33. Mereka Tiba

78 12 21
                                    

Setelah keberangkatan para penunggang naga ke Kota Purash, aku tidak pernah bisa tidur dengan pulas dan kurang istirahat. Aku selalu merasa bertanggungjawab penuh atas keamanan dan kedamaian Gunung Virama. Aku selalu berpatroli bersama beberapa prajurit yang kebagian berjaga. Biasanya aku akan berpatroli saat gelap, ditemani serigalaku Tompel yang akrab dengan malam.

Kamal dan Nadia sudah mengatakan kalau aku tidak perlu melakukan itu karena mereka menilai Gunung Virama sudah memiliki pasukan terlatih, jadi mereka menganggap tidak akan terjadi kecolongan. Namun aku tetaplah aku, aku tidak mendengarkan perkataan orang lain selagi yang aku lakukan benar. Sekarang aku bukanlah Elok gadis ladang, aku lebih dari itu.

Kini aku tengah berjalan di salah satu desa di Virama, berkeliling pagi sembari menyapa warga desa. Kali ini aku ditemani oleh Arya, si bungsu dari Purnama Bersaudara. Anak itu bilang dia bosan selalu berada di istana Virama, dan kali ini dia ingin menemaniku berkeliling desa-desa.

"Kamu tahu Elok, selepas dari pelarian kita di Ibu Kota aku cukup terkejut saat Soraya membawa seekor naga merah berleher panjang." Arya bercerita. "Aku tidak pernah berpikir ada di antara Purnama Bersaudara yang bisa mendapatkan naga."

Aku terkekeh mendengar ceritanya. "Naga itu memilih, bukan dipilih. Mungkin Si Merah merasa Soraya adalah orang yang tepat untuk menjadi penunggangnya."

"Kakakku yang satu itu memang selalu begitu, sulit untuk ditebak." Arya tertawa pelan. "Aku cukup terkejut karena setahuku tidak ada satu orangpun dari keluarga kami, bahkan leluhur-leluhur kami, yang memiliki naga."

"Oh, ya?"

Arya mengangguk. "Ya, kami adalah penyihir. Kami hidup dengan hal magis dan keajaiban, makanya kami tidak pernah mencoba mendapatkan naga. Setahuku, sebelumnya, hanya ada beberapa kasus di mana penyihir menunggangi naga. Dan kamu tahu? Semua selalu berakhir buruk."

Arya kembalimenambahkan, "Sekarang aku tahu kenapa penyihir tidak menunggangi naga."

"Ketidakseimbangan," sambungku. "Sekarang semua penyihir yang berperang untuk Sang Malam menunggangi naga, itu malah menciptakan kehancuran."

"Terlepas dari itu semua, Kak Soraya memang selalu mencipatakn hal baru dalam keluarga kami." Arya tersenyum saat mengingat saudari tertuanya. "Si Merah. Aku bingung kenapa Soraya menamakan naganya begitu, tapi nama itu menurutku sangat jelek."

Aku tertawa. "Itu nama yang Soraya ciptakan spontan. Saat memiliki keturunan nanti, aku pikir kamu harus membantunya memilihkan nama untuk anaknya."

Kami berdua terus berjalan di salah satu desa di Gunung Virama sambil terus berbincang banyak hal. Arya bercerita banyak hal, tentang dirinya saat pertama kali belajar sihir untuk mengendalikan air saat usianya 4 tahun, tentang saudara-saudaranya dan tentang Langit Jatuh. Arya bilang sekarang Langit Jatuh dijaga oleh salah satu perwira dari Tentara Kedua, seorang Penyihir Air dan sahabatnya Soraya.

Saat tengah asik berjalan dari desa ke desa, hujan tiba-tiba turun membuat seisi gunung basah. Aku dan Arya berteduh di salah satu rumah warga. Di sana kami mengamati hujan yang turun dengan deras, diselingi angin yang cukup kencang sampai membuat dahan-dahan pohon bergoyang.

Aku menoleh ke arah Arya, bocah itu tampak melakukan sesuatu. Dia mengambil kuda-kuda, lalu melakukan gerakan-gerakan ke kanan dan ke kiri. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, namun setelahnya aku merasakan deru angin mulai mereda. Angin yang awalnya cukup kencang perlahan mulai bertiup pelan.

Sebelum Malam Where stories live. Discover now