35 (teman?)

678 86 2
                                    

Cukup lama masa pemulihan Argo sekarang ia tengah di ruang kelas. Seperti biasa Argo akan sendirian tanpa seorangpun menemani dia.

Sejak awal sekolah Argo tidak disukai oleh siswa lain disebabkan dia terlalu pintar, dan Argo memilih acuh akan hal tersebut. Hingga kehidupan pertama dia berakhir pun tidak ada sosok sahabat dalam hidup Argo.

Dia bukan seperti Rimba yang mudah bersosialisasi dengan orang asing. Bahkan diantara keluarga saja Argo lebih suka menyendiri ketika ada acara keluarga berlangsung.

Setiap pelajaran diikuti Argo dengan tenang. Bel istirahat menghentikan kegiatan belajar. Argo merapihkan segala perlengkapan sekolahnya dan akan keluar dari kelas namun ada seseorang menarik ujung bajunya.

"Hm ha-lo!" sapa seseorang.

Argo membalikkan badan disana ada sosok anak kecil yang sepertinya seumuran sang adik Rimba. Anehnya dia memakai seragam sama seperti dia.

"Maaf aku tidak mengenalmu," ujar Argo melepaskan tarikan tangan sang siswa tersebut di baju belakangnya.

"Aku siswa baru disini baru kemarin pindah. Namaku Arik Bramanty jangan panggil aku adek karena usiaku empat belas tahun," ujar Arik memperkenalkan diri kepada Argo.

"Argo Siji Jovetic," ujar Argo menyambut jabat tangan anak tersebut.

"Salam kenal kak Argo," ujar Arik.

"Usiaku dua belas tahun," sahut Argo.

"Eh kok lebih tinggi dariku?!" kaget Arik.

"Entahlah," ujar Argo.

"ABANG KE KANTIN YUK!" teriak Rimba di depan kelas.

Teriakan Rimba membuat keduanya menatap kearah depan. Rimba berlari dan memeluk erat tubuh Argo sangat erat. Interaksi mereka berdua ditatap dalam diam oleh Arik.

"Teman abang?" tanya Rimba kepada seorang pemuda yang lebih pendek dari sang abang.

"Entahlah," sahut Argo.

"Kecil banget badannya," ujar Rimba mengomentari tubuh kecil yang bahkan beda beberapa senti dengan dirinya.

"Hey tinggi kita beda beberapa senti saja!" protes Arik.

"Tetap saja aku lebih tinggi darimu pendek!" ledek Rimba.

"Dia siapa sih?!" kesal Arik kepada Argo.

"Dia adikku," ujar Argo.

"Adik kembar?" tanya Arik.

"Dia lebih muda tiga tahun dariku," ujar Argo.

"Curang kau lebih tinggi dariku!" protes Arik menunjuk kearah Argo.

"Dih," sinis Rimba.

"Rimba lu udah belum?" tanya Bagas.

"Iya gua laper nih," ujar Guan.

"Ayo bang gas!" ajak Rimba.

"Baiklah," ujar Argo.

Mereka berjalan menuju ke kantin bersama-sama kehadiran Arik diantara mereka membuat heran semua orang. Arik memang lebih pendek dari Rimba namun dia malah seperti seumuran dengan Guan.

"Teman abang kayaknya seorang siswa yang menerima beasiswa juga," ujar Rimba.

"Tidak bukan temanku," sahut Argo cepat.

"Ayolah bang berteman tidak merugikan dirimu," ujar Rimba.

"Terserah," acuh Argo.

Tiba di kantin Rimba memesan makanan bersama Bagas. Meninggalkan Argo, Guan dan Arik. Dengan mudah Guan mengobrol asyik dengan Arik yang merupakan kakak kelasnya sementara Argo diam saja.

"Ucapan adikmu benar. Menjalin persahabatan tidak ada salahnya untukmu. Dulu kau hanya berkeluh kesah padaku kurasa memiliki seorang teman ada baiknya untukmu," ujar Henry.

"Aku malas," sahut Argo.

"Tidak semua orang memiliki sifat seperti para pengkhianat yang kau eksekusi dulu," ujar Henry.

Argo memilih tidak menjawab ucapan Henry. Tak lama makan siang mereka tiba. Memang di sekolah mereka kebanyakan murid memiliki keberagamaan agama. Jadi di bulan puasa bebas makan dimanapun.

"Kalian tidak puasa?" tanya Arik.

"Aku dan abang nonis," jawab Rimba.

"Aku juga sama," jawab Guan.

"Kamu?" tanya Arik kepada Bagas.

"Aku terbiasa melihat mereka makan," ujar Bagas santai.

"Muslim?" tanya Arik.

"Iya sejak lahir," jawab Bagas.

Tidak memperdulikan ketiga orang yang tengah makan disana Bagas dan Arik lebih memilih berbicara saja.

Selesai makan siang mereka tetap di kantin Rimba menyenggol bahu sang abang membuat Argo menatap kesal sang adik.

"Santai napa bang! Galak amat sama adek sendiri," ujar Rimba.

"Ada apa?" tanya Argo.

"Uang jajan Rimba dipotong," ujar Rimba.

"Terus?" tanya Argo.

"Bagi uang jajan abang dong!" pekik Rimba.

Argo memberikan selembar uang berwarna biru kepada Rimba membuat sang adik tersenyum senang.

"Makasih abang!" pekik Rimba.

"Sama-sama," sahut Argo.

"Aku sedikit heran akan tinggi badan kalian yang sangat beda dengan kebanyakan anak seumuran kalian," heran Arik.

"Tidak tahu. Abang dan aku setiap hari dilatih keras mengenai bela diri oleh papa," ujar Rimba.

"Untuk apa?" tanya Arik.

"Pertahanan diri," jawab Argo.

"Mengenai rencanaku mengambil beasiswa sepertinya benar terjadi," ujar Guan.

"Padahal keluargaku bisa membantu," ujar Rimba.

"Tidak perlu. Aku telah mendapatkan beasiswa di sekolah ini," ujar Guan.

"Kau hebat!" puji Bagas.

"Terimakasih," ujar Guan.

"Sama-sama," ujar Bagas.

"Aku juga murid beasiswa disini," ujar Arik.

Tak lama Arik menutup mulutnya sendiri membuat heran semua orang yang berada disana. Ketika Arik akan pergi ditahan oleh Argo.

"Kenapa kau pergi?" tanya Argo.

"Aku takut kalian menghinaku seperti teman sekolahku dulu disebabkan aku siswa miskin," ujar Arik sedih.

"Beasiswa itu untuk murid jenius tahu. Entah statusmu miskin atau kaya bukan suatu hal yang perlu diperhatikan," ujar Bagas.

"Lagipula kami bukan orang-orang yang memandang kekayaan," ujar Guan.

"Benar walaupun kaya apabila kesepian untuk apa," ujar Bagas.

Ucapan keduanya membuat Arik terdiam. Dia melihat kearah Guan dan Bagas yang malah tersenyum seolah kedua anak kecil tersebut tidak memiliki masalah apapun.

Bel istirahat berakhir dengan cepat Rimba mengajak kedua sahabatnya untuk lomba lari menuju kelas. Yah mereka bertiga lantas berlari ketika hitungan ketiga.

"Setiap manusia memiliki jalan takdir tersendiri," ujar Argo.

"Kau bagaimana?" tanya Arik.

"Seorang abang yang akan menjaga adiknya apapun taruhannya bahkan nyawa akan kuserahkan demi keselamatan mereka," ujar Argo.

"Kau kakak yang baik," puji Arik.

Argo diam saja dan dia beranjak pergi menuju ke kelas dengan Arik yang mengikuti langkah kaki Argo.

Entah takdir apa yang akan terjadi di masa depan semoga saja berakhir dengan kebahagiaan untuk semuanya.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Minggu 31 Maret 2024

Save My Brothers Where stories live. Discover now