59

2.5K 472 43
                                    

Prabas menoleh ke arah Tio sambil menahan diri. Senyumnya terlihat bergetar. Pria itu menghela napas agar tidak melepaskan emosi yang mulai mengumpul.

"Selama ini saya mencintai Ai karena berharap timbal balik. Saya berharap agar Ai bisa mencintai saya kembali. Namun setelah mengenal kalian lebih dekat saya merasa tertampar. Cinta yang Anda miliki untuk putri Anda begitu tulus. Anda tidak berharap cinta Anda dibalas. Karena memberikan cinta adalah sebuah kebahagiaan itu sendiri bagi Anda. Ah ... saya jadi malu untuk mengatakan ini."

Prabas tertawa kecil, mengusap wajahnya kemudian naik ke atas rambut. Ia sedikit frustasi akan dirinya sendiri.

"Tapi cinta tetaplah cinta, bukan? Ini adalah perasaan asing yang tidak nyaman. Fuck ... i just love her so much. Pak Tio, meskipun saya tahu bahwa saya akan selalu kalah. Tapi saya sangat ingin bergabung dalam kompetisi ini. Kompetisi untuk mencintai Ai. Dari Anda saya belajar bahwa ... meskipun saya tidak dicintai kembali, mencintai seseorang dengan tulus adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. I love her, sir. And I can't see myself without her."

"Kamu akan merampas Ai juga dari hidup saya sama seper-."

"Hah.... lelahnya..."

Rasa frustasi Prabas tak bisa lagi dibendung. Ia memijat belakang lehernya untuk mengurangi rasa tegang yang ia rasakan.

"Saya dan pria itu adalah orang yang berbeda, Pak Tio. Saya bukan ayah saya. Kami berdua adalah dua individu yang berbeda. Saya tidak akan merebut Ai dari Anda. Jika saya melakukan itu, seperti bunga yang dicabut dari batangnya, dia akan layu. Anda adalah pondasi kehidupan Ai jadi saya tidak bisa mengesampingkan Anda."

Tio memegang kepalanya yang terasa berat. "Saya tidak tahu, Prabas. Lebih baik kita kembali saja. Kamu pulang, tidak usah kembali ke pos ronda."

"Selalu saja seperti ini. Pak Tio ... maaf."

Tio berbalik meninggalkan Prabas.

"Maaf karena kehadiran saya selalu mengingatkan Anda akan apa yang telah ayah saya lakukan. Saya tidak akan meminta maaf mewakili ayah saya. Dia tidak layak dimaafkan. Tapi saya minta maaf karena ... karena saya juga ada di masa lalu Anda. Meskipun tidak secara langsung, saya juga bersalah, saya mengakui kesalahan saya. Mengakui kebodohan, kenaifan, juga ketidaktahuan saya yang telah merebut istri Anda. Saya minta maaf ... maaf sekali ..."

Tio merasa tidak enak. Ia menoleh ke belakang dan melihat Prabas yang menunduk. Pria itu mengusap wajahnya dengan ujung kemeja lengan. Seperti anak kecil yang berdiri di lorong supermarket, terlihat menahan tangis karena tidak dibelikan mainan yang diinginkannya.

"Hiks ... saya rasa ... saya tidak akan bisa bertahan lama lagi. Kevin adalah teman satu-satunya yang saya punya. Ai juga ... dia satu-satunya perempuan yang saya cintai. Jika saya tidak bisa bersama mereka, siapa yang akan menyelamatkan saya lagi? Saya tidak punya orang yang saya sayangi lagi..."

"Kakekmu masih ada, Bas..."

"Kakek hanya sayang ke saya karena saya berguna untuk perusahaannya. Coba Pak Tio lihat sendiri, nasib sepupu saya yang lain ketika mereka tidak bisa bergabung dengan perusahaan ini. Jika saya sudah tidak lagi berguna seperti ini mungkin posisi saya akan digantikan Utama. Dan jika saya tidak bisa berfungsi dengan baik, saya akan jadi tidak berguna bagi perusahan. Tak lama kemudian saya pun akan dibuang oleh kakek seperti Kian dan Hakim."

Tio terkejut ketika Prabas mendongak ke arahnya. Wajhanya merah dan basah akan air mata.

"I'm sorry ... sir. Maaf jika saya cengeng karena tidak tahu harus bagaimana lagi. Ini buat saya sangat frustasi. Saya mohon Pak Tio ... saya minta maaf."

Prabas pun melipat kedua lututnya. Tio melihat sekelilingnya dengan panik. Ia takut dikira telah melakukan sesuatu yang membuat Prabas menangis. Tio pun berjalan cepat mencoba menarik kerah Prabas agar bangkit kembali.

"Bas .. udah..."

"Saya menyesal, Pak Tio! Kenapa saya tidak ikut mati saja seperti ayah saya! Dengan begitu Anda tak perlu lagi terus menyimpan sakit hati Anda setiap kali melihat saya! Saya minta maaf karena masih hidup!"

"Heh kamu ngomong apa sih! Bangun Prabas!"

Melihat posisi Prabas membuat Tio jadi khawatir. Tangan Prabas yang memegang tangannya sangat dingin dan bergetar hebat. Napasnya juga mulai terengah. Hal ini mengingatkan Tio akan dirinya juga mantan istrinya.

Perempuan itu juga memiliki serangan kecemasan dengan ciri-ciri yang sama seperti Prabas. Bahkan rutin mengonsumsi obat dari psikiater. Dia baru berhenti mengonsumsi obat setelah menemukan kebahagiaan barunya membuat Tio harus berlutut memohon seperti Prabas untuk meminta dan memohon penuh putus asa agar ia kembali. Namun hasilnya nihil. Tio kalah.

Seharusnya di saat seperti ini Tio merasa senang melihat Prabas berlutut dengan putus asa. Memohon seperti orang gila. Sepatutnya pemandangan orang yang menghancurkan keluarganya terpuruk seperti ini membuatnya bahagia. Tapi anehnya tidak demikian yang dirasakan oleh Tio saat ini. Ia justru merasa semakin tersiksa. Beban di dalam hatinya semakin bertambah.

Mungkin karena Tio melihat dirinya sendiri pada sosok Prabas yang berlutut. Berlutut pada seseorang yang bahkan tidak menyimpan sedikit empati pada yang berlutut. Tio menggeleng, ia harusnya membiarkan Prabas agar anak itu tahu bagaiamana rasanya terhina ketika bahkan bersujud pun diabaikan.

Namun ia tidak bisa.

Dengan raga juga jiwa yang lelah, Tio mendekati Prabas yang mulai menunduk memegangi dadanya yang terasa sesak. Angin malam yang dingin tidak akan membantu pemuda itu. Tio pun melepaskan jaket milik Prabas dan mengenakannya kembali pada sang pemilik.

Tio menghirup udara malam dalam-dalam kemudian dihembuskannya perlahan. Pria itu ikut berlutut di hadapan Prabas kemudian memegang kedua pundak Prabas dengan pelan seakan takut jika ia menyentuh dengan tenaga yang lebih banyak, pemuda itu akan kehilangan kesadaran.

"Bintang kecil ... di langit yang biru ...."

Suara lembut Tio melantunkan sebuah lagu yang sudah lama tak ia nyanyikan. Lagu yang selalu ia nyanyikan untuk sang istri ketika mendapatkan serangan panik. Lagu yang bisa membuat wanita itu menyandarkan kepalanya pada pundaknya. Namun kini sudah tidak ada lagi wanita itu. Justru orang yang sangat dibencinya lah yang menyandarkan kepalanya di pundaknya.

Tak hanya sekali. Namun dua kali Tio bernyanyi sampai Prabas bisa kembali tenang. Tio menarik tangan Prabas yang terlihat linglung. Tangan panjang Prabas pun disampirkan di pundaknya, mereka berputar arah untuk pulang.

***

Terimakasih Pak Tio sudah mengesampingkan ego di saat seperti ini ^^

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now