43 (khawatir)

674 82 9
                                    

Purnama menggantikan sang mentari. Taburan bintang menghiasi malam yang tenang. Di sebuah kamar ada Argo diam mendapatkan pelukan sang ayah.

Sejak tadi Stevan tidak melepaskan pelukan bahkan ketika membaca tentang target dia selanjutnya. Argo juga nampak menikmati saja lagipula dia juga memerlukan pelukan.

"Abang!" panggil Stevan.

"Ya," sahut Argo.

Stevan sedikit melonggarkan pelukan. Di dalam Argo terpajang berbagai macam piala, piagam dan prestasi sang anak. Ada dua lemari besar berisi piala milik Argo. Sejak berusia tiga tahun sosok Argo memang jenius terlepas dari sifat pendiamnya.

Tidak ada yang menekan Argo untuk menjadi sempurna dalam berbagai bidang. Itu murni kemauan Argo sendiri untuk belajar banyak hal. Maka dari itu dia kadangkala mengabaikan kesehatan demi mencapai juara satu.

"Abang bisa berhenti lho belajar terlalu keras. Papa dan mama khawatir kehilanganmu," ujar Stevan.

"Belakangan ini abang jarang masuk sekolah. Jadi pasti ketinggalan sangat banyak pelajaran," sahut Argo.

"Papa paham. Mengenai pelajaran bisa kita kejar nanti terpenting sekarang kesehatanmu dulu."

"Kamu tidak naik kelas satu tahun juga tidak masalah nak. Lagipula usiamu memang semestinya baru saja masuk smp," ujar Stevan memberikan pengertian kepada sang anak.

"Abang malas mengulang," sahut Argo.

"Yah sudah. Apabila kau masih keras kepala keputusan papa lebih baik kamu homeschooling saja!" tegas Stevan.

"Tidak mau!" protes Argo.

"Papa mengkhawatirkan dirimu Ar." Stevan mengelus rambut sang anak. "Mana ada orangtua rela anaknya mati sebelum dirinya!" kesal Stevan.

"Pasti ada yang perlu dikorban pah," ujar Argo.

"Tapi bukan dirimu!" pekik Stevan.

"Aku tidak mau melihat kematian lagi," ujar Argo.

"Kau pikir dengan kematian dirimu kita sekeluarga senang akan hal tersebut Ar?! Tidak akan senang sama sekali!" kesal Stevan.

"Aku takut," ujar Argo.

Stevan memegang kedua bahu sang anak. "Kau lahir membuat diriku mengerti bahwa menjadi sosok ayah itu sangat sulit. Jadi ketika kau berkata akan mati demi keluarga ini membuatku sakit hati Ar," ujar Stevan menatap wajah sang anak.

Sang anak memalingkan wajahnya tidak mau menatap wajah sang ayah. Kecupan di kening membuat Argo terdiam. "Abang maaf kalau papa terbawa emosi. Papa tidak mau kehilangan salah satu dari kalian. Setidaknya kalian yang mengantarkan peti mati papa ke pemakaman bukan sebaliknya," ujar Stevan memeluk erat tubuh sang sulung.

Tidak ada jawaban Argo lebih memilih memejamkan mata tidak mau menjawab apapun. Dia mengerti bahwa jalan yang dia tempuh bahkan akan membuat kedua orangtuanya sedih.

Di sisi Stevan dia juga tidak mau kehilangan sang anak. Argo itu tetap anaknya sebesar apapun dirinya sekarang.

Stevan mengelus rambut sang sulung yang mulai memanjang melewati telinga. Akibat sakit Argo belum sempat untuk mencukur rambut.

"Kudengar tadi abang terbangun," ujar Lusi.

"Kupikir sementara waktu abang akan bersekolah di rumah," ujar Stevan.

"Kau tahu kan Argo lebih suka mempelajari hal tersebut dari sekolah," ujar Lusi.

Lusi mendekat kearah sang suami dia memeriksa keadaan Argo sebentar lantas menatap wajah sang suami.

Lusi akan menggendong Argo jadi dibiarkan oleh Stevan. "Argo anak yang sulit diatur sama seperti dirimu," sindir Lusi.

"Mudah mengenai itu." Stevan bangkit berdiri tubuh dia sedikit lengket akibat terus saja menggendong Argo. "Aku mandi dulu. Kamu jaga Argo dulu," ujar Stevan.

"Rimba dan Fano belum bangun. Sekalian mandi bersamamu," ujar Lusi.

"Baiklah sayang," ujar Stevan.

Stevan mencium kening sang istri tak lupa Argo yang kembali tertidur. Pria ayah tiga anak itu berlalu pergi dari kamar sang sulung menuju kamar anak bungsunya Fano.

Pemandangan pertama di kamar sang bungsu membuat hati Stevan menghangat dimana Fano memeluk erat tubuh Rimba dibalas pelukan juga. Suatu momen yang amat manis untuk dikenang di masa depan.

Stevan mendekat untuk membangunkan kedua anaknya. Dia menepuk pipi kedua anaknya secara bergantian agar bangun. Yang pertama terbangun sang bungsu. Disusul oleh sang tengah yang sedikit menguap.

"Mau mandi bersama papa?" tanya Stevan.

"Aku mandi sendiri saja," sahut Rimba.

"Punggung kamu papa sabunin deh," tawar Stevan.

"Okey deh!" pekik Rimba.

Stevan tertawa akan respon sang anak. Dia melangkah mendekat kearah Fano melepaskan baju dan celana sang bungsu menyisakan celana dalam saja. Rimba melepaskan baju sendiri. Ayah tiga anak itu menggunakan kamar mandi utama untuk mandi bersama.

Mereka mandi dengan gelembung bahkan Fano meniup gelembung ke wajah sang kakak. Membuat tawa mereka menggema di kamar mandi. Stevan tersenyum melihat tawa kedua putranya.

"Waktu yang tidak akan terulang kembali," batin Stevan.

Perkataan Edward sebelum Argo lahir membuat dia sedikit sadar. Setiap tumbuh kembang sang anak tidak akan terjadi dua kali maka dari itu Stevan berusaha untuk tidak terlalu sering lembur bekerja. Dia akan menggunakan segala waktu senggang untuk bermain bersama buah hatinya.

"Papa kita sarapan di luar yuk!" ajak Rimba.

"Boleh saja tapi kita bertiga saja," sahut Stevan.

"Lho abang sama mama?" tanya Fano.

"Kata om dokter abang perlu di rumah dulu hingga sembuh dan mama perlu menjaga abang," ujar Stevan.

"Kalau kakak sudah besar mau hajar orang yang udah jahatin abang deh," ujar Rimba.

"Lakukan saja kalau dia terbukti bersalah. Papa akan di belakangmu untuk membela," ujar Stevan.

"Kakak saja sampai buat teman sekelas abang takut," ujar Rimba.

"Itu baru anak papa," puji Stevan mengelus rambut Rimba.

"Hehehe," tawa Rimba.

Sekitar sepuluh menit mereka menyudahi acara mandi. Tidak lupa Stevan mengeringkan tubuh Fano dan Rimba secara bergantian.

Mengenai berpakaian kedua anaknya telah bisa sendiri. Didikan mandiri membuat mereka telah bisa memakai baju sendiri sejak berusia dua tahun.

Selesai berpakaian mereka pamit kepada Lusi untuk membeli sarapan di luar. Stevan menggunakan mobil dengan Rimba dan Fano yang berada di kursi samping mengemudi.

Lumayan jauh mereka mencari sarapan di pinggir jalan Fano menginginkan ketoprak tapi tidak dituruti sang ayah. Stevan memilih belok kearah sebuah cafe untuk mereka sarapan.

Kedatangan Stevan bersama kedua anaknya membuat para wanita terdiam. Wajah tampan Stevan memikat mereka semua merasa hal tidak beres. Fano meminta gendong kepada ayahnya tentu saja dikabulkan oleh Stevan. Tatapan mata Rimba saja sampai melotot kepada orang-orang yang menatap sang ayah tanpa berkedip.

"Jangan lihatin papa aku!" pekik Rimba.

"Tante menor!" pekik Fano.

"Papa udah punya istri tahu!" pekik Rimba.

"Wajah tante kayak ondel-ondel!" pekik Fano.

Ucapan polos Fano membuat Stevan menahan tawa. Dibalik sikap jahil mereka tetap saja tidak suka sang ayah dilihat oleh wanita lain selain sang ibu mereka.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Senin 15 April 2024

Ganti jadwal update sama radeva

Save My Brothers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang