20. Kita bertemu lagi

90 10 0
                                    

Satu minggu telah berlalu setelah kepergian teman-temanku ke setiap pelosok Viraksa untuk memperjuangkan perdamaian negeri ini, dan selama seminggu itu juga kami belum dapat mendapat kabar lebih lanjut terkait negosiasi yang dilakukan teman-temanku pada para pemimpin kota. Namun, aku dan Kamal telah mendapatkan surat dari kampung kami, Gunung Virama.

"Gunung Virama menyatakan kesetiaan pada Raja Lama Viraksa, dan akan ikut berperang mengambil Ibu Kota dan Rumah naga," ujar Kamal mengeja surat yang dikirim Ibu Gunung, yang tak lain adalah Mamanya.

Aku dan Arya tersenyum mendengar itu. Sekarang kami bertiga berada di dalam kereta kuda. Aku, Kamal dan Arya kelur istana untuk pergi ke pusat perbelanjaan di kota ini. Kereta kami diseret oleh dua kuda perkasa dan kusir yang berpengalaman. Kami dikawal oleh dua Tentara Pertama bersenjata dan dua Tentara Kedua.

"Aku senang mendengarnya," ujar Arya. "Sekarang tinggal menunggu kabar dari saudara-saudaraku beserta Lim dan Meutia."

Kamal menggulung surat itu, memasukkan ke dalam saku mantelnya. "Mamaku memiliki hubungan kuat dengan Raja terdahulu, dia bersahabat baik dengan Ayahnya Elok. Aku pikir Mama tidak akan pernah mengkhianati persahabatannya."

Aku hanya tersenyum, kami mulai beralih topik dengan aku memulai pertanyaan. "Ngomong-ngomong ke mana Sunar?"

Kamal menjawab, "Siang tadi aku melihat Sunar berangkat dengan pakaian dinasnya bersama... entahlah, mungkin sepuluh pengawal?"

Aku lalu menoleh pada Arya. "Memangnya Sunar ke mana, Arya?"

Arya diam sejenak, terlihat ragu untuk menjawab pertanyaanku. Namun dia tetap menjawabnya, "Jadi begini, teman-teman... semenjak tewasnya Baghra dalam pertempuran beberapa pekan lalu, Kakak Soraya mengambil alih seisi kota. Yang sebelumnya berada di tangan Baghra, kini berpindah tangan sepenuhnya kepada kami."

"Kami Keluarga Purnama melarang dan membuat aturan tertulis terkait perdagangan budak. Kami mengutuk aksi itu. Kami melarang semua aktivitas yang berhubungan dengan perdagangan budak, mau itu manusia atau penyihir." Arya diam sejenak. "Namun...."

"Namun apa?"

"Upeti terbesar Langit Jatuh berasal dari penjualan para budak. Yang mana jelas, sekarang keuangan Langit Jatuh memburuk semenjak itu, ditambah kita semua kini berada dalam peperangan. Kami bertujuh berembuk soal ini, sampai akhirnya Rama memberi saran yang disetujui oleh kami semua."

"Rama memberi saran apa?" tanya Kamal.

"Dia memberi saran untuk menaiki harga upeti dari para pedagang lain agar bisa menutupi kerugian karena dihapusnya perdagangan budak." Arya lanjut berkata, "Kenaikan upeti membuat para saudagar-saudagar besar di kota ini marah, dan hari ini Sunar melakukan pertemuan dengan para saudagar-saudagar di Langit Jatuh terkait upeti ini."

"Kamu tidak ikut?"

"Tadinya aku mau ikut menemaninya, namun Sunar melarang. Dia memintaku untuk tetap tinggal bersama kalian."

Percakapan kami terhenti saat kereta kuda kami berhenti tepat di gapura pusat perbelanjaan. Salah satu pengawal membukakan pintu, lalu mempersilakan kami untuk turun. Kamal turun pertama, lalu aku dan terakhir Arya. Saat aku memijakan kaki di pasar itu, memoriku langsung kembali ke beberapa waktu lalu. Tempat ini adalah tempat yang sama di mana aku kehilangan Nadiaku.

"Kalian pernah ke tempat ini, kan? Bagaiamna menurut kalian?"

"Banyak yang berubah," jawab Kamal.

"Tentu saja." Arya tertawa pelan. "Semenjak Baghra mati, tidak ada lagi jual-beli budak di tempat ini. Tempat ini sekarang hanya menjual apa yang memang harusnya dijual-belikan, tidak ada lagi nyawa yang dipasarkan di tempat ini."

Sebelum Malam Where stories live. Discover now