2 (rencana argo)

3.3K 192 31
                                    

Kejadian yang menimpa Argo benar-benar di luar nalar. Pria matang itu bahkan menampar pipinya beberapa kali saat di kamar.

Namun di satu sisi Argo nampak senang mengenai ini semua. Argo sangat merindukan kedua adiknya yang telah tiada di masa depan.

"Rencana pertama aku tidak akan membiarkan sosok bernama Arya menjadi bawahan papa," gumam Argo.

"Abang!" panggil seseorang.

Di depan kamar ada sosok adik kecilnya. Stefano Mahardika Jovetic dia masih berusia tiga tahun sementara sekarang dia berusia dua belas tahun. Fano akan tiada disebabkan racun di masa depan.

Argo mendekat memeluk sangat erat tubuh kecil adiknya. Fano memberontak karena tindakan Argo.

"Adek jangan tinggalin abang," gumam Argo menyembunyikan wajahnya di pundak sempit Fano.

"Abang aneh," ujar Fano.

Balita yang baru saja bisa berbicara lancar itu sedikit heran akan ucapan kakak tertuanya. Biasanya Argo tidak seperti ini membuat otak kecil Fano berpikir sedikit keras.

"Abang sakit?" khawatir Fano berusaha melepaskan pelukan sang kakak.

"Abang janji kali ini tidak akan gagal menjagamu," ujar Argo menghiraukan ucapan Fano.

"KAKAK!" teriak Fano.

Bocah kecil itu sangat mengkhawatirkan kakak sulungnya. Jadi dia memanggil kakak keduanya Rimba Dan Jovetic. Dia berusia sembilan tahun.

Tak lama ada sosok anak kecil masuk ke kamar Argo. Rimba melepaskan pelukan Argo dari sang adik.

Rimba Dan Jovetic anak kecil berusia sembilan tahun itu menatap kesal sang kakak. Di lain sisi Argo terkekeh geli melihat tatapan adik pertamanya.

"Abang kenapa sih?" bingung Rimba.

"Bukan apa-apa," sahut Argo.

"Sejak abang bangun dari tidur siang tingkahnya jadi aneh," ujar Rimba mengutarakan yang dia pikirkan.

"Sore nanti kita jalan-jalan yuk!" ajak Argo tidak peduli akan ucapan Rimba.

"Bukannya abang tidak suka membuang waktu untuk hal tersebut," ujar Rimba merasa aneh akan ajakan sang kakak.

Pria matang yang memasuki raga anak kecil itu sedikit meringis akan ucapan adiknya. Memang dulu Argo tidak suka bermain seperti kebanyakan anak sebaya. Argo lebih suka berdiam diri di kamar untuk membaca dan belajar. Makanya saat usia 18 tahun dia menjadi seorang sarjana. Keseharian Argo diisi dengan belajar saja setiap harinya. Bahkan Argo sering mengabaikan ajakan bermain kedua adiknya.

Hingga tepat usia Fano berumur 10 tahun dia diculik musuh ayahnya. Saat itu harusnya Argo menuruti permintaan Fano untuk bermain bersama di taman cuma diabaikan Argo. Sementara Rimba tengah sakit waktu itu.

"Abang bosen belajar. Kita bermain yuk!" ajak Argo kepada kedua adiknya.

Kedua anak adiknya tampak senang sekali. Argo mendapatkan pelukan sangat erat dari mereka berdua. Mereka bertiga berjalan beriringan keluar kamar untuk meminta izin kepada kedua orangtuanya.

Di sebuah ruangan yang lumayan gelap ada sosok pria dewasa yang akan berusia empat puluh tengah duduk diam. Ada suara ketukan pintu membuat dia sedikit heran apalagi itu suara putra sulungnya.

Pria itu bernama Stevan Kabar Jovetic. Sosok ayah dari tiga anak. Walaupun telah mempunyai tiga anak sosok Stevan masih saja digoda oleh wanita lain. Untungnya Stevan tipikal pria setia kepada istri.

"Masuk bang!" pekik Stevan.

Deritan pintu terbuka mengalihkan perhatian Stevan. Disana ada ketiga anaknya. Dua diantaranya tersenyum lebar sementara si sulung malah terkesan diam saja.

"Aku dan adik-adikku izin pergi ke taman," ujar Argo.

"Kau tidak belajar seperti biasa, Ar?" tanya Stevan.

"Sedikit bosan. Aku ingin otakku beristirahat sejenak," ujar Argo.

"Kalian boleh saja keluar," ujar Stevan memberikan izin.

"Yeah!" pekik Fano senang.

"Tapi," ujar Stevan menghentikan kesenangan putra bungsunya.

"Papa!" rengek Fano.

"Ajak dua om berbaju hitam untuk mengawal kalian semua," ujar Stevan berusaha tidak melihat anak bungsunya.

"Abang! Kakak! Masa papa tidak mau melihat adek sih!" kesal Fano karena sadar bahwa sang ayah tidak memerhatikan dia sejak tadi.

"Maklum dek. Papa kan bucin sama adek. Takut luluh sama keimutan dirimu," ujar Rimba memberitahu sang adik.

"Fano gak imut tahu!" protes Fano.

Fano sebenarnya marah cuma kedua pipinya yang menggembung, ditambah hidung kembang kempis malah membuat kesan imut semakin kental dalam diri anak kecil tersebut. Kedua kakaknya terkekeh geli akan tingkah sang adik.

Selesai meminta izin dan kedua pengawal yang harus ikut serta. Mereka bertiga menuju sebuah taman dekat kawasan rumah mereka. Di taman Argo tersenyum tipis saat kedua adiknya nampak antuasias sekali.

*Argo Pov*

"Aku senang kedua adikku bahagia. Setidaknya dengan kehidupan ini aku bisa bebas bermain dulu. Saat dulu aku tidak sempat bermain seperti anak kecil lain," batinku.

Sejak kecil aku memang suka sekali buku. Alasan Rimba meminta adik karena aku jarang menemani Rimba bermain. Sifat Rimba dan diriku jauh berbeda sekali.

Rimba itu sosok yang sangat hiperaktif berbeda denganku yang memang pendiam. Adik pertamaku itu merasa kesal akan sikap acuhku. Dia merengek setiap tahun agar bisa mendapatkan seorang adik.

Saat usiaku sembilan tahun dan Rimba enam tahun sosok adik kecilku lahir. Aku juga masih ingat bahwa Rimba sangat senang akan kehadiran Fano. Dia yang saat itu baru saja memasuki sekolah dasar sampai mogok sekolah seminggu.

"Abang mau es krim!" pekik Rimba menarik tanganku.

Aku tersadar dari lamunanku karena panggilan Rimba. Kulihat ada penjual es krim tak jauh dari kami. Fano bahkan telah berlari duluan.

Rimba menyusul Fano. Aku juga mengejar kedua adikku agar tidak dalam bahaya. Ayahku telah masuk dunia hitam sejak muda. Bahkan aku mendapatkan alter ego saat usiaku sepuluh tahun.

Alter egoku jarang muncul. Selama hidupku dulu dia hanya muncul dua kali saja karena diriku lelah. Selebihnya dia berbicara lewat batin saja.

"Merubah masa depan. Maka akan membuat dua orang lain meninggal di masa yang akan datang," ujar suara  yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

"Lama tidak mendengar suaramu, Henry," batinku.

"Kau harus tahu resiko ke depannya, Ar," ujar Henry.

"Aku tahu. Maksudku kedua adikku itu lebih penting tahu!" protesku tidak peduli akan ucapan Henry.

"Terserah kau saja," ujar Henry.

Setelah itu tidak ada suara henry lagi. Aku mengecek kantong celanaku ternyata ada uang. Aku membelikan dua es krim untuk adikku.

Mereka berdua menarik kedua tanganku bersamaan. Aku menurut saja ternyata mereka membawaku ke sebuah pohon yang sangat rindang.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Rabu 01 November 2023

Save My Brothers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang