18. Aku tidak terbakar

68 12 0
                                    

"Kena, kau!"

Dari balik batu, aku dan Arya tersenyum bahagia ketika untuk ke sekian kalinya kamal dapat membidik hewan buruan kami dengan tepat. Yang pertama Kamal dapat membidik seekor kelinci, kedua babi hutan, dan terakhir seekor rusa betina. Arya menepuk tangan girang, lalu keluar dari persembunyian diikuti aku dan Kamal.

"Soraya sangat suka daging rusa, aku rasa dia tidak akan menyesal mengizinkan kita keluar untuk berburu," ujar Arya kegirangan.

"Sepertinya sudah cukup berburu hari ini." Kamal berkata sambil mencabut anak panah di leher rusa buruan, lalu menaruhnya kembali di belakang. "Kita bisa pulang."

Kami bertiga pun mulai meninggalkan titik terakhir tempat berburu. Aku membawa seekor kelinci di tanganku, Kamal memikul rusa betina di punggungnya, dan Arya menyeret babi hutan yang lumayan besar itu. Kami bertiga berjalan untuk sampai di titik tempat Arya membelenggu para tentara yang ditugaskan untuk menjaga kami.

Awalnya kami bertiga berpikir semua akan berjalan baik-baik saja sesuai perkiraan, namun nyatanya tidak. Kami mendapatkan masalah besar saat tiba di titik terakhir para tentara dibelenggu oleh Arya menggunakan sihir tumbuhannya. Aku menjatuhkan kelinci buruanku, begitu juga dengan Kamal dan Arya yang melepaskan hasil buruan kami saat melihat keadaan para tentara.

Aku langsung memalingkan wajahku saat merasa tidak melihat pemandangan di depan. Aku mendengar Arya berteriak histeris, lalu tak lama isak tangis terdengar. Aku merasakan Kamal memelukku, aku bisa melihat wajahnya yang tidak menyangka. Aku kembali menoleh untuk memastikan semua ini bukanlah halusinasi.

Aku, Kamal dan Arya, kami bertiga sama-sama melihat pemandangan yang mengenaskan di antara para tentara. Mereka semua terbunuh dengan tidak manusiawi. Bukan hanya itu, kuda-kuda yang kami kendarai juga dibunuh. Dua orang dipenggal, kepala mereka diletakkan di bokong kuda. Ada yang digantung, sisanya ditusuk oleh benda tombak.

"Siapa yang melakukan ini?" Arya berkata dengan geram.

Aku tidak bisa terus bersembunyi di balik tubuh Kamal, aku pun berjalan dan membantu Arya untuk bangkit. "Kita harus pergi dari sini, ada yang mengincar kita."

"Jangan buru-buru, anak-anak."

Aku, Arya dan Kamal menoleh. Kami bertiga terdiam menatap tiga sosok berjubah hitam. Aku atau dua temanku yang lain tidak bisa melihat wajah ketiganya karena jubah hitam yang menutupi seluruh tubuh mereka. Aku sontak bergerak, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Aku melihat Kamal menarik busurnya, Arya juga bersiap untuk bertarung.

"Jaga jarakmu, Pengecut!" ujar Kamal dengan keras, sambil mengarahkan anak panah ke salah satu dari mereka. "Bidikanku tak pernah meleset."

Yang satu tertawa, dia seorang wanita. "Begitu, ya? Maka buktikanlah, anak muda."

Kamal tidak ingin basa-basi lagi sepertinya. Dia langsung melepaskan anak panahnya. Untuk sesaat aku yakin bidikannya tidak akan meleset, namun semua itu berubah saat sekelebat angin datang dari samping dan menabrak anak panah itu yang membuatnya mendarat di titik yang kurang tepat.

"Penyihir Angin," ujar Arya memperingati Kamal. "Bidikanmu tidak berarti bagi dia. Dia bisa mengubah arah sasaranmu dengan angin."

Kamal tidak menyerah, terlanjur marah dan panik, dia kembali melesatkan beberapa anak panah ke arah tiga penyihir berjubah itu dan mereka masih diam di posisi yang sama. Sampai sudah pada anak panah kelima, Kamal tidak juga memperoleh hasil yang memuaskan dari bidikannya.

Yang satu lagi maju, kali ini seorang pria dengan suaranya yang berat. "Bidikanmu selalu meleset, namun sihirku tidak pernah."

Setelah mendengar itu, busur di tangan Kamal terlepas dari genggaman. Aku dan Arya terkejut, menoleh ke arah teman kami. Di sana aku melihat Kamal memegangi lehernya, matanya tiba-tiba menjadi merah, tubuhnya juga berubah menjadi kemerahan. Aku dan Arya panik, bergerak menghampirinya.

Sebelum Malam Donde viven las historias. Descúbrelo ahora