39. Penglihatan

75 14 21
                                    

Aku mungkin sulit untuk menerima kenyataan kalau aku telah pergi selama satu bulan lebih, namun menurut banyak orang memang begitu, pada nyatanya semua tidak sesingkat yang aku pikir. Aku telah melewati banyak momen selama aku tidak sadarkan diri, salah satu contohnya adalah penjajahan yang dilakukan bangsa-bangsa lain.

Kemiskinan mulai melanda negeri ini setelah Sang Malam menyerang, apalagi setelah dia membuat dua kota besar di Viraksa hancur hingga menyebabkan banyak pengungsi di tiap kota. Penderitaan mulai menggeragoti kami semua, kemiskinan mulai melanda. Sementara itu, para anak Raja tengah berusaha mengembalikan keadaan.

"Pangeran Kawiswara mengundang kita untuk datang ke Ibu Kota baru, Guntama," ujar Soraya sambil menyerahkan sebuah surat dengan segel kerajaan.

Saat itu aku tengah bermain dengan para pengungsi Gunung Virama di Langit Jatuh, namun Soraya datang membawakan sebuah berita.

Aku menerima surat yang segelnya sudah terbuka itu dan membacanya. "Bagaimana menurutmu?"

"Kita tidak punya alasan untuk tidak datang," ujar Soraya. "Dia meminta para pejuang untuk datang untuk membicarakan nasib negeri ini, terkhusus para Penunggang Naga seperti kita."

Aku diam sejenak, membaca sebuah tulisan tangan dari tinta hitam itu. "Kalau kamu ikut, aku ikut. Bagaimana dengan teman-teman yang lain?"

Soraya mengambil surat itu dan menggulungnya. "Aku sudah memberitahukan undangan ini pada Lim, Laksana, Minara dan saudara-saudaraku."

"Apa Kamal dan Nadia juga diundang?"

Soraya mengangkat bahunya. "Entahlah, Kawiswara meminta para pejuang untuk datang. Jika menurutmu dua temanmu itu adalah penjuang juga, berarti mereka harus datang."

Aku mengangguk. "Aku akan bicarakan pada mereka."

Soraya tidak berkata apa-apa lagi, dia berniat melangkah pergi.

"Soraya, tunggu."

Soraya berhenti saat aku menahannya, dia menoleh ke arahku dengan sebelah alisnya yang terangkat.

"Aku rasa, aku perlu bicara denganmu."

Wanita itu diam sejenak, lalu menegakkan kepalanya sambil menatapku tajam. "Katakan, aku tidak punya banyak waktu."

Aku tidak langsung bicara saat itu, aku masih bergulat dengan pikiranku sendiri untuk mengatakan apa yang aku pikirkan dan apa yang menjadi bebanku beberapa waktu ini. Namun aku sadar, aku tidak boleh terlalu menunggu dalam hal ini, aku harus mengambil tindakan sendiri.

"Kamu adalah sosok yang bijaksana, kamu adalah Kakak yang baik, kamu berani dan tidak kenal takut," ujarku. "Semua yang terjadi akhir-akhir ini membuatku selalu merasa bersalah dan tidak enak. Aku sadar aku bisa melakukan lebih untuk semua orang, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."

"Jadi, apa maumu?"

Aku menelan ludah saat mendengar ucapan dingin Soraya. "Aku ingin belajar, Soraya. Kamu adalah Penyihir Darah, kamu bisa melajar dengan Penyihir Darah terdahulu untuk menjadi dirimu. Sedangkan aku? Aku juga ingin belajar menjadi diriku, tapi aku adalah yang terakhir dari golonganku."

Soraya diam cukup lama, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Tidak, kamu bukan yang terakhir Elok. Sebenarnya masih ada."

Aku menatapnya tidak mengerti. "Maksudmu, masih ada Kaum Cahaya lain sepertiku?"

Soraya mengangguk. "Ya, dia sama sepertimu, setidaknya dulu. Kalian memiliki banyak persamaan, salah satunya adalah menunggangi naga."

Aku cukup terkejut. "Maksudmu... dia juga seorang Penunggang Naga?"

Sebelum Malam Where stories live. Discover now