32

8.6K 911 93
                                    

Rasa sakit di perut Kaia semakin menjadi-jadi. Padahal ia sudah menghabiskan minuman kelapa kemasan yang Prabas berikan. Biasanya jika sudah minum air kelapa, rasa sakit di perutnya akan mereda. Mereka masih harus mendengarkan seminar terkahir sebelum makan siang. Karena makan siang ditunda, Kaia jadi tidak bisa mengganjal perutnya.

Keringat dingin mulai turun. Kram di perutnya semakin tidak bisa dikontrol. Kaia harus izin ke panitia. Kaia melihat salah seorang panitia yang duduk di ujung ruangan. Sepertinya Kaia harus mendekat.

Ia ragu. Kepalanya terlalu pusing untuk berdiri. Tidak boleh seperti ini. Kaia harus menunggu sebentar. Menunggu kram di perutnya reda sejenak untuk berdiri meminta izin. Namun apa yang diharapkannya tak kunjung datang. Hingga seminar berakhir, kram di perutnya tak kunjung menghilang.

"Kaia, ayo! Waktunya kembali ke bus untuk makan siang. Setelah itu kita pulang," ajak Wulan yang sudah berdiri di sampingnya.

"Wulan ... perutku sakit sekali."

"Kaia? Kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat sekali! Aku panggilkan panitia sebentar!"

"Wulan ... tunggu ...," panggil Kaia dengan nada kecil.

Kaia mencoba menahan Wulan untuk tidak berlebihan. Gadis itu berdiri terlalu cepat hingga akhirnya terjatuh akibat kaki yang lemah.

"Kaia!" Teriakan Wulan barusan berhasil membuat orang-orang yang meninggalkan aula menoleh ke belakang.

Melihat seorang peserta terjatuh ke lantai. Beberapa panitia bergegas membantu Kaia untuk berdiri. Sungguh Kaia tidak bermaksud mencari perhatian seperti ini. Wajahnya memanas karena malu diperhatikan. Didorong rasa malu, Kaia mencoba berdiri meminta maaf.

"Ada apa?" tanya seorang panitia.

"Tidak apa-apa, cuma sedikit lemas saja."

"Mau ke klinik? Ada klinik besar di dekat sini"

"Nggak perlu. Ini cuma sedikit kram karena sedang siklus datang bulan saja," jawab Kaia dengan sedikit tertawa kecil untuk meruntuhkan kecanggungannya.

"Okey, tapi kamu masih kuat ke bus? Kita sebentar lagi makan siang."

"Iya, masih kuat."

Sebagai tipe people pleasure, Kaia sungguh sungkan untuk berkata bahwa kram di perutnya semakin menjadi-jadi. Ia mencengkram tasnya dengan lebih kuat. Wulan sedari tadi menemani Kaia di samping, menjaga gadis itu agar tidak terjatuh lagi.

Namun ketika kakinya melangkah menuju tempat bus terparkir, dimana sinar matahari sangat terik begitu menyilaukan, Kaia pun kembali terjatuh. Silau cahaya membuat kepalanya pusing. Panasnya udara, terutama mereka sekarang berada di daerah industri, semakin membuat Kaia sesak.

"Kaia!" Panggil Wulan.

Kaia tidak bisa memberikan respon kali ini. Perut bagian bawahnya seperti dililit kemudian ditusuk oleh benda tajam. Terlalu sakit untuk bergerak. Bahkan membuka mata saja tidak bisa karena terlalu silau.

Saat Kaia merasa kesulitan untuk bergerak. Di saat itu lah, ia merasa tubuhnya terangkat. Aroma cologne yang familiar membuatnya sedikit bisa tenang. Sebuah tangan yang besar membawa wajah Kaia untuk bersembunyi di sebuah ceruk leher sehingga Kaia tak lagi terpapar sinar matahari.

"Kalian lanjut ke resto, biar anak ini saya yang urus."

"Ah- Ba-baik, Pak!"

Kaia baru bisa bernapas lega ketika wajahnya terkena angin segar. Wajahnya diusap dengan lembut. Gadis itu tak bisa menahan desahan lega ketika sesuatu yang dingin mengenai wajahnya.

Jangan Bilang Papa! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang