19. Gerhana dan Cahaya

90 14 2
                                    

Tibalah hari di mana aku dan Kamal melepas orang-orang yang akan mempertaruhkan hidup mereka untuk Viraksa. Pagi ini kami berkumpul untuk melepas kepergian masing-masing dari mereka yang berencana mendatangi setiap kota di plosok Viraksa untuk mengajak para pemimpinnya bergabung dalam perang ini, mengajak semua pemimpin kota untuk melawan para penyihir jahat, dan Sang Malam.

"Aku baru bertemu denganmu lagi, namun sekarang aku harus melepasmu?" Aku menatap Lim dengan perasaan tidak menentu. Berat rasanya melepas kepergiannya.

Lim tersenyum, dia mengusap kepalaku, lalu turun ke wajahku. "Ini sudah menjadi tugasku. Aku seorang prajurit. Hidup dan matiku untuk negara."

Aku menyentuh tangannya. "Kamu belum pulih total."

"Aku tahu. Namun aku senang dengan tugas ini, pergi ke sisi selatan." Lim tersenyum, ada kebahagiaan dari tatapannya. "Rumahku ada di Purash, salah satu kota di bagian Selatan Viraksa. Kembali ke Selatan sama saja kembali ke kampung halaman. Aku senang bisa kembali pulang, meski tidak selamanya."

Aku menatap Lim dengan mata berkaca-kaca, menatap Lim yang kini sudah kembali pada tugas dan sumpahnya. Pria itu mengenakan baju besi, membawa sebuah pedang layaknya kesatria, mengenakan helm baja untuk melindungi kepalanya, dan mengenakan sarung tangan sebagai pelengkap. Aku tidak bisa membayangkan seberapa berat pakaian dan tanggungjawab yang dia pikul.

Aku memeluknya. "Aku berharap kamu kembali dengan cepat."

Lim membalas pelukanku, mengusap rambutku dengan penuh rasa sayang. "Aku bukan hanya akan kembali, aku akan kembali dengan membawa dukungan dari Selatan."

Setelah berpamitan denganku, Lim beralih ke arah Kamal. "Jaga Elok."

Kamal yang tengah mengasah pisaunya sambil bersandar pada salah satu pilar hanya berdeham sebagai respon. "Hm."

Aku menoleh ke arah Wulan yang juga sudah bersiap untuk keberangkatannya ke sisi Barat Viraksa bersama Jaka dan Rama, untuk mengajak para pemimpin kota di Barat Viraksa agar mau ikut berperang melawan Sang Malam dan bala tentaranya, merebut kembali Ibu Kota dan menciptakan perdamaian. Aku pun menghampirinya.

"Pakaian yang cantik," ujarku padanya.

Wulan yang tengah berbincang dengan salah satu prajurit pun menoleh ke arahku dan tersenyum. "Terima kasih."

Wulan tampak lebih cantik dan segar. Dia mengenakan jubah biru dengan pernak-pernik yang menempel pada kainnya, pernak-pernik itu berkelap-kelip memamerkan kesan elegan. Jubah di bagian pergelangan tangannya lebar dan di bagian dua pundaknya sedikit lancip. Rambutnya digerai dengan indah, wanita itu mengenakan sebuah jepitan berbentuk daun di kepalanya.

Aku tidak menyangka Wulan akan mengambil kedua tanganku dan menggenggamnya. "Aku melakukan semua ini untukmu, kami semua melakukannya untukmu."

Tentu aku bingung. "Bukan, kalian melakukannya untuk negeri ini."

"Negeri ini adalah kamu, Elok. Tanpa kamu, Viraksa tidak akan bertahan lama." Wulan mengikis jarak di antara kami. "Dia datang untukmu, membawa perang dan kebencian. Ambisi gelapnya membawa malam panjang bagi dunia, dan kita harus mengakhirinya."

Aku tahu siapa yang dia maksud, aku pun mengangguk. "Ini perang kita, kita harus mengalahkannya bersama. Ini tugas kita semua, kan?"

Wulan hanya membalas dengan senyuman, sebelum akhirnya pergi bergabung dengan Jaka dan Rama di bawah beranda.

Aku lalu menoleh ke sisi lain, di mana aku melihat Soraya dan Ramzi tengah berbicara pada kedua adik mereka. Dua orang itu nampaknya tengah memberikan wejangan pada Arya dan Sunar. Biar bagaimanapun Soraya dan Ramzi adalah anak tertua, dan kini mereka berdua akan meninggalkan rumah mereka sementara. Pasti banyak pesan untuk dua adiknya yang akan menjaga rumah selagi mereka pergi.

Sebelum Malam Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz