17

4.8K 653 11
                                    


Kaia melihat papanya yang terlihat kelelahan kemudian mendekat. Gadis itu berinisiatif untuk memijat kedua pundak papanya dari belakang. Ini adalah hari libur dimana akhirnya papa juga kakaknya bisa beristirahat tapi nanti malam harus pergi lagi untuk menghadiri pesta akhir tahun perusahaan.

"Papa nggak mau izin aja gitu? Nggak usah datang ke pestanya. Kan ada kakak juga nanti yang ke sana," ujar Kaia berharap papanya bisa beristirahat lebih banyak.

Tio memegang tangan putrinya sambil tertawa.

"Nggak apa-apa, Ai. papa nggak secapek itu. Nanti papa pulang lebih dulu deh, biar Ai nggak khawatir lagi."

Jawaban dari papanya itu belum sepenuhnya memuaskan Kaia. Gadis itu meraih sebuah koyo panas untuk ditempelkan di beberapa titik di punggung papanya. Tio berterimakasih kepada putrinya. Bersamaan dengan Kevin yang juga datang membawa kopi sambil membaca sesuatu di tabnya. Mungkin sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya.

"Prabas minta ganti jadwal lagi," ujar kakaknya membuat Kaia menghentikan pijatannya pada pundak papanya.

"Kenapa lagi kak?" tanya Kaia yang penasaran akan bos kakaknya itu.

Pria itu sungguh unik pikir Kaia. mengingat bagaimana pia itu bersikap sesuka hatinya sampai banyak merepotkan kakaknya. Antara luu dan kasihan, Kaia memiliki kekaguman sendiri pada Direktur utama tempat ia magang. Banyaknya omongan negatif di luar seperti sama sekali tidak mempengaruhinya. Jika itu Kaia, mungkin Kaia tak akan keluar rumah selamanya. Dipanggil Ifrit oleh hampir semua pegawainya secara terang-terangan tetap membuatnya datang bekerja setiap hari.

Pangestu juga tak segan menyebut pria itu Si Ifrit.Kaia selalu menegur temannya itu jika Pangestu sudah menyebut Direktur Utama mereka Si ifrit. Sangat tidak sopan pikirnya.

"Rapat dua minggu lagi untuk evaluasi tim marketing. Katanya dia nggak bisa datang. Karena masih dua minggu lagi, aku tawarkan untuk ubah jadwal rapat evaluasi, dia nggak mau."

Evaluasi tim marketing? Ah! Itu kan rapat yang akan timnya hadiri. Untuk memberi hasil akhir konsep iklan yang mereka buat kemudian diserahkan ke divisi lain. Karena bukan konsep Kaia yang terpilih, kaia tak perlu melakukan presentasi lagi. Jadi Kaia sama sekali tak peduli jika Direktur utama hadir atau tidak. Namun sejujurnya Kaia penaaan setengah mati akan orang yang selalu merepotkan kakaknya itu. Kaia pikir itu adalah kesempatannya untuk melihat langsung wajah Direktur Utama mereka yang terkenal itu.

"Hahaha, rasain kamu Kevin. Kamu kan sudah papa tawain untuk pindah kamunya yang nggak mau."

"Aku kan sudah bilang, aku mau pindah kalau ada yang gaji sama bonusnya lebih besar dari yang sekarang," awab Kevin sambil melirik papanya yang tertawa.

Pria itu tengah menuliskan sesuatu di tabnya. Kaia pindah untuk duduk ke samping kakakan untuk melihat apa yang pria itu tuliskan. Ia menggeleng karena melihat sebanyak itu jadwal seorang direktur utama.

"Itu dia kerjain sendiri, kak?" tanya Kaia.

"Hm-hm, orang gila kerja itu emang nggak kenal waktu untuk cari uang. Eh, tapi akhir-akhir ini dia lebih santai sih. Maklukm, efek jatuh cinta," jawaban kevin barusan menarik perhatian Tio.

"Kamu ada informasi sapa cewek yang dia dekatin nggak?" tanya Tio penasaran.

Kevin mengeleng. "Aku udah cari celah di jadwalnya, tapi sama sekali nggak bisa ketemu. Mungkin lingkup teman kuliahnya dulu."

"Hm... mungkin saja," jawa Tio seadanya.

Tio bangun untuk mengambil sesuatu tapi langsung mengeluh akan punggung yang terasa sakit. Kevin dan Kaia sama-sama mendongak dan melihat papa mereka dengan khawatir.

"Papa nggak apa-apa?" tanya kaia.

Tio hanya melambaikan tangannya menyuruh Kaia untuk tidak khawatir. Dia sepenuhnya baik-baik saja. Kaia menoleh ke arah kakaknya.

"Kak, papa boleh absen buat nggak ikut pestanya aja? Aku khawatir."

"Kalau itu pesta biasa mungkin papa bisa izin, tapi papa lagi mengincar salah satu pengusaha yang datang. Katanya perusahaan itu punya lingkup kerja yang baik. Dan papa mau masukkan kamu ke sana setelah lulus nanti."

"Astaga... aku bisa cari kerja sendiri, Kak."

"Iya, Ai. Kakak juga tahu itu. Tapi papa cuma khawatir. Papa mencoba realistis karena mencari kerja di zaman sekarang sudah semakin sulit. Papa nggak mau kamu sampai stres hanya karena mencari pekerjaan. Terima saja ya, Ai. papa lakuin ini untuk masa depan kamu juga."

Kaia merasa bersalah. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin sekali menolak hal itu. Itu memang sebuah privilege, tapi... rasanya seperti ada yang salah. Menggunakan koneksi orang tua untuk mencari pekerjaan. Kaia akan memikirkan ini nanti. Untuk saat ini, ia hanya mengangguk terlebih dahulu kemudian mengucapkan terima kasih atas perhatian kakak juga papa yang sudah mengkhawatirkan masa depannya.

Gadis itu meletakkan dagunya pada pundak Kevin.

"Apa aku ikut pesta nya aja, kak?'

"Hm?"

"Biar aku juga bisa jaga papa. Kalau papa kelelahan, aku bisa paksa papa untuk pulang."

Kevin berpikir sejenak. "Ide bagus, Ai! Kamu sudah punya gaunnya?"

***

Kaia mencari tas yang cocok untuk ia kenakan bersama pakaian serba hitamnya. Mendengar Kaia yang ingin bergabung dalam pesta akhir tahun perusahaan, Tio awalnya ingin membawa Kaia ke sebuah butik. Namun Kaia menolak keras. Dia bilang dirinya masih memiliki banyak pakaian yang cukup layak untuk ia kenakan.

sebuah blouse hitam tanpa lengan yang dipadukan dengan celana kain senada. Kevin dan Tio memberikan komentar mereka, bahwa pakaian yang Ai kenakan terlihat terlalu sederhana untuk sebuah pesta Group Salim. Tapi Kaia bersikukuh untuk mengenakan itu saja, mengingat dirinya di sana bukan untuk menikmati pesta melainkan menjaga papanya.

Setelah menemukan tas kecil yang cocok, Kaia pun mengambil jepit rambut yang ia punya dan ia letakkan di dalam tas. Akan ia gunakan ketika poninya mulai mengganggu. Kaia selesai tepat waktu. Tio dan Kevin sudah menunggu.

"Bagaimana?" tanya Kaia ketika sudah berada di ujung anak tangga.

Keduanya mengacungkan jempol mereka memberikan tanda puas.

"Kita lupa kalau Ai akan tetap cantik meskipun mengenakan pakaian sesederhana mungkin. Tetap terlihat seperti bidadari," komentar Kevin yang diterima oleh Tio dengan sebuah anggukkan kepala.

Pria itu kemudian mendekati putrinya dan mengeluarkan sesuatu yang sedari tadi ia simpan di dalam skau celananya.

"Ai, tambahin ini juga."

Tio membuka tangannya dan terdapat sebuah kalung emas. Kaia terdiam sejenak karena ia tahu siapa pemilik kalung iu sebelumnya.

"Pa... ini..."

"Ya... kita tahu bahwa kalung ini pernah dilempar ke lumpur oleh seseorang. Tapi... kalung ini adalah hasil kerja keras dan keringat papa pertama kali. Di balik semua kisah buruk akan kalung ini, papa nggak akan bisa melupakan jerih payah papa untuk membeli benda ini."

Kaia menggenggam tangan papanya dengan erat.

"Pa, Ai akan dengan senang hati untuk selalu mengenakan kalung ini. Ai janji akan menulis ulang semua kenangan kalung ini. Mulai saat ini kalung ini akan hanya mengenang kenangan yang baik-baik saja."

Tio mengangguk."Terima kasih, Ai. Papa tahu kamu akan bilang seperti itu. Papa sangat beruntung punya anak sebaik kamu."

Kevin menawarkan diri untuk mengenakan kalung emas tersebut di leher adiknya. Kalung itu terlihat begitu sederhana. Mungkin untuk saat ini papanya bisa memberikan kalung yang jauh lebih bagus dan mahal. Tapi ini semua bukan tentang harga. Ini adalah tentang saksi mata kerja keras papanya yang membawa mereka hidup dengan nyaman saat ini.

Setelah melihat kalung itu menggantung indah di lehernya, Kaia mengakui bahwa kini penampilannya terlihat lebih berwarna. Lingkaran kecil berwarna emas itu membuat pakaian milik kaia terlihat semakin elegan.

Kaia menggandeng tangan papanya untuk mereka berangkat ke pesta bersama-sama.

***

Kira-kira apakah mereka akan ketemu prabas???

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now