35. Panji Bangunan Putih

66 10 22
                                    

Aku, Wulan dan Jaka berdiri di bagian atap Istana Virama bersama para pemanah dan penembak meriam tombak. Kami di sini memantau pergerakan Pasukan Naga milik Sang Malam. Dari atas sini aku bisa melihat sekuat apa mereka sampai-sampi membuat kocar-kacir pasukan kami.

Naga-naga itu adalah hasil curian mereka dari Rumah Naga di Ibu Kota. Naga mereka besar, cepat dan kuat. Aku sadar Gerhana atau Cahaya tidak bisa menandingi mereka semua, namun aku berusaha sebisaku. Aku di sini masih berdiri, di tengah Wulan dan Sunar.

Salah seorang pemegang teropong menghampiri kami bertiga. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda naga yang mendekat, Yang Mulia."

Sunar mengangkat tangannya. "Terus pantau keadaan dan perintahkan para penembak untuk selalu siaga. Yang kita hadapi sekarang adalah orang-orang dengan tipu daya yang kuat."

Pemegang teropong itu mengangguk, membungkuk dan pergi dari hadapan kami.

Aku yang hanya berdiri di sini mulai cemas sendiri. Aku mencemaskan Kamal, Nadia dan teman-temanku yang lain. Biar bagaimanapun mereka berada di medan pertempuran dan di bawah puluhan naga yang menyemburkan api. Aku terus berdoa untuk keselamatan orang-orang yang aku kenal.

"Kamu baik-baik saja, Elok?" tanya Wulan.

Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja."

Baru saja aku mengatakan kalau aku baik-baik saja, sebuah hal mengejutkan terjadi. Di depan sana, lebih tepatnya beberapa meter sebelum gerbang istana sebuah api muncul dari balik awan hitam. Api itu sangat mirip dengan semburan naga. Satu semburan itu berhasil meluluhlantakan penjagaan di depan.

"Sialan!" Sunar mengumpat kesal, dia lalu mengambil perintah. "Semua penembak bersiap! Tembakan tombak ke arah awan hitam itu! Sekarang!"

Puluhan regu penembak melancarkan serangan dengan melepaskan tombak-tombak ke arah awan hitam di depan sana. Meski tidak terlihat wujudnya, kami tahu ada naga yang bersembunyi di balik awan hitam itu dan memanfaatkannya untuk menyerang.

Meski puluhan tombak sudah dilepaskan, namun kami belum mendapatkan hasil. Bidikan itu meleset dan berakhir sia-sia. Wulan yang sedari tadi hanya mengamati akhirnya mengambil tindakan. Dia maju selangkah dan merentangkan tangannya, bersamaan dengan itu aku merasakan angin berhembus kencang.

Wulan lalu menarik satu kakinya ke balakang, memasang sebuah kuda-kuda. Lalu wanita itu mengayunkan tangannya dari belakang ke depan, dia melakukannya berulang kali. Perlahan tapi pasti, aku melihat awan-awan hitam itu mulai melebur tertiup angin dan hilang.

"Itu mereka," ujarku menatap dua naga yang kini terlihat setelah bersembunyi di balik awan hitam.

Sunar berjalan ke belakang, mengomandoi para penembak. "Lepaskan tembakan sekarang!"

Puluhan tombak kembali dilepaskan untuk melumpuhkan dua naga yang kini bergerak ke arah kami. Namun seperti yang aku bilang tadi, naga-naga Sang Malam kuat dan cepat. Mereka tidak mudah dilumpuhkan. Alih-alih terkena tombak kami, dua naga itu kini kembali melancarkan serangan di depan gerbang.

"Naga-naga itu sangat terlatih!" Sunar mengumpat kesal. Dia kembali berjalan ke arah aku dan Wulan. "Naga-naga itu kuat, cepat dan terlatih dengan baik. Sulit melumpuhkan mereka."

Wulan lalu memberi saran, "Apa kita sendiri yang harus turun tangan?"

Sunar menggeleng. "Tidak sekarang. Biar aku tangani yang satu ini."

Aku tidak tahu apa yang ingin dilakukan Sunar, namun setelah mengatakan itu dia maju ke ujung atap. Laki-laki itu mengadahkan kepalanya ke udara, memejamkan mata saat cahaya sang mentari menyilaukannya. Sampai sini aku belum tahu apa yang akan dilakukannya.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang