7. Air

31 10 2
                                    

Aku, Kamal, Nadia dan Zaheer meninggalkan Desa Matahari keesokan harinya. Kami berkuda puluhan kilometer untuk mendatangi Hiraeth dan menyelamatkan nagaku. Beruntung Lili sangat baik, dia memberikan perbekalan yang cukup banyak, salah satunya adalah pedang yang kini berada di punggung Kamal.

Kami berangkat saat pagi hari dan terus menempuh jarak, berhenti hanya untuk memberikan minum kuda-kuda kami. Kami pikir kami akan tiba di wilayah Hiraeth saat malam hari, namun masih jauh dari sana kami sudah disambut oleh beberapa orang yang menghadang jalan kami.

Aku menarik tali kudaku untuk menyuruhnya berhenti. Aku memicing menatap tujuh orang di depan sana yang menggunakan penutup wajah. Salah satu dari mereka membuka penutupnya, menampilkan wajahnya yang terkesan angkuh, Harsa.

"Bagus, kamu membawa si pengkhianat itu," ujar Harsa sambil menatap ke arah Zaheer.

Zaheer memicingkan matanya, menatap Harsa tidak suka.

"Kamu menginginkanku? Maka aku datang. Sekarang, di mana nagaku?"

Harsa tersenyum miring, dia lalu mengarahkan kedua tangannya ke depan. Harsa memejamkan matanya, lalu membukanya beberapa detik kemudian.

Aku melihat Nadia terkejut, dia ikut mengangkat tangannya ke depan sambil berkata, "Dia menunggunakan pengendalikan raga. Kita harus—"

Belum sempat Nadia menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba secara serempak keempat kuda yang kami tunggangi meringkik dengan kencang dan melompat. Gerakan tiba-tiba dari kuda kami membuat aku, Kamal, Nadia dan Zaheer terkejut. Kami semua terjatuh ke tanah, lalu menyaksikan keempat kuda kami yang berlari meninggalkan kami.

"Sekarang kalian tidak bisa ke mana-mana," ujar Harsa.

Setelah mengatakan itu, Harsa menjentikkan jarinya. Awalnya hutan yang terlihat sepi, kini muncul banyak orang di setiap sisi dan sudut wilayah itu. Begitulah cara Harsa mengelabui kami, menggunakan cincin Ramzi untuk menciptakan ilusi mata. Semua anggota Hiraeth muncul di sini, mengepung kami.

"Harusnya aku tidak terkejut dengan cara licikmu ini, Harsa," ujarku.

Harsa tersenyum, menatap semua anggota Hiraeth yang menguasai hutan ini. Aku melihat beberapa dari mereka duduk di antara pohon-pohon besar, beberapa lagi duduk di antara batu-batu, sisanya berada di belakang Harsa dan berdiri di antara aku dan teman-temanku.

Melihat kami yang terkepung, ketiga temanku mengambil ancang-ancang untuk bertarung. Kamal menarik pedang di punggungnya dengan tatapan siaga, Nadia sudah siap menggunakan sihirnya saat serangan datang, dan di tangan Zaheer sudah ada air yang berputar-putar di sana menunggu pria itu lepaskan.

"Menyerahlah dan kami tidak akan menyakiti kalian." Harsa mengepalkan tangannya, maju satu langkah. "Karena percuma kalian melawan, kalian tidak akan menang. Kami jauh lebih banyak dan kuat."

Saat Harsa mengepalkan tangannya, aku merasa tubuhku juga ikut kaku, saat itu itu aku sudah tidak bisa bergerak. Aku tahu pria di depanku itu menggunakan teknik pengendalian raga untuk mengunci tubuhku, namun aku tidak bilang pada teman-temanku untuk mencegah kepanikan. Yang aku lakukan saat itu, tetap tenang.

"Suruh teman-temanmu menyerah, Elok. Kamu tahu kalau kalian tidak akan menang," ujar Harsa.

Aku hanya diam karena masih terus berpikir. Aku lalu bertanya, "Di mana nagaku?"

"Ada di desa kami." Harsa makin mendekat, sementara tubuhku masih terkunci. "Ikut dan turuti kemauanku maka nagamu akan baik-baik saja."

Aku baru saja akan menjawab, namun aku mendengar Nadia berbisik di belakang pada Zaheer, "Apa kamu bisa menarik air dari tanah sebanyak-banyaknya?

Sebelum Malam Where stories live. Discover now