38. Perubahan

81 12 32
                                    

Kami dan seluruh pasukan yang berhasil keluar dari Gunung Virama akhirnya tiba di Langit Jatuh saat tengah malam. Satu-persatu para naga yang mengangkut orang-orang mulai mendarat di lapangan istana. Para prajurit, pelayan dan semua orang yang berada di istana berbondong-bondong membantu kami.

Regu Penyembuh dikerahkan untuk membantu para tentara yang terluka. Orang-orang yang terluka diarahkan untuk masuk ke istana oleh beberapa prajurit istana. Aku turun dari nagaku terakhir setelah semua orang turun. Saat itu aku hanya diam di samping Gerhana sambil menatap orang-orang.

Prajurit Langit Jatuh yang ikut dalam Pasukan Gabungan akhirnya kembali ke tempat asal mereka. Meski terluka, tapi aku bisa melihat senyum mereka saat bisa kembali bertemu teman-temannya. Di aula istana, aku melihat Wulan, Ibu Gunung dan Putri Arinda menunggu.

Aku melihat wajah Ibu Gunung yang murung, dia seolah tahu apa yang terjadi. Aku melihat Rama dan Arya menghampiri Wulan, keduanya memeluk saudarinya. Tangis mereka bertiga pecah, aku bisa merasakan tiap kesedihan yang mereka rasakan.

"Apa hanya kalian berdua yang kembali?" tanya Wulan, tubuhnya bergetar.

Rama tidak menjawab, dia langsung memeluk adiknya itu. Wulan menangis dalam pelukan itu, tangisannya makin membuatku merasa bersalah.

Aku lalu menoleh ke arah lain, menatap Kamal yang berjalan ke arah Mamanya yang berdiri di aula. Tubuh laki-laki itu masih lemas, berjalan dengan penuh hati-hati ke arah Ibu Gunung. Dia menaiki undakan dibantu salah seorang prajurit Gunung Virama yang berhasil melarikan diri.

"Hati-hati, Nak," ujar Ibu Gunung sambil meraih tubuh anaknya yang hampir jatuh.

Kamal jatuh dalam pelukan seorang Ibu. Dia tidak menangis, namun wajahnya penuh dengan rasa sesal.

"Maaf, Mama."

Ibu Gunung seolah tahu dengan situasi yang kami semua alami, apalagi setelah melihat kedatangan kami bersama para prajurit. Saat itu Ibu Gunung hanya menarik napas sambil tersenyum, yang dia lakukan hanya mengusap punggung anaknya itu sambil berkata, "Tidak apa-apa, kita coba lagi nanti."

Aku tidak kuat melihat wajah orang-orang yang sedih karena kehilangan rumah mereka. Para penduduk Gunung Virama yang berhasil dibawa ke Langit Jatuh oleh Wulan saat pagi hari terlihat kebingungan atas semua yang terjadi. Mereka semua bertanya-tanya apa yang terjadi.

Aku makin merasa bersalah, bagaimana jadinya kalau penduduk Gunung Virama tahu kalau mereka kehilangan rumah dan kenangan mereka. Gunung yang sebelumnya menjadi tempat tinggal mereka dan tempat sukacita bagi semua mahluk di sana kini berubah menjadi sebuah tempat yang dipenuhi kegelapan dan ketakutan.

"Elok."

Aku menoleh saat seseorang memanggilku. Ternyata itu Nadia dan Ayahnya. "Paman Afan," sapaku.

Afan menghampiriku, menepuk bahuku dan memberikan sebuah usapan lembut. "Apapun yang kamu pikirkan sekarang, sebenarnya tidak seperti itu. Ini bukan salahmu."

Aku membuang pandanganku karena tidak siap menangis. "Ini jelas salahku, ini tanggungjawabku, tapi aku menghancurkan semuanya."

Afan menggeleng. "Satu-satunya orang yang harus disalahkan adalah Sang Malam itu sendiri."

"Dan, aku," tambahku. "Yang Sang Malam inginkan hanya aku, tapi semua orang malah menanggung semua ini."

Nadia mendekatiku, dia langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Saat itu aku tidak bisa menahannya lagi, aku menangis. Aku menangis dalam pelukan seorang sahabat, satu-satunya tempatku bersandar dan satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini.

Aku terus menangis dalam pelukan itu, entah berapa lama, namun aku menangis cukup lama sampai-sampai aku merasa tubuhku semakin tidak bisa aku kendalikan. Aku jatuh lemas ke dalam pelukan itu, pandanganku juga perlahan menghilang, sampai akhirnya aku merasa tidak ingat apa-apa lagi.

Sebelum Malam Where stories live. Discover now