24. Si Merah

80 13 3
                                    

Naga hitam yang aku tunggangi bersama pria tampan itu kini mendarat tepat di tengah-tengah lapangan yang berada di dalam istana. Beberapa prajurit yang berjaga terkejut atas kedatangan kami yang tiba-tiba, namun itu tidak berlangsung lama. Naga hitam di bawahku itu merendahkan tubuhnya untuk mempersilakan aku dan penunggangnya untuk turun.

Aku turun pertama, lalu pria itu menyusul. Saat kami sudah menapakan kaki di tanah, naga hitam besar itu segera berjalan pergi sebelum akhirnya mengepakkan sayapnya dan terbang. Saking asiknya aku menatap kagum ke arah naga itu, aku sampai tidak sadar apa yang terjadi di sekitarku. Tepat saat aku menoleh ke depan, aku dikejutkan saat melihat semua prajurit di sana bersimpuh.

Bukan. Ini bukan untukku. Aku lalu menoleh ke arah pria yang menyelamatkanku dengan penuh penasaran. "Siapa kamu sebenarnya?"

Pria itu menoleh ke arahku, dia tersenyum. Dia menggerakkan tangannya mengisyaratkan orang-orang di sana untuk bangkit. "Di sini kami saling menghormati. Hal ini wajar."

Jantungku berdetak lebih cepat. Kali ini bukan karena wajah tampan dan senyumannya yang menawan, namun kali ini aku mulai sadar siapa yang tengah aku hadapi. "Jadi, kamu? Jadi kamu, yang orang-orang ceritakan padaku?"

"Kamu mendengar versi cerita yang mana, Elok?" Dia terkekeh, lalu berjalan pergi.

Aku menyusulnya di belakang. "Kamu membunuh semua orang yang ada di Ibu Kota. Kamu membunuh semua orang di istana, dan kamu membunuh Ayahku!"

Dia berhenti, menoleh ke arahku. Dia masih tersenyum ramah. "Kamu hanya mendengarnya sepenggal. Kamu tidak tahu kejadian yang sebenarnya."

"Jelas aku tahu, Sang Malam!"

Pada akhirnya aku menyembut namanya yang dikenal banyak orang. Ya, dia orangnya. Dia yang dibicarakan semua orang, dia orang yang bertanggungjawab atas penderitaan rakyat Viraksa. Dia yang membunuh semua manusia biasa di Ibu Kota, dia yang melibatkan orang-orang tidak bersalah dalam perang ini. Dan, dia yang membunuh Ayahku. Sang Malam, aku akan selalu mengingatnya.

Senyum di bibirnya hilang, dia menatapku serius. "Pada akhirnya semua yang kita lakukan karena cinta, kan?"

"Apa maksudmu?"

"Kamu masih terlalu kecil untuk mengetahui semua alasan yang aku lakukan, Elok. Kamu akan mendapat penjelasannya, namun tidak sekarang."

Sang Malam baru saja akan melangkah pargi, namun aku menarik tangannya kuat hingga membuatnya kembali menatapku.

"Aku tidak peduli apa alasannya, namun yang kamu lakukan itu salah! Kamu kejam! Kamu pembunuh!" Aku berteriak di hadapannya, di depan semua orang. "Kamu menyeret orang-orang tidak bersalah dalam perang ini! Kamu membunuh mereka semua! Dan, kamu merubah Nadia, sahabatku!"

Sadar kini semua orang memperhatikanku, aku menatap satu-persatu wajah mereka. "Kalian semua salah telah percaya padanya. Karena dialah yang akan membawa petaka di dunia ini setelah dia mendapatkan apa yang dia mau."

Aku baru saja akan melanjutkan perkataanku, namun dia mencengkram rahangku kut hingga membutku tidak bisa berkata apa-apa. "Aku telah menunggumu sejak lama, Elok. Jangan rusak semua ini, anak manis."

"Ini bukan perang, tapi ini adalah keadilan," ujarnya. "Bagaimana rasanya melihat orang-orang yang kamu cintai dibunuh dengan tidak manusiawi? Bagaimana rasanya rumahmu dibakar bersama kenangan-kenangan indah di dalamnya? Kini kami hanya membalik keadaan."

Dia menambahkan, "Sekarang para penyihir tidak lagi menjadi kaum yang lemah. Kami telah memiliki apa yang harusnya menjadi milik kami. Rumah, harta dan ketenangan."

Sang Malam menarik tanganku, mengikis jarak di antara kami. "Dan kamu tahu apa yang penting? Kami telah mendapatkan Rumah Naga. Sekarang biar kalian rasakan, naga yang dulu kalian gunakan untuk menghancurkan kami berbalik menghancurkan kalian."

Sebelum Malam Where stories live. Discover now