4. Mimpi buruk

16 4 0
                                    

Aku, Kamal, Nadia dan Zaheer sudah berjalan hampir tiga jam setelah keluar dari Desa Sukacita melalui mata air. Sekarang pagi telah tiba, matahari telah menunjukkan perannya di dunia. Entah sudah berapa kilometer kami berjalan, tapi kami sama sekali belum menemukan nagaku.

Harapanku untuk sampai di Kota Tua dalam kurun waktu yang telah kami tentukan mulai pupus, ditambah perbekalan kami telah dirampas. Kami sekarang berjalan tanpa perbekalan, membuat kami harus pintar-pintar bertahan di tengah hutan. Kami hanya membawa beberapa buah yang kami temui di perjalanan untuk menjaga perut tetap terisi.

"Pria itu memang menyebalkan, ya?"

Aku menatap Kamal yang berjalan memimpin di depan. "Siapa?"

"Ituloh, pimpinan para perampok sialan itu."

Zaheer di barisan paling belakang menjawab, "Oh, itu Harsa. Dia memang menyebalkan di mata orang-orang yang hartanya di jarah, tapi dia sangat dicintai para rakyat Desa Sukacita."

"Huh! Dicintai?" Kamal mendengus kesal, tangannya menyibak dahan pohon di depan. "Apanya yang bisa dicintai dari dia? Dia pencuri rendahan! Tidak punya sopan santun! Dia juga tidak tampan, setidaknya tidak lebih tampan dariku."

Nadia di belakangku tertawa. "Mungkin itu menurutmu. Menurutku sebagai seorang wanita, Harsa itu tampan. Dan, dia lebih tampan dan jantan daripada dirimu, Kamal."

Kamal berhenti, menoleh ke arah Nadia. "Apa kamu bilang, Nad? Jelas aku lebih tampan!"

Nadia melipat tangannya di dada, tertawa. "Lebih tampan Harsa. Selain tampan dan jantan, dia sangat berkharisma. Terlepas dia seorang perampok atau bukan, tapi dia adalah pemimpin yang baik dan bijaksana."

Kamal berdecih. "Baiklah kalau begitu. Aku akan berdoa semoga kamu akan menikah dengannya, biar saja kamu diberi makan hasil curian. Itu menjijikan."

Kamal lanjut berjalan, sementara Nadia masih terkikik geli. Aku hanya menggeleng jengah.

"Tampan atau tidak, pria itu tetap berbahaya. Dia Penyihir Air," ujarku. "Dia adalah Pengendali Raga."

Perkataanku membuat Nadia dan Kamal berhenti. Kamal langsung memutar tubuhnya dan menatapku dengan pandangan terkejut. "Apa katamu?"

Aku menjawab dengan mantap, "Dia Pengendali Raga, jadi lebih baik kita jangan bertemu dengannya lagi."

Nadia di belakang maju dan menatapku. "Kamu serius, Elok? Bagaimana mungkin seorang Penyihir Air bisa mengendalikan raga? Sepengalaman dan sepengetahuanku teknik pengendalikan raga hanya bisa dikuasai oleh seorang Penyihir Darah."

Aku mengangkat bahu. "Entah, tapi itu yang aku alami. Dia mengendalikan ragaku saat aku tidak menurutinya, dia membawaku kepada...."

Aku menggantungkan perkataanku, berpikir apa aku harus menceritkan pertemuanku dengan Safina atau tidak. Tapi aku merasa sepertinya kali ini aku tidak harus menceritakannya terlebih dahulu, biarkan aku memutuskan sendiri untuk yang satu ini.

"Elok benar."

Semua orang langsung menoleh ke arah Zaheer, pria itu kembali berkata, "Harsa adalah Penyihir Air yang menguasai teknik pengendalian raga seperti para Penyihir Darah."

"Bagaimana bisa?" tanya Nadia dengan ekspresi terkejutnya.

"Tubuh semua mahluk hidup di dunia ini memerlukan cairan untuk bertahan hidup. Cairan itu mengalir dalam darah setiap dari kita, di situlah celah bagi Harsa dan para Penyihir Air lain untuk mengendalikan raga," ujar Zaheer menerangkan. "Mereka mengendalikan darah dari cairan di dalam tubuh untuk membuat sebuah raga bergerak seperti sebuah boneka."

Sebelum Malam Where stories live. Discover now