memang ia sengaja menyusun rencananya dengan rapih? Batinku beragumentasi.

"Bagaimana kalau kita buka lemarinya? Untuk membuktikan rasa penasaran kita sendiri, Ven." Kepala Venna menggeleng kuat. Membuka privasi orang lebih jauh bukan termasuk sifatnya.

Secret AdmirerOù les histoires vivent. Découvrez maintenant