51 (happy family)

600 76 2
                                    

Hamparan rumput luas sejauh mata memandang mata. Keluarga kecil beranggotakan lima orang tengah menikmati hembusan angin di sebuah tanah tanpa rumah.

Ide awal mereka ke sebuah pusat perbelanjaan di kota cuma tidak jadi. Dikarenakan Rimba merengek ketika melihat hamparan luas tersebut.

Jadi yah mereka sekarang tengah berada disana. Sang sulung memimpin jalan diikuti oleh kedua anaknya yang lain. Di belakang mereka ada kedua orangtua mengawasi.

Stevan merangkul mesra sang istri. "Mereka tumbuh begitu cepat," ujar Stevan.

"Sebentar lagi satu-persatu dari mereka akan sibuk dengan dunia masing-masing," ujar Lusi.

"Pertumbuhan mereka saja berbeda dengan kebanyakan anak disini," ujar Stevan.

"Yah benar," ujar Lusi.

"Semalam aku membicarakan adik perempuan yah ditolak sangat jelas oleh mereka," ujar Stevan.

"Mungkin bagi mereka meratukan diriku lebih dari cukup," ujar Lusi santai.

"Marcus berencana memiliki seorang anak perempuan dalam waktu dekat," ujar Stevan.

"Kehadiran adek diinginkan oleh Rimba begitupula dengan Rimba oleh Argo sendiri," ujar Lusi.

"Yah benar apabila kita memiliki namun ketiga anak jagoan kita tidak mau malah kasihan dia kelak," ujar Stevan.

"Itulah yang kupikirkan," ujar Lusi.

Dari kejauhan bisa terlihat bahwa Rimba mengajak kedua saudaranya untuk bermain. Tak lama mereka mulai mengejar satu sama lain. Tawa mereka menjadi melodi indah bagi sepasang suami istri yang mengabdikan momen manis ke sebuah kamera.

Di satu sisi mata Stevan mengawasi keadaan sekitar untuk tetap waspada. Dia membawa anak buah mereka ada tapi dari kejauhan. Disebabkan Argo tidak menyukai akan pengawalan berlebihan menurut dirinya.

"Kurasa menantu kita akan menjadi anak kesayangan kelak," ujar Lusi.

"Usia mereka saja masih sangat kecil sayang," ujar Stevan.

"Aku sedikit lucu akan cerita Rimba kemarin malam," ujar Lusi.

"Kakak menceritakan apa?" tanya Stevan penasaran.

"Lebih baik kita duduk saja di pohon sebelah sana," ujar Lusi menunjuk ke sebuah pohon rindang yang letaknya tidak jauh dari ketiga anaknya.

Stevan menggangguk mengerti untuk kesana. Jalan beriringan mereka bahkan berpegangan tangan ditatap tidak peduli oleh ketiga anaknya. Saat Sesaat ketika Stevan duduk tubuh Stevan berniat menyenderkan tubuh ke pohon ada beban tambahan di paha. Ternyata itu ulah ketiga anaknya. Dia tidak mempermasalahkan mengenai tindakan mereka.

"Mama capek," keluh Rimba.

"Adek mau susu!" pekik Fano.

"Lelah," keluh Argo.

Argo menyenderkan kepala dia ke dada bidang Stevan. Kedua adiknya mengikuti tingkah laku Argo. Yah jadi tidak heran apabila sifat Argo sedikit ditiru oleh mereka.

Maka dari itu ketika membunuh Stevan akan mengajak Argo saja. Dia juga berniat memperkenalkan Rimba mengenai itu cuma tidak jadi.

"Dada papa keras tidak seperti mama!" kesal Rimba.

"Pindah duduk kamu dekat mama," ujar Stevan menahan kesal.

"Disini lebih enak duduknya," ujar Fano polos.

"Sayang biarkan saja anak-anak bersamamu," ujar Lusi.

"Baiklah." Stevan membiarkan Argo bersender di dadanya sambil memainkan hp miliknya. "Bagaimana tentang cerita mengenai kakak?" tanya Stevan penasaran.

Mendengar nama dia disebut Rimba menatap bertanya ke arah sang ibu. "Mama cerita apa sama papa?" tanya Rimba.

"Mama akan cerita mengenai kemarin malam itu," ujar Lusi.

"Ada adek mah!" protes Rimba.

"Baiklah mama tidak jadi mengatakan itu," ujar Lusi mengalah.

Keluarga bahagia itu menceritakan banyak hal tentang kesibukan masing-masing. Sebuah pria tengah mengawasi canda tawa keluarga Stevan. Seringai jahat nampak jelas di wajah sang pria.

"Lebih baik kau mati segera Stevan," ujarnya.

Selesai mengatakan hal tersebut pria itu pergi dari sana. Sejak awal Stevan memang memperhatikan sebuah pohon yang tak jauh dari sana. Dugaan Stevan benar bahwa ada orang jahat mengintai mereka.

"Setelah dipikir aku juga seorang kriminal. Setidaknya di dunia membunuh aku melampiaskan hal tersebut kearah positif," batin Stevan.

Kebanyakan pembunuhan memang untuk para koruptor di negara Indonesia. "Bagaimana ujian abang dan kakak?" tanya Stevan.

"Papa aku mau sekolah di rumah saja," ujar Rimba.

"Kakak dibully?!" tanya Stevan khawatir.

"Aku mager bangun pagi hari," keluh Rimba.

"Papa kira kenapa," ujar Stevan bernafas lega.

"Sayang, kakak itu preman sekolah," ujar Lusi.

"Mereka yang mulai duluan jadi aku balas," jawab Rimba santai.

"Abang!" panggil Stevan.

"Soal terlalu mudah bagi abang." Argo menatap kearah sekitar sejenak "Abang mau tidur saja," ujar Argo.

Remaja itu kembali tertidur di dada bidang Stevan." Belajar menulisnya bagaimana?" tanya Stevan.

"Mudah kok. Adek sudah bisa menulis nama sendiri lho," ujar Fano menyombongkan diri.

"Adek keren! Kakak dulu seumuran kamu kebanyakan bermain," ujar Rimba.

"Kamu saja sekolah tidak mau," sindir Stevan.

"Sekolah tidak mengerti diriku," ujar Rimba.

"Setiap manusia memiliki sifat egois dan munafik. Maka jangan heran akan manusia bermuka dua," ujar Argo.

"Lha abang bukannya tidur malah mendengarkan?" heran Lusi.

"Papa elus rambutku," ujar Argo.

Menurut ucapan sang anak Stevan dengan lembut mengelus rambut Argo. "Kakak mendengarkan ajaran papa ternyata," puji Stevan.

"Anakmu bertengkar terus malah bersyukur!" kesal Lusi.

"Hey papa bilang kamu saja sering membolos dan tawuran juga sayang!" protes Stevan.

"Oi jangan dibongkar!" pekik Lusi.

"Wah aku mau membolos juga!" pekik Rimba.

"Tidak boleh!" tegas Lusi.

"Izin bolos sama papa saja. Anggap saja hadiah dari papa karena kamu keren," ujar Stevan.

"Makasih," ujar Rimba.

"Sama-sama nak," ujar Stevan.

"Stevan jangan mengajarkan hal sesat terhadap anakku!" pekik Lusi.

"Jiwa berandal Rimba dari dirimu lho sayang," ledek Stevan.

"Kau juga sama sayang," ujar Lusi.

Mereka berdua akhirnya tertawa mengenai masa muda mereka. Berbeda dengan Rimba dan Fano yang sedikit tidak paham mengenai semuanya.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Minggu 05 Mei 2024

Save My Brothers Where stories live. Discover now