29. Terjadi

58 10 16
                                    

Setelah menempuh perjalanan berkelok-kelok, masuk ke dalam kegelapan dan kelembapan lapas tahanan di Ibu Kota, akhirnya aku, Nadia dan Wulan tiba di lapas bawah tanah yang letaknya jauh di bawah tanah. Saking dalamnya lapas bawah tanah ini, aku sampai tidak bisa lagi mendengar suara pertempuran di atas sana. Suasana di bawah sana gelap, tanahnya becek, dan mencekam.

Beberapa kali aku memekik kaget saat melihat serangga yang kadang berjalan di sekitar tubuhku, aku juga dikejutkan dengan beberapa ular yang hinggap di batu-batu sekitar sana dan kadang lewat di jalan yang kami lewati. Selain itu, di sini benar-benar pengap. Aku, Nadia dan Wulan kesulitan untuk bernapas. Tempat ini juga mengeluarkan aroma tidak sedap.

"Apa masih jauh?" tanyaku pada Nadia. "Kita sudah masuk terlalu dalam."

"Aku tidak yakin kita akan bertahan lama di tempat ini," sambung Wulan. "Tempat ini benar-benar minim oksigen. Di sini juga banyak binatang-binatang menggelikan."

"Kita sudah sampai."

Tepat setelah Nadia mengatakan itu, kami tiba di depan sebuah dua batu besar yang berada di kedua sisi jalan. Di kedua betu itu terdapat tulisan-tulisan abstrak yang tidak dapat aku baca. Di atas batu itu terdapat sebuah patung manusia dengan ekspresi ketakutan dengan tangan yang memegang obor.

"Sejujurnya... aku hanya memanfaatkan apa yang aku dengar."

Aku mengernyit. "Maksudmu?"

Nadia bergerak mencabut obor di tangan patung di atas batu itu. "Aku belum pernah ke tempat ini, apalagi ke lapas para anak Raja. Namun aku sering mendengar desas-desus kalau mereka berada di lapas paling mengerikan. Aku tidak tahu kenapa mereka bilang lapas yang ditempati Pangeran dan Putri Viraksa itu mengerikan."

Sahabatku itu diam sejenak, menetap kedua patung di hadapan kami. "Orang-orang bilang lapas tempat Pangeran dan Putri Viraksa di tahan berada di belakang batu besar dengan dua patung manusia yang wajahnya seperti ketakutan."

Aku dan Wulan sontak ikut menatap dua patung itu. "Berarti kitas sudah sampai."

"Kalau begitu tunggu apalagi?"

Aku melangkah duluan melewati dua patung yang cukup aneh itu, diikuti dua temanku. Semakin jauh masuk, semakin gelap. Beruntung aku mewarisi sebuah bakat yang cukup berguna dalam situasi ini. Sebuah bakat Kaum Cahaya di mana aku bisa melihat dengan jelas di dalam kegelapan. Jika orang biasa hanya melihat warna hitam dalam gelap, aku masih bisa melihat warna-warna lain dalam kegelapan itu.

"Kita sudah sampai," ujarku, berhenti di sebuah pintu besar dari besi.

Nadia maju ke depan, meraba pintu itu. "Benar, kita telah sampai. Orang-orang bilang para anak Raja dikurung di dalam pintu besi yang—ARGH!"

Aku terkejut saat melihat Nadia berteriak kesakitan. Dia melepas sentuhan tangannya pada pintu itu. Aku melihat tangannya berdarah.

"Darah." Aku mengambil tangan Nadia. "Kamu tidak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja. Hanya saja...."

"Sihir," ujar Wulan. "Penjara ini dilapisi oleh sihir."

Aku menatap pagar besi itu dengan takut. Aku tidak tahu Wulan dan Nadia melihatnya atau tidak, namun aku melihat ada lapisan cahaya putih yang melapisi pagar besi itu.

Untuk beberapa saat kami bingung memikirkan bagaimana caranya menjebol pagar ini, kami hanya diam sambil sesekali berdiskusi. Keadaan makin memusingkan. Kami tidak bisa terus-menerus diam dan menghabiskan waktu hanya untuk berpikir, kami terdesak, teman-teman kami di atas sana belum tentu bisa terus bertahan.

"Siapa di sana...."

Aku diam, kemudian menatap Wulan dan Nadia. "Kalian mendengarnya, kan?"

Nadia mengangguk, lalu menunjuk ke arah pagar besi di depan. "Ya, aku mendengarnya. Suara itu dari dalam."

Sebelum Malam Where stories live. Discover now