24 (papa sakit)

988 95 4
                                    

Di sebuah ruangan meeting ada sosok pria dewasa yang sejak tadi tidak fokus. Berulangkali dia menghalau rasa buram di penglihatannya. Di depan sang pria ada sang adik menatap khawatir.

"Bang lu kenapa?" tanya Marcus khawatir.

"Gak papa," sahut Stevan.

Yah sejak tadi Stevan merasa bahwa setiap dia melihat sedikit tidak jelas. Pertemuan kali ini cukup penting karena banyak perusahaan besar yang hadir.

Beberapa menit kemudian rapat selesai. Stevan yang tidak mampu melawan rasa pusing di kepala memilih duduk.

Para klien diabaikan oleh Stevan dia tidak fokus sama sekali. Setelah semuanya keluar tersisa empat orang dewasa tersisa. Marcus menepuk pundak sang kakak. Ketika Stevan menatap wajah Marcus hanya ada raut pucat saja.

"Muka lu kayak mayat bang!" kaget Marcus.

"Aku masih hidup bego!" kesal Stevan menepis tangan Marcus di pundaknya.

"Gua anterin pulang deh. Perkara perusahaan biarin Edward yang mengurusnya. Gua takut kena amuk sama anak sulung lu itu," ujar Marcus.

"Hah Argo?" bingung Stevan tidak mengerti.

"Tar gua jelasin. Terpenting sekarang gua anterin ke rumah sakit," ujar Marcus.

Marcus akan merangkul pundak Stevan ditolak oleh sang kakak. Stevan merasa sesuatu keluar dari hidungnya ternyata darah. Stevan menghela nafas kasar tubuh dia sangat lemas sulit digerakkan.

"Nurut aja sih bang. Kasihan bini lu juga," ujar Marcus menasihati sang kakak yang sangat keras kepala.

Ketika Stevan bangun berdiri dia terjatuh seketika. Marcus membantu sang kakak untuk bangkit berdiri. Dia tidak mendengarkan ucapan Stevan sama sekali.

Bagi dia kesehatan Stevan lebih utama dibandingkan ancaman Stevan. Kebetulan Marcus hari ini membawa seorang supir jadi tidak perlu menyetir. Di perjalanan menuju rumah sakit Stevan tertidur entah kenapa membuat Marcus mengecek denyut nadi sang kakak.

"Abang jangan meninggal dulu. Anak lu masih kecil semua," ujar Marcus ngawur.

"Diamlah dek!" kesal Stevan.

"Jangan memaksakan diri. Argo tuh ketika marah mirip banget lu," ujar Marcus.

"Istriku berkata sama sepertimu," sahut Stevan.

Setelah mendengar jawaban Stevan sang adik memilih diam saja. Dia tidak mau lebih jauh mengganggu ketenangan sang kakak.

Sosok Stevan jarang sakit dan entah kenapa seingat Marcus ketika mereka kecil hanya dua kali saja sang kakak sakit. Sisanya entah separah apapun luka akibat adu tembak atau bom tidak membuat Stevan jatuh koma.

Bahkan Stevan dengan sadar mengambil sebuah peluru di pundak tanpa bius sama sekali. Marcus yang mendengarkan ucapan Edward seketika merinding membayangkan hal itu.

Tiba di rumah sakit Marcus merangkul pundak Stevan. Kedatangan mereka berdua di rumah sakit cukup membuat heboh para staff.

Serangkaian test dilakukan dan Stevan ternyata kelelahan akibat pekerjaan. Bahkan menurut dokter belakangan ini Stevan memikirkan suatu hal.

Beberapa jam kemudian ketiga anak serta sang istri berada di ruang inap Stevan. Marcus memberitahu sang kakak ipar bahwa Stevan hampir jatuh pingsan di kantor.

Ketiga anak Stevan tengah memeluk erat tubuh Stevan sangat erat. Senakal apapun mereka tetap saja menyayangi Stevan. Stevan tersenyum mendapatkan pelukan dari ketiga jagoannya.

"Makasih ya jagoan papa," ujar Stevan.

"Kamu sih sudah kubilang istirahat saja. Wajah kamu kelihatan pucat sejak pagi malah tetap berangkat kerja," omel Lusi.

"Lumayan tadi melihat musuh yang kuincar sayang. Sisanya kamu yang urus saja atau mungkin sang penerusku," ujar Stevan menatap wajah Argo.

"Tidak mau," sahut Argo memeluk leher Stevan.

"Kau kan tahu abang lebih suka menyiksa lawan bersamamu," ujar Lusi.

"Papa," gumam Rimba memeluk leher Stevan sangat erat.

"Adek sayang papa," gumam Fano.

"Anakku kalau begini sangat manis sayang. Namun apabila tantrum semua repot," ujar Stevan.

Stevan berusaha duduk sang istri yang peka membantu sang suami untuk duduk. Sang bungsu langsung memeluk leher Stevan tidak mau mengalah dari kedua kakanya. Kedua kakaknya memeluk perut Stevan dari samping dan kanan membuat Stevan terkekeh geli.

"Kalian sudah makan?" tanya Stevan mengelus rambut sang anak secara bergantian.

"Aku kebetulan sudah. Mereka bertiga tidak mau," sahut Lusi.

"Lho abang, kakak dan adek kenapa belum makan, hm?" tanya Stevan.

"Mau disini menunggu papa," sahut Argo.

"Gak mau makan!" pekik Rimba.

"Adek sedih papa sakit," lirih Fano.

Pria berusia tiga puluh lima tahun itu melepaskan pelukan ketiga anaknya secara bergantian. Dimulai dari bungsu Fano yang ternyata tengah menangis sesengukan. Air mata Fano tidak hentinya menetes mengenai kedua pipi gembul sang balita. Sang tengah juga habis menangis dilihat dari mata Rimba yang memerah. Sang sulung berusaha tidak menangis walaupun sangat jelas mata Argo berkaca-kaca.

"Hey papa sakit biasa saja. Kalian makan ok. Kalau tidak makan malah sakit seperti papa lho," nasihat Stevan.

"Memang begitu ya mah adek tidak makan sakit?" tanya Fano polos.

"Benar sayang. Makanya ayo makan dulu ya," jawab Lusi.

"Hm adek mau makan," sahut Fano menurut.

"Abang! Kakak! Ayo makan bersama!" ajak Lusi.

"Duluan saja mah. Aku akan menjaga papa disini," sahut Argo.

"Yakin kamu?" tanya Lusi.

"Iya mama duluan saja ke kantin rumah sakit. Abang disini menjaga papa," ujar Argo.

"Ayo kakak kita ke kantin!" ajak Lusi kepada Rimba.

"Duluan ya bang," ujar Rimba.

Mereka bertiga pergi dari ruangan rawat Stevan. Menyisakan kedua pria berbeda usia disana. Argo diam saja bahkan bahunya sedikit bergetar seolah mengerti Stevan memeluk tubuh Argo sangat erat.

"Kesehatan papa memang menurun nak. Kamu memikirkan apa sih?" heran Stevan entah apa yang dipikirkan Argo.

"Papa pasti memikirkan rencana abang tentang menyelamatkan kedua adikku. Itu biarkan aku saja yang menjalankan papa tidak perlu ikut campur. Abang rela kehilangan nyawa untuk kedua adikku," ujar Argo kepada sang ayah.

Rahang Stevan mengeras akan ucapan sang anak. Dia memegang bahu Argo sangat kuat. "Aku ayahmu. Sejak kau lahir dan kedua adikmu lahir maka segala keselamatan kalian berada di tanganku! Jangan pernah kau berpikir untuk mengorbankan dirimu lagi! Argo Siji Jovetic kau memang jiwa yang telah dewasa namun kau tetap saja putraku apapun itu!" kesal Stevan kepada anaknya.

Remaja itu tersentak akan ucapan Stevan. Walaupun dia jiwa dewasa yang menempati tubuh remaja tetap saja dia akan kalah oleh sang ayah.

"Memang tidak salah seorang kakak melindungi adiknya cuma tugas tersebut diberikan kepada sang kakak ketika kedua orangtuanya tiada. Sekarang papa dan mama masih ada jadi kau tidak perlu khawatir mengenai keselamatan kedua adikmu," ujar Stevan.

"Abang hanya pikir untuk mencengah segalanya agar keluarga kita tetap utuh pah," lirih Argo.

"Tindakanmu bagus. Namun lebih baik kau mulai membuka diri untuk sebuah pertemanan," saran Stevan.

"Teman?" beo Argo.

"Kau telah berkata di kehidupan pertamamu kau tidak memiliki seorangpun teman. Maka di kehidupanmu sekarang carilah teman," ujar Stevan.

"Malas," ujar Argo.

Argo memilih tidur sambil memeluk perut Stevan sangat erat. Stevan terkekeh geli akan tindakan sang anak.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Minggu 03 Maret 2024

Save My Brothers Where stories live. Discover now