53

2.1K 383 17
                                    

Selamat membaca!

***

Seminggu ke depan adalah neraka sendiri bagi Prabas. Banyak dokter berlalu lalang untuk memeriksa kondisinya tapi tak ada yang bisa menyembuhkannya. Pangestu Salim yang mengetahui kondisi cucunya sangat marah kepada orang-orang medis yang tak kunjung bisa menyembuhkan sakit Prabas.

Pangestu Salim kembali melihat Prabas yang pingsan untuk kedua kalinya di hari yang sama. Anak itu kini akhirnya tergeletak setelah berteriak kesakitan di kepalanya. Ini seperti pasca kecelakaan dulu. Ketika Prabas kehilangan keluarganya satu siang.

Ini adalah salah satu alasan mengapa ia tidak ingin mengungkit masa lalu. Sekeras apa pun Prabas meminta jawaban konflik utama antara dirinya dan keluarga Tio Saujana, Pangestu Salim hanya memilih diam. Dia kenal cucunya itu. Dan dia tahu betul hal seperti ini akan terjadi.

Pangestu Salim menyalakan radio untuk memberikan terapi hypnotherapy salah satu prosedur medis untuk membuat Prabas melupakan masa lalu. Namun ada yang aneh, biasanya setelah ini Prabas kembali akan melupakan hal yang membuatnya trauma tapi ini sudah berhari-hari, Prabas selalu mengingat. Sepertinya memang secara sadar Prabas menolak perintah dari hypnotherapy tersebut.

Anak itu seperti memaksakan diri untuk mengingat. Pangestu Salim mengusap keringat di kening cucunya. Merasakan ada tangan yang menyentuhnya, wajah Prabas bertekuk di dalam tidurnya.

"Utama, untuk sementara waktu ini kakek tugaskan kamu di kantor utama. Prabas sepertinya butuh waktu lebih lama untuk bisa kembali menjalankan tugasnya."

Seorang pria seusia Prabas melihat Prabas dan menghela napas.

"Baik, kakek."

"Ini hanya sementara. Setelah Prabas benar-benar bisa sembuh, kakek akan carikan kamu tempat baru yang lebih baik."

"Saya tidak akan mengecewakan kakek," jawabnya.

Pangestu Salim berdiri dibantu dengan tongkat berjalannya diikuti oleh Utama, cucunya yang lain, meninggalkan kamar Prabas dirawat. Setelah ia memastikan absennya Prabas tidak akan mengganggu perusahaan, ia ingin berkunjung ke rumah lain.

Kaia baru selesai membantu papanya masak untuk makan siang. Sejak papanya mengundurkan diri, kini keduanya sering mencoba memasak masakan nusantara untuk membantu papanya yang berniat membuka restoran nusantara sebagai bisnis barunya.

Bel pintu rumah berbunyi. Kaia pikir itu adalah peralatan makan yang mereka order belum lama ini. Kaia pun melepaskan sejenak apron. Ponselnya tergelincir keluar meninggalkan saku apron membuat kaia melihat layar ponselnya sekali lagi. Sudah beberapa hari ini ia sedang menunggu hubungan telepon dari Prabas. Pria itu berjanji akan menghubunginya sejak pertemuan mereka di pemakaman saat itu. Namun tak ada satu pun pesan yang masuk dari nomor Prabas.

Kaia membuka pintu. Dirinya sangat terkejut melihat Pangestu Salim yang berdiri di depan pintu rumahnya.

"Siang, Nak Ai," sapa Pangestu Salim dengan ramah membuat kaia tergagap di depannya.

"Boleh kakek masuk?" tanya Pangestu Salim sekali lagi dan Kaia pun mengangguk cepat. Ia memiringkan tubuhnya agar Pangestu Salim bisa masuk.

"Siapa Ai? Kurir yang antar piring ya?" tanya Tio yang baru meninggalkan dapur.

Tio melihat kehadiran Pangestu Salim dengan terkejut. Namun tak butuh waktu lama untuk pria itu kembali terlihat tenang. Ia menjabat tangan mantan bosnya dan mengajaknya duduk di ruang tamu. Kaia diminta untuk membuat kopi untuk pangestu Salim.

"Tio. Sepertinya Prabas mengingat lagi masa lalunya."

Mendengar nama Prabas membuat Tio berdecak. Pria itu menatap lampu yang bergantung di atas langit-langit rumahnya. Keheningan itu cukup lama sehingga Tio kembali menegakkan tubuhnya.

"Tidak ada urusannya dengan saya, Pak."

"Tidak bisa kah kamu memaafkan anak itu? Tidak apa meskipun berpura-pura. Hanya untuk menenangkan jiwanya saja."

"Dia menginginkan putri saya seperti ayahnya yang menginginkan istri orang lain. Saya tidak bisa membiarkannya. Jika saja laki-laki itu tidak memaksakan kehendaknya, mungkin saja istri saya masih di sini sekarang. Akan menemani Ai yang sebentar lagi akan wisuda."

"Mantan istri..."

Tio tertawa kecil. "Terserah saja."

"Saya tidak tahu harus meminta maaf seperti apa lagi. Saya tahu apa yang anak saya lakuakn adalah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Tapi Prabas hanyalah anak kecil, Tio. Dia tidak tahu apa-apa. Dia hanya anak kecil yang kehilangan keluarganya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi..."

Tio hanya menghela napas. Seperti apa pun Pangestu Salim meminta maaf, Tio tidak akan memberikan maafnya. Bukannya karena tidak ingin tapi ini bukan salah dari Pangestu Salim. Melainkan salah dari anaknya. Seharusnya laki-laki itu yang datang dan bersujud meminta maaf kepadanya, Kevin juga Kaia.

"Pak, pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya. Saya berterimakasih kepada Anda karena bantuan Anda selama ini. Tapi ini tidak bisa berlanjut, pak. Jika Prabas ingin hidup dengan tenang, suruh dia untuk berhenti mengganggu putri saya. Cari perempuan lain. Anggap saja ini karma untuknya karena telah merebut istri saya. Tidak akan saya izinkan dia untuk merebut putri saya lagi saat ini."

Pangestu Salim menunduk lemas. Ia tersenyum lembut ketika Kaia tiba membawakannya segelas kopi.

"Bagaimana kabarnya, Ai?" tanya Pangestu Salim.

"Um... baik, pak."

"Kakek dengar sebentar lagi mau wisuda ya? Kakek ucapkan selamat. Bulan depan jangan lupa untuk berkunjung ke ulang tahun kakek ya."

Kaia hanya tersenyum canggung. Pangestu Salim berdiri dan menyentuh tangan Kaia dengan lembut. Sebuah kertas kecil terselip di antara tangan yang menggenggam. Kaia melirik pria tersebut yang masih tersenyum simpul. Sebuah kedipan mata pelan memberi kode Kaia untuk tidak mengatakan apa pun. Gadis itu mengangguk dan menyembunyikan tangannya yang berisikan secarik kertas ke dalam saku apron.

"Tio, saya harus kembali. Kondisi Prabas saat ini membutuhkan saya. Saya meminta kepadamu, Tio. Saya meminta kepadamu sebagai seorang kakek yang tidak ingin kehilangan cucunya. Tolong bukakan pintu maaf kepada Prabas. Dia hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa."

Kaia membantu Pangestu Salim yang akan berdiri. Tio masih bergeming di tempatnya. Tangannya yang terlipat di depan dada menunjukkan sikap keras kepala yang tidak ingin mengantar tamunya untuk pulang. Sehingga tugas itu pun dilakukan oleh Kaia.

Kaia mengantarkan Pangestu Salim yang sudah ditunggu oleh asistennya yang lain.

"Ai, Prabas sekarang dalam kondisi untuk tidak bertemu dengan siapa pun. Tapi kakek izinkan kamu untuk menemuinya. Mungkin dengan begitu, dia bisa punya keinginan untuk sembuh."

"Prabas sakit?"

"Iya, nak. Kunjungilah alamat yang kakek tulis tadi. Prabas dirawat di sana."

Kaia mengangguk mengerti. Hal itu membuat Pangestu salim merasa lebih lega. Pria itu pun izin untuk meninggalkan rumah dan berlalu.

Di tengah kesibukannya, Pangestu salim melihat ke arah luar jendela. Ia bisa melihat bagaimana kehidupan diambil dari sorot mata Tio Saujana. Ia tahu bahwa maaf hampir tidak mungkin didapatkannya. Ia juga sadar bahwa apa yang dilakukan putranya adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa diperbaiki. Bahkan pelaku yang memporak porandakan kehidupan tio Saujana telah lama pergi. Tak ada yang bisa lagi mencairkan hati pria itu. Yang Pangestu inginkan saat ini hanyalah sebuah keajaiban.

Dan satu-satunya orang yang bisa Pangestu harapkan untuk membawa keajaiban itu adalah Kaia sendiri.

***

Jangan lupa vote dan komennya yaaa ^^

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now