23. Perampok

77 11 1
                                    

Ibu Kota mungkin sangat luas, aku belum pernah menginjakkan kaki di tempat itu seumur hidupku sampai aku diculik dan diboyong kemari. Saat ini aku masih berada di samping Nadia, duduk di dalam kereta kuda yang bergerak menuju pasar yang katanya adalah pusat perbelanjaan di Ibu Kota. Di belakang dan di depan kami juga terdapat kereta-kereta kuda yang berisikan para pengawal yang menjaga kami.

"Apa masih jauh?" tanyaku pada Nadia.

Sahabatku itu mengangkat bahu. "Aku juga belum pernah ke sana, aku tidak tahu. Kita tunggu saja."

Aku bertanya demikian bukan tanpa alasan, karena aku merasa aku sudah duduk terlalu lama di sini untuk sebuah tujuan. Di perjalanan aku hanya bisa mengintip keadaan di luar untuk menghilangkan bosan. Saat itu aku berpikir untuk mengajak Nadia bicara, namun aku urungkan saat aku sadar kalau gadis itu tidak akan bisa memahami posisiku.

Saat ini rombongan kami melewati sebuah tempat yang di atasnya tumbuh-tumbuh pohon besar. Kami melewati sebuah hutan lebat yang di sampingnya terdapat kanal yang airnya bersih dengan ekosistemnya yang masih terjaga, terlihat beberapa ikan melompat ke atas di tengah angsa-angsa putih yang tengah mengapung di atas air. Di pinggirnya aku juga melihat banyak burung-burung bangau yang berkumpul.

Saat tengah asik melihat ke arah kanal indah itu, tiba-tiba kereta kuda yang kami tupangi berhenti membuat kereta kuda di belakangnya juga ikut berhenti. Aku baru saja akan bertanya ada apa, namun tiba-tiba aku mendengar sebuah auman naga. Aku melihat wajah beberapa pengawal yang duduk di dalam keretaku terlihat panik.

"Ada apa?" tanyaku pada Nadia.

Nadia belum sempat menjawab, namun aku mendengar suara ramai dari para pengawal di kereta kuda lain yang melompat dari keretanya dan dua pengawal di keretaku juga ikut turun. Aku menyembulkan kepalaku dari jendela dan melihat keadaan sekitar di mana sekarang para pengawal mengelilingi kereta kuda yang aku tumpangi dengan posisi siaga. Kepala mereka mendongak ke atas menatap seekor naga yang terbang mengelilingi titik kami sekarang.

Seorang pimpinan dalam regu pengawal itu berteriak menyerukan sebuah aba-aba. "Pasang!"

Saat pemimpin itu berteriak 'pasang' semua pengawal itu langsung mengangkat tangan mereka. Aku melihat tangan para pengawal itu mengeluarkan cahaya biru yang membentuk sebuah gelembung yang aku lihat mirip seperti yang Arya pernah buat. Itu semacam sihir pelindung atau sebuah prisai untuk menahan sarangan.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Nadia?" tanyaku.

Bukan Nadia yang menjawab, namun satu pengawal yang masih berada si kereta kami menjawab, "Perampok. Mereka adalah perampok di Ibu Kota yang sering merampok rombongan kerajaan. Tapi, kenapa mereka sekarang memiliki naga?"

Aku terkejut. "Seorang perampok memiliki naga? Bagaimana mungkin?"

Yang aku tahu, tidak sembarang orang bisa memiliki naga. Jangankan naga, sebutir telurnya saja tidak mudah seseorang untuk memilikiknya. Aku menyimpulkan mungkin itu adalah sebuah naga curian, mengingat yang menyerang kami adalah sekawanan perampok.

"Itu pasti naga curian," jawab Nadia. "Namun bagaimana mungkin dia bisa membuat ikatan dengan seekor naga yang dia curi?"

"Pertanyaannya adalah, bagaimana dia bisa mencuri naga itu?"

Benar saja, aku melihat naga di atas turun membuat beberapa pohon tumbang. Naga itu langsung menyemburkan apinya ke arah gerombolan kami. Namun saat itu apinya tidak dapat menembus gelembung pelindung membuat usaha naga itu sia-sia. Aku melihat ke arah naga tersebut, di atasnya terdapat seseorang yang wajahnya tertutupi kain hitam.

Awalnya aku pikir hanya itu uasaha yang dilakukan untuk meruntuhkan barisan para pengawal, namun aku salah. Masih di dalam kereta, aku melihat banyak orang-orang asing muncul. Salah satu dari mereka mengibaskan tangan, seketika datang angin kencang yang langsung menghantam gelombang pertahanan para pengawal hingga menciptakan ledakan besar.

Sebelum Malam Donde viven las historias. Descúbrelo ahora