19 (stevan rusuh)

1.1K 104 12
                                    

Suasana di kediaman keluarga Stevan Kabar Jovetic serasa tenang. Tak lama ketenangan itu hilang seketika disebabkan oleh anak kedua di keluarga tersebut.

Di tangan Rimba ada sebuah ember kosong berlumuran oli. Anak tersebut langsung berlari kearah Argo yang tengah duduk sambil membaca buku.

"Abang!" pekik Rimba.

"Ada apa?" tanya Argo.

Rimba tidak menjawab dia malah masuk ke dalam baju yang digunakan oleh sang kakak. Argo sedikit kegelian karena rambut Rimba mengenai dadanya.

"RIMBA DAN JOVETIC!" kesal Stevan.

Disana ada sosok Stevan dengan wajah penuh oli menatap kearah sekitar mencari pelaku akan semua yang dia alami. Argo tertawa melihat penampilan sang ayah. Bahkan setelan Stevan sangat rapih namun sayang malah dirusak oleh anak tengahnya.

"Abang cepat keluarga adikmu itu!" pekik Stevan melihat jelas bahwa sang anak yang dia cari tengah bersembunyi di dalam baju Argo.

"Dan ayo minta maaf sama papa," ujar Argo.

"Aku benci ucapan papa tadi pagi!" pekik Rimba.

"Papa!" tegur Argo kepada ayahnya.

"Emang papa mengucapkan sesuatu?" bingung Stevan tidak mengerti.

"Ish papa bilang kalau rela mati demi keselamatanku dan semuanya!" kesal Rimba.

"Bukannya hal wajar," ujar Stevan santai.

"Abang aku memang jahil terus sama papa cuma tidak mau papa pergi jauh dan tidak bertemu kembali!" tangis Rimba memeluk tubuh Argo.

Stevan tersenyum akan ucapan sang anak. Dia tahu setiap anaknya memiliki cara masing-masing menunjukkan kasih sayang. Dimulai dari Argo yang memberikan kartu ucapan saat dia ulang tahun atau hari ayah. Rimba yang dasarnya jahil ingin ditemani bermain oleh Stevan. Fano balita yang memang secara terang-terangan menyayangi dirinya tanpa tertutup gengsi seperti kedua kakaknya.

"Ciee khawatir," ledek Stevan kepada sang anak tengah.

"Abang!" rengek Rimba.

"Hahaha," tawa Stevan.

"Papa ganti baju dulu sana. Nanti dikira orang gila masuk ke rumah lagi," ujar Argo sarkas.

"Astaga mulutmu pedas sekali," komentar Stevan.

"Ngaca papa juga sama!" pekik Argo.

"Hehehe," tawa Stevan.

Pria dewasa yang dikenal mafia kejam itu kabur menuju kamarnya. Tak lama ada sosok Fano berlari menghampiri Argo. Balita lucu itu nampak bingung ketika ada seseorang di dalam kaos sang abang.

"Kakak kenapa menangis?" tanya Fano.

Walaupun Fano masih kecil dia telah cukup hafal suara anggota keluarganya. Daya ingat Fano memang luar biasa dibandingkan anak seumurannya. Wajar sih kedua orangtua Fano mendidik dia mandiri sejak dini bahkan memberikan mainan edukasi mengasah otak.

"Sedih disebabkan papa," ujar Argo.

"Papa?" beo Fano memiringkan kepalanya.

Wajah kebingungan Fano sangat menggemaskan. Kedua pipi bulatnya bahkan seperti mochi siap makan. Balita berusia tiga tahun itu memang suka sekali makan bahkan sehari lima kali makan. Jadi jangan heran tubuh Fano sangat berisi yah karena nafsu makan dia cukup tinggi.

"Wah ada mochi papa!" pekik Stevan.

Fano sedikit kaget akan teriakan Stevan. Namun saat Fano sadar akan dipeluk ayahnya dia cukup terlambat. Tubuh mungil Fano telah didekap sangat erat oleh Stevan. Tidak hentinya Stevan mencium pipi Fano. Dia gemas terhadap putra bungsunya ini.

Sekali kali Fano diculik omnya dan hampir saja terjadi pertumpahan darah karena ulah iseng omnya itu. Mereka tidak menginginkan anak bergender tertentu.

Bagi keluarga Jovetic entah laki-laki atau perempuan cara mendidiknya tetap sama. Lagipula kehadiran Fano memang kejutan besar bagi Stevan dan Lusiana.

Mereka pikir tidak akan diberikan seorang anak lagi tapi ternyata tidak. Bayi mungil merah hadir ditengah keluarga kerja Jovetic.

Sang balita berusaha melepaskan pelukan sang ayah walaupun kesulitan. Tatapan memelas Fano kepada Argo meminta bantuan membuatnya kasihan. Argo memeluk tubuh Rimba sangat erat dia menggendong adik pertamanya itu di depan.

Setelah itu Argo menarik tubuh Fano dari dekapan sang ayah. Fano memeletkan lidahnya kearah ayahnya karena terbebas dari ciuman tiada henti dari Stevan.

"Abang lagi seru papa tuh," keluh Stevan.

"Kau ini sayang benar-benar deh seperti anak kecil," ujar Lusi.

Ibu rumah tangga di keluarga Jovetic membawakan cemilan dan juga minuman untuk semuanya. Sosok tegas Stevan bahkan minum susu cokelat buatan sang istri.

"Kamu ini masih saja suka susu cokelat," ujar Lusi heran kepada suaminya.

Mendengar suara sang ibu Rimba turun dari gendongan Argo begitu juga Fano. Mereka bertiga langsung meminum susu cokelat buatan sang ibu.

"Tuh anakku juga suka," tunjuk Stevan.

Yah baik Argo, Rimba dan Fano memang menyukai susu cokelat. Tidak heran itu semua memang kesukaan sang ayah.

"Ini buah jatuh sepohon-pohonnya," komentar Lusi.

"Makanya buat kamu versi mini biar kamu tidak iri," ujar Stevan.

"Kalau mirip denganku kalau duplikat seperti mu sama saja bohong," timpal Lusi.

"Hehehe genku terlalu kuat hingga ketiga putra kita mirip denganku," ujar Stevan.

"Makanya tidak perlu tes DNA lagi," ujar Lusi.

"Minggu depan anak-anak libur sekolah. Aku berencana akan melatih mereka ilmu bela diri di Paris sekalian mengajarkan bahasa inggris kepada Fano," ujar Stevan.

"Ingat anak-anak belajar bahasa asing ketika berusia enam tahun bukan sekarang," peringat Lusi.

"Aku melupakan itu," ujar Stevan.

"Papa kan sudah tua makanya pelupa," ujar Argo.

"Hahaha benar," tawa Rimba nista.

"Hahaha," tawa Fano mengikuti sang kakak.

"Lihat bahkan tingkah menyebalkan mereka mirip sepertimu," ujar Lusi.

"Kebetulan ada pengkhianat satu di ruang bawah tanah," ujar Stevan menatap mata sang anak sulung.

"Aku akan membereskannya," ujar Argo.

"Kok kita belum boleh menyiksa musuh?" tanya Rimba.

"Nanti saja saat berusia sepuluh tahun," jawab Stevan.

"Berarti sebentar lagi aku bisa," ujar Rimba.

"Adek mau nenen," ujar Fano merentangkan tangannya kearah Lusi.

"Ayo ke kamar mama," ujar Lusi.

"Papa mesum ternyata," ujar Argo.

"Heh itu wajar!" pekik Stevan tidak terima.

Rimba yang tidak mengerti lebih memilih memakan cemilan yang tersedia. Membiarkan sang abang dan ayahnya bertengkar satu sama lain. Tanpa berniat memisahkan mereka berdua.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Rabu 21 Februari 2024

Save My Brothers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang