58

2.3K 430 23
                                    

Tio merasa sedikit iri dengan jaket tebal yang Prabas kenakan. Ia hanya mengenakan kaos berlengan panjang yang tidak mampu menghalau dinginnya malam. Terlebih lagi tadi habis gerimis membuat suhu jadi lebih rendah dari biasanya.

Berjalan beriringan dengan Prabas membuat hatinya kacau sekali. Ada amarah yang ingin diluapkan tapi mereka berada di luar ruang. Tio ingin Prabas bertanya-tanya lagi agar ia bisa memarahi si brengsek itu. Namun nyatanya anak itu hanya diam tak membuka suara sama sekali.

Malam itu hanya terdengar suara langkah mereka berdua juga dersik angin. Setelah gerimis, bulan jadi terlihat lebih terang seperti awan-awan dibersihkan dengan gerimis kecil tadi. Udara juga terasa lebih segar dan bersih. Hal itu menggelitik hidung Tio yang memiliki sinusitis. Hidungnya mulai memerah akibat dingin.

"Achoo!"

Tio mengusap kedua lengannya untuk menghangatkan diri. Tiba-tiba sebuah jaket yang hangat tersampir di pundaknya. Tio menoleh ke arah Prabas yang berjalan meninggalkannya  sambil membawa lampu senter besar.

"Kalau Pak Tio masih benci saya tidak apa-apa. Tapi jangan siksa diri Pak Tio karena jika bapak sakit, Ai akan sangat sedih. She loves you very much."

Tio yang akan melepaskan jaketnya itu mengubah pikirannya. Rasa sayangnya kepada putrinya jauh lebih besar daripada gengsinya. Dia lebih tidak ingin Ai menangis karena dirinya jatuh sakit daripada menjaga gengsinya kepada anak itu. Jaket ini tidak akan pernah mengerakkan hatinya untuk memaafkan keluarga Salim.

Mereka kembali berjalan dengan hening. Tibalah mereka di blok rumah. Dari kejauhan hanya lampu rumah Kaia yang menyala. Semuanya sudah mematikan lampu beristirahat.

"Kevin belum pulang," gumam Tio dengan kesal.

"Tapi lampunya sudah nyala."

"Ai tidak suka gelap. Dia pasti akan nyalakan semua lampu kalau tidak ada orang di rumah."

Tiba di depan rumah, mobil milik Kevin belum juga muncul. Tio pun masuk meninggalkan Prabas yang berdiri bingung di depan pagar. Pria itu pun mengundang dirinya masuk sendiri. Tio juga tidak menyuruhnya menunggu di luar atau melarangnya masuk. Jadi, Prabas menyimpulkan bahwa dia juga boleh masuk. Sekalian untuk menghangatkan diri karena Prabas telah meminjamkan jaketnya kepada sang ayah mertua.

"Tidur, sayang. Ini sudah malam sekali. Besok masih bisa dilanjutkan lagi. Nanti papa hubungi kakak untuk pulang. Dia janji pulang jam sepuluh tapi sudah jam segini belum pulang juga. Papa jewer telinganya besok!"

Prabas menyandarkan sisi tubuhnya di pinggir pintu melihat Tio yang menarik tangan Kaia untuk bangun. Gadis itu terlihat sibuk dengan laptop juga tumpukan bukunya. Senyumnya melebar kala gadis itu mencoba bertahan di tempat.

"Nggak apa-apa, papa! Ai bisa tunggu kakak sekalian di sini!"

"Nggak boleh! Kamu nanti masuk angin. Nanti kalau kamu sakit bagaimana? Tidur, Ai... papa nggak suka kalau kamu begadang begini."

"Ih... papa... Ai sudah besar! Ai tahu mana yang baik dan buruk untuk tubuhnya Ai."

"Mau kamu besar kayak raksasa, kamu akan selalu jadi anak-anak di matanya papa. Naik ke kamar sekarang! Papa balik keliling dulu. Kalau sampai kamu belum tidur waktu Kevin pulang nanti papa marah lho!" ancam Tio membuat Kaia tertawa. Pasalnya papanya itu menegurnya sambil tersenyum lembut dan mengusap wajahnya.

"Iya, iya... pa... Ai naik sekarang. Lampunya jangan dimatiin ya?"

"Iya, sayang. Selamat malam, mimpi indah."

Kaia mengecup pipi papanya dan berbalik. Gadis itu terkejut sekali melihat Prabas yang sedang melihatnya. Cepat-cepat gadis itu merapikan baju tidurnya dan memegang bagian kerah yang terbuka lebar. Prabas melambaikan tangannya menyapa Kaia dan dibalas gadis itu dengan sneyum simpul.

"Kamu ngapain masuk? Lanjut keliling sana!" tegur Tio yang kemudian menyusul prabas.

"Pak Tio, saya di luar kedinginan. Kan jaket saya-"

"Sana-sana keluar cepat!" Tio memotong ucapan Prabas dan menyeret anak itu untuk meninggalkan rumahnya. Prabas menoleh sekali lagi dan memberikan lambaian tangan kepada Kaia yang menatapnya khawatir dari anak tangga.

Sungguh kekasihnya itu dibesarkan di keluarga penuh cinta. Sekarang Prabas bisa sedikit melihat alasan mengapa dirinya akan selalu menjadi pilihan kedua bagi Kaia. Meskipun dirinya akan memberikan seratus cinta, Tio Saujana pasti akan memberikan seribu cinta untuk Kaia. Mau sebesar apa pun usahanya, Prabas tidak akan pernah menggantikan atau mengalahkan posisi Tio di hati Kaia. He was her first love and it's gonna last for her lifetime.

Meskipun Prabas telah merebut sosok ibu di keluarga mereka, tapi Tio berhasil mengisi kekosongan peran ibu. Yang Prabas tahu bahwa seorang ayah bertugas mendidik anak-anak dengan ketegasan dan ibu bertugas mendidik anak-anak dengan perasaan. Namun yang Prabas lihat adalah Tio Saujana melakukan dua tugas itu sekaligus. Sesuatu yang sifatnya bertolak belakang. Ketegasan dan Kelembutan. Tio berhasil menemukan titik seimbang itu sehingga Kaia bisa memberikan sepenuhnya kepercayaannya kepada sang ayah.

Mereka berdua lanjut berjalan. Kali ini kepala Prabas penuh dengan berbagai macam pikiran.

"Saya mengaku kalah," ujar Prabas membuat Tio menoleh.

"Omong kosong apa lagi ini?"

"Saya tidak akan pernah bisa membuat Ai berpaling dari Pak Tio. Anda adalah pria bertahta tertinggi di hatinya. Saya tidak bisa menggeser posisi itu. Saya memang sangat mencintai Kaia..." Tio ingin memotong ucapan Prabas. Namun raut wajah pria itu membuat Tio menggigit lidahnya. Dia belum pernah melihat wajah Prabas yang seperti itu. "Tapi saya merasa tidak layak. Saya merasa... sebanyak apa pun cinta yang saya berikan tidak akan bisa mengalahkan cinta yang Anda curahkan."

"Bas..."

***

Duel part 2???

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now