5 (bersenang-senang)

1.8K 147 38
                                    

Masa depan suatu hal yang tidak mungkin kita tebak. Namun Argo telah mengetahui masa depan tersebut karena dia dari masa depan yang malah nyasar ke tubuh kecilnya.

Tidak ada yang indah di masa depan. Dia kehilangan kedua adiknya dalam jangka waktu bersamaan. Di masa kini dia berusaha agar kedua adiknya tidak meninggalkan dirinya.

Bahkan sejak masuk ke dalam mall dia memegang erat kedua tangan sang adik. Rimba dan Fano berusaha melepaskan cuma tidak berhasil jadi mereka pasrah saja.

"Abang kedua adikmu ingin berkeliling," ujar Stevan.

"Eh?!" kaget Argo.

"Abang mikirin apa sih?" tanya Rimba yang memang sejak tadi melihat wajah Argo.

"Bukan apa-apa," sahut Argo.

Argo melepaskan kedua tangan sang adik. Anak sulung itu memperhatikan tingkah laku kedua adiknya dalam diam. "Aku takut ada musuh mendekat," ujar Argo.

Stevan menepuk pundak putra pertamanya. "Bermainlah bersama kedua adikmu," ujar Stevan.

"Terus yang melindungi kedua adikku, siapa?" tanya Argo.

"Tenang ada ayahmu disini," ujar Stevan menenangkan sang anak.

Argo tersenyum dia menyusul berlari kearah kedua adiknya yang melambaikan tangan kepadanya. Stevan membiarkan ketiga anaknya menikmati masa kecil seperti semestinya. Walaupun Stevan tahu Argo yang berada bersamanya hanya sebuah jiwa Argo dewasa yang berusaha melindungi kedua adiknya.

"Lagipula kau tetaplah anak papa berapapun usiamu," gumam Stevan.

Dia belum memberitahu mengenai Argo terhadap sang istri. Biarkan dia sendiri melindungi ketiga anaknya dalam bayangan entah dengan cara baik ataupun jahat.

Stevan tahu dia berlumuran dosa disebabkan membunuh orang-orang tanpa rasa belas kasihan sama sekali. Argo saja telah memiliki alter ego dikarenakan musuh mengincar nyawa nya sebagai seorang pewaris.

Pria dewasa itu menarik perhatian semua pengunjung mall yang sangat kagum akan ketampanan Stevan. Stevan tidak peduli mengenai perhatian semua wanita terhadap dia fokus menatap wajah bahagia ketiga putranya.

"Papa adek minta duit mau bermain itu!" tunjuk Fano menarik celana bahan yang digunakan Stevan.

Stevan berjongkok menyamakan tinggi sang putra kecil. "Adek tahu menukar uangnya?" tanya Stevan mengelus pipi bulat Fano.

"Kan ada abang sama kakak," jawab Fano menunjuk Argo yang tengah mengawasi Rimba yang malah berlarian kesana kemari.

"Kakak jangan berlarian nanti kamu jatuh," nasihat Stevan yang mulai sedikit pusing akan tingkah hiperaktif anak tengahnya.

"Papa aku mau mainkan semuanya!" pekik Rimba kepada sang ayah tidak peduli nasihat Stevan sama sekali.

Stevan menepuk puncak kepala Rimba agar diam, namun sepertinya tidak berhasil. Jadi Argo sebagai anak tertua menarik kerah baju adik pertamanya agar diam. Stevan terkekeh geli akan tindakan Argo . "Papa belikan tiketnya dulu kalian tunggu disini," ujar Stevan.

"Argh abang!" kesal Rimba yang tidak terima karena kesenangan dia terusik.

"Lihat adek saja diam masa kamu tidak bisa diem sih," heran Argo.

"Adek tuh pendiem tahu!" protes Rimba.

"Abang! Kakak!" panggil Fano memanggil Argo dan Rimba.

Kedua orang yang dipanggil berhenti bertengkar mereka menghampiri sang adik. Fano menunjuk sepasang anak muda yang memakai baju abu-abu tengah saling bermesraan. Saat adegan semakin tidak pantas dengan cepat Argo memutarkan tubuh kedua adiknya agar tetap polos tidak ternodai.

"Lho kok bang?!" bingung Rimba.

"Nanti dimarahin papa," ujar Argo.

"Oh," sahut Rimba mengerti.

"Kalian kenapa?" heran Stevan yang merasa aneh melihat interaksi ketiga putranya.

"Itu pah tadi ada pelukan disana!" pekik Fano menunjuk kearah dimana dia melihat sepasang orang pacaran.

Wajah Stevan tampak sedikit menahan amarah mendengar ucapan Fano barusan. Stevan melirik kearah Argo yang diam saja tidak menjelaskan apapun.

"Nih kalian bermain saja sana!" ujar Stevan menyerahkan kartu yang bisa digunakan ketiga anaknya bermain sepuasnya.

Rimba mengambil sangat cepat dia langsung berlari sambil memegang tangan kanan Fano menuju permainan yang dia mau. Argo mengikuti saja dia akan mengawasi saja sementara Stevan diam saja.

Sebuah kaleng minuman berada di hadapan Stevan begitu saja. Stevan menatap malas sahabat yang sayangnya tangan kanannya itu. "Kau pikir aku anak kecil yang perlu sebuah minuman?" heran Stevan akan tindakan sahabatnya.

Edward Snowden pria yang tahan akan segala sikap Stevan. Bahkan Edward tahu kelakuan buruk Stevan yang tidak diketahui publik sama sekali.

"Argo duplikat lu banget, tuh anak pas lahir aja bahkan dikira meninggal karena tidak menangis selama lima jam pertama. Pas lu dateng tiba-tiba nangis kenceng, kayaknya Argo syok bapaknya jelek banget," ujar Edward dengan nada ledekannya.

"Diamlah kau!" kesal Stevan pada akhirnya membuka kaleng soda yang diberikan Edward padanya.

"Rimba mirip banget bini lu, nah kalau Fano feeling gua tuh anak kayaknya wajah doang mirip bini lu kelakuan duplikat lu," komentar Edward.

"Kau terus berkomentar mengenai ketiga putraku. Urus saja anakmu sana!" kesal Stevan tidak suka ada orang yang berkomentar mengenai anaknya.

"Anakku ada di rumah. Dia pasti tengah bermain bersama adiknya." Edward menatap Argo dalam diam pria dewasa itu merasa sedikit aneh akan gerak gerik Argo. "Argo gua perhatikan belakangan sedikit berbeda, biasanya tuh anak lebih suka membaca buku dibandingkan bermain bersama kedua adiknya," ujar Edward mengemukakan keanehan dia.

Stevan memukul kepala Edward. "Anak gua kagak aneh kampret!" kesal Stevan.

Stevan berlalu pergi dari hadapan Edward. Dia lebih memilih menghampiri ketiga anaknya dibandingkan mendengarkan ucapan Edward.

Kehadiran Stevan yang menghampiri ketiga anaknya membuat para anak muda di sekitarnya terdiam. Visual wajah Stevan bisa dikata sempurna sekali walaupun dia telah memiliki tiga keturunan.

Fano yang pertama kali sadar kehadiran sang ayah dengan tidak santai menginjak sepatu Stevan. Stevan berjengkit kaget akan tindakan Fano di luar dugaan dia. "Adek kenapa menginjak kaki papa, sih?" tanya Stevan kepada Fano.

"Adek bilangin ke mama ya! Papa lihatin kakak cantik di mall!" pekik Fano tidak peduli pertanyaan sang ayah.

"Bilangin aja dek biar papa dimarahin mama," ujar Rimba memanasi situasi.

"Abang pukul perut papa! Papa nakal lihatin cewek cantik terus!" adu Fano terhadap Argo.

Argo mendekat kearah Stevan. Stevan berharap Argo tidak memukulnya ternyata salah besar. Argo memukul perutnya cukup keras membuat Stevan mundur beberapa langkah.

Suara tawa nista Edward terdengar jelas di pendengaran Stevan. "Ed gajimu aku potong bulan ini!" ancam Stevan yang memegang perutnya.

"Hahaha ketua mafia kalah sama kecebongnya," ledek Edward tidak masalah gaji dia tidak dipotong oleh Stevan.

Bagi Edward melihat seorang Stevan ternistakan cukup menghibur baginya. Di dunia bawah sosok Stevan sangat ditakuti semua orang cuma di rumah dia tidak bisa melawan sang istri dan ketiga anaknya.

Stevan itu definisi suami takut istri. Dia juga sosok ayah yang sangat menyayangi anak. Jadi jangan heran ketiga anaknya seolah sering menistakan dia sendiri.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Jumat 22 Desember 2023

Selamat hari ibu bagi seluruh ibu di dunia ini

Save My Brothers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang