38 (abang serasa adik)

746 77 2
                                    

Baru tiba di rumah Argo langsung menarik tangan Rimba menuju kamarnya. Dia menatap tajam Rimba membuat sang adik sedikit ketakutan akan tatapan tersebut.

"Abang kenapa menatapku seperti itu?" tanya Rimba.

Argo memegang kedua bahu sang adik bahkan mendorongnya diatas kasur. Tatapan mata Argo tetap sama yaitu suatu kemarahan.

Sang adik merasa takut akan wajah menyeramkan sang abang. "Bang katakan saja apa yang ingin dikatakan," ujar Rimba.

Argo menarik baju sang adik. "Kau penyebab semua teman sekelasku ketakutan kepadaku?!" kesal Argo.

"Kenapa kau menuduhku begitu?!" bingung Rimba.

"Tatapan matamu berkata bahwa ucapanku benar adanya," ujar Argo.

"Aku tidak suka abangku dihina mereka!" kesal Rimba.

"Bukan dengan mengancam agar mereka tunduk padaku Rimba?!" kesal Argo kepada sang adik.

"Mereka saja yang lemah. Bahkan beberapa menit setelah duel denganku mereka tepar di tanah," ujar Rimba.

"Kau menghajar mereka?!" kaget Argo.

"Sejak aku kecil abang melindungi diriku maka aku juga ingin membalas budi atas perbuatan baik abang padaku!" pekik Rimba.

"Kau malah membuat masalah semakin runyam Rimba!" pekik Argo.

"Cara kekerasan itu diperlukan agar mereka tidak meremehkan dirimu bang. Orang yang kau tusuk dengan pensil saja tetap menghinamu ketika kau koma," ujar Rimba.

"Alasanmu melakukan hal tersebut?" tanya Argo.

Rimba tersenyum kearah sang abang. Dia melepaskan kedua tangan Argo dan malah memeluk tubuh Argo sangat erat.

Bocah berusia sembilan tahun itu menatap sang abang yang lebih tua tiga tahun darinya. "Abang pasti paham penyebab aku melakukan itu apa," ujar Rimba.

Tangan kanan Argo mengelus rambut Rimba yang cukup lebat. "Kadangkala sikap dewasamu membuat abang khawatir," ujar Argo.

Rimba mendongkak menatap wajah abangnya. "Kenapa khawatir?" tanya Rimba.

"Kamu adikku Rimba bukan sebaliknya," ujar Argo.

"Sesama saudara perlu menjaga itu yang diajarkan papa kepada kita bertiga," ujar Rimba.

"ABANG! KAKAK! DIMANA?! ADEK TIDAK MENEMUKAN KALIAN?!" teriak sang bungsu.

Mendengar suara sang adik Rimba melepaskan pelukan dari sang abang. Dia dengan cepat bergegas mencari adik kecilnya itu.

Argo memutuskan mandi sebentar sebelum bertemu sang adik kecil. Beberapa menit kemudian dia telah rapih dengan pakaian kasual. Dia keluar kamar untuk mencari keberadaan kedua adiknya mendengar suara mereka berada di ruang tv dia kesana.

Ternyata kedua anak kecil berusia sembilan dan tiga tahun itu tengah bermain puzzle mengabaikan tv. Argo duduk di sebelah sang bocah kematian Fano.

Balita itu tumbuh menjadi balita lumayan berisi bahkan kedua pipinya sangat bulat. Seketika Argo menatap wajah Rimba dia ingat dulu Rimba juga sama yaitu gemuk tapi seiring berjalan waktu tumbuh Rimba semakin kurus seperti dirinya.

"Abang!" panggil Fano.

"Aku mau mandi dulu," ujar Rimba.

Dengan cepat Rimba mencium pipi kanan Argo dan Fano setelah itu langsung berlari menjauh begitu saja. Kasih sayang antar saudara memang tertanam oleh didikan Lusiana.

"Wajah abang kok seperti sedih?" tanya Fano.

Remaja berusia dua belas tahun itu lupa bahwa sang adik cukup peka akan keadaan sekitar. Balita itu pernah hampir diculik ketika berusia satu tahun saat Argo dan Rimba ada acara study tour di sekolah dulu.

Kedua orangtua mereka tengah pergi sebentar ke belakang mengambil sesuatu entah apa itu. Saat keadaan sepi seorang pria dewasa datang ke rumah entah bagaimana Fano berhasil bersembunyi di sebuah kardus terdekat tak lama sosok Stevan menghajar dia hingga pingsan.

Bahkan rekaman cctv terlihat jelas bahwa Fano pandai menipu sang pelaku penculikan untuk tidak menangkap dirinya. Sejak itu penjaga Fano lebih ketat agar tidak ada yang membawa Fano ketika mereka lengah.

"Abang!" panggil Fano.

"Oh iya," ujar Argo.

Sang balita menepuk pipi Argo membuat Argo menatap bingung akan tindakan balita itu.

"Kata mama tidak boleh melamun kita masih anak kecil tahu. Yang perlu kita lakukan itu bermain!" pekik Fano riang.

"Aneh kenapa kedua adikku lebih dewasa," batin Argo.

"Mereka terlalu mandiri sejak dini wajar sikap kedewasaan itu ada tanpa sadar," ujar Henry.

"Jangan melamun!" pekik Fano memukul pipi sang abang.

Pukulan Fano memang tidak terasa sakit. Tangan berlemak itu ditangkap Argo dia mulai mengelitik tubuh berlemak Fano. Suara tawa renyah Fano membuat suasana rumah semakin hidup.

Di kejauhan ada sosok Stevan tersenyum melihat tawa kedua anaknya. Dia memperhatikan sekitar tidak menemukan keberadaan anak kedua dia.

Dia beranjak pergi menuju kamar Rimba. Disana Rimba tengah memakai baju kaos suara deheman membuat Rimba menatap malas sang ayah.

"Ketuk pintu dulu papa!" kesal Rimba.

"Kau anak laki-laki jadi tidak perlu malu kepada papa. Lagipula burung kamu juga masih kecil," sahut Stevan santai.

"Tidak ada hubungannya dengan itu," ketus Rimba.

"Papa dengar kamu menghajar teman abangmu?" tanya Stevan.

"Lagipula mereka yang memulai bukan aku," jawab Rimba.

"Papa mengerti. Lain kali sekalian tanya perusahaan orangtua mereka bekerja," ujar Stevan.

"Kesalahan anak tidak ada sangkut pautnya dengan orangtua dia," ujar Rimba.

"Yah sudah kamu keluar sana kedua saudaramu tengah menunggu," ujar Stevan.

"Aku mau tidur saja malas," ujar Rimba.

Ucapan Rimba benar dia memang sedikit mengantuk. Anak tersebut tidur mengistirahatkan tubuh dia. Sang ayah yang berada disana mendekat kearah Rimba lantas menepuk punggung Rimba agar segera tertidur dengan nyaman.

Elusan tangan Stevan berhasil. Pria dewasa itu memang seringkali menghabiskan waktu bersama ketiga putranya dia akan bergantian dengan Lusiana.

Jadi jangan heran Stevan juga lumayan dekat dengan ketiga anaknya. Sejak awal pernikahan saja Stevan seringkali membantu pekerjaan rumah tangga hingga sekarang.

Di ruang tamu Lusiana memperhatikan kedua anaknya ketika akan membuka kamar Rimba sang suami keluar. Stevan berkata bahwa Rimba tidur membuat Lusiana tenang.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Sabtu 07 April 2024

Save My Brothers Où les histoires vivent. Découvrez maintenant