11. Berakhirnya sebuah sumpah

87 18 2
                                    

Aku dan Kamal turun dari beranda istana dan berjalan membalas barisan para prajurit yang terdiri dari Tentara Pertama dengan tombak-tombak mreja dan kuda-kuda mereka, dan Tentara Kedua. Beberapa aku perhatikan memperhatikan kami sambil berbisik, namun aku dan Kamal mengabaikan itu. Kami berdua terus berjalan sampai akhirnya kami tiba di belakang Purnama Bersaudara.

"Elok, Kamal, apa yang kalian lakukan di sini?" Ramzi terkejut dengan kehadiran kami. Bukan hanya Ramzi, namun juga dengan saudara-saudaranya yang lain.

"Aku sudah menyuruh kalian untuk berlindung di dalam kamar, kan? Lalu apa yang sekarang kalian lakukan di sini?" Soraya menatap kami dengan marah.

Aku baru saja akan menjawab, namun Kamal sudah lebih dulu menjelaskan, "Perang ini ada hubungannya dengan kami. Kami tidak akan tinggal diam saja di kamar sambil menunggu pertempuran usai. Nadia sahabat kami dibawa pergi oleh Nenek tua itu, dan kami ingin memperjuangkan itu."

"Tapi ini berbahaya." Kali ini Rama berbicara dengan tegas. "Kalian berdua tak punya pengalaman dalam peperangan. Kalian bisa mati. Apalagi sekarang yang akan terjadi adalah perang sihir, kalian tidak paham dengan itu."

"Maka dari itu kami berdiri di sini," ujarku. "Kami tidak punya pengalaman dan kami tidak tahu. Itu benar. Dan kami berdiri di sini untuk mendapatkan itu."

Kamal mengangguk menyetujui. Dia membuka mantelnya, menunjukkan pisau-pisau kecil di dalamnya. "Sebelum turun gunung, aku telah mempertimbangkan semuanya. Atas restu Mamaku, sang Ibu Gunung, aku siap untuk mati dalam perjalanan yang aku mulai."

Soraya menghela napas, dia beralih ke arahku. "Aku percaya pada Kamal kalau dia unggul dalam bertarung, lantas kamu bagaimana? Kamu bahkan tidak membawa senjata, Elok."

Aku tersenyum, lalu menoleh ke belakang menatap naga putih milik Lim yang hanya tertidur di pojok lapangan. "Aku punya naga."

Wulanpun membalas perkataanku, "Kamu pikir naga adalah seorang budak atau seorang manusia yang bisa kamu taklukkan? Kamu perlu tahu, kebanyakan naga hanya bisa terikat dengan satu penunggang, tidak bisa dua atau lebih. Lim belum mati, dan naga itu tidak akan menuruti perintah dari orang selain Lim."

Aku tersenyum. "Lihat saja nanti. Aku akan—"

Belum sempat aku selesai menyelesaikan perkataanku, auman besar dari dua ekor naga menyadarkan kami semua. Aku, Kamal dan Purnama bersaudara menoleh ke arah depan. Di luar gerbang, lebih tepatnya di atas jembatan kami semua melihat terdapat dua naga besar yang mendarat di sana dan mengaum keras. Yang satu berwarna merah, yang satu lagi berwarna kuning pucat, dan sosok Baghra duduk di atas naga merah.

Soraya berkata pada saudaranya, "Rama, Wulan lindungi Elok. Apapun yang terjadi, lindungi dia sampi perang ini selesai."

Aku menggeleng. "Aku bisa, aku tidak perlu—"

"Bisakah kamu tutup mulutmu itu? Dasar keras kepala! Jika kamu mati, kami semua mati!" bentak Soraya.

Mendengar perintah saudari tertuanya, Rama dan Wulan langsung melaksanakannya tanpa protes. Keduanya berdiri di sisi kanan dan sisi kiriku. Kami semua kembali memperhatikan sosok tertua Langit Jatuh yang kini tampak yakin dengan berdiri di atas naga merahnya.

Soraya menatap dua prajurit yang berjaga di luar gerbang, lalu berteriak dengan lantang, "Buka gerbangnya!"

Dua tentara penjaga gerbang masuk istana bersamaan mendorong gerbang yang menjadi satu-satunya jalur keluar masuk bangunan hitam di belakang kami. Setelah gerbang tidak lagi tertutup, kini kami berdiri di hadapan musuh tanpa batas lagi.

Soraya sebagai saudara yang tertua mulai berjalan keluar dari tembok bangunan, dia ditemani oleh Satu Penyihir Api dan satu Penyihir Air yang berdiri di kedua sisinya. Aku awalnya bingung, namun Rama yang berdiri di sampingku mengatakan Soraya ingin melakukan negosiasi untuk mencegah terjadinya pertempuran besar di Langit Jatuh.

Sebelum Malam Where stories live. Discover now