26 (sarapan)

817 89 18
                                    

Ketiga bocah yang tengah sarapan tenang di kantin rumah sakit merasa malas menatap wajah sang paman. Ayolah sejak tadi dia terus saja memperhatikan mereka membuat jengah.

"Om bisa tidak menatap cewek cantik saja dibandingkan kita!" protes Argo.

"Kakak menitipkan kalian pada om jadi sebagai paman yang baik aku menjaga kalian bertiga," sahut Marcus.

"Oi Marcus!" kesal Edward.

Suara kesal dari seorang pria membuat Fano memiringkan kepala. Dia tidak takut suara bentakan seseorang mungkin terlalu biasa mendengar suara dingin ayahnya memarahi bawahan.

Edward pria keturunan campuran Indonesia dan Manado. Tangan kanan kepercayaan Stevan yang telah menemani Stevan sejak zaman sekolah.

"Santai bang Ed jangan marah," ujar Marcus menenangkan Edward.

Sosok Edward yang dasarnya jarang marah memukul kepala Marcus cukup keras. Melihat kekacauan yang akan terjadi Argo melindungi kedua adiknya. Dia membiarkan kedua pria menyelesaikan masalah mereka.

Argo membawa kedua adiknya menuju pojok kantin merasa aman mereka melanjutkan sarapan yang tertunda.

Rimba memperhatikan perkelahian sang paman dan Edward dengan raut senang. "Kok om Ed marah sama om?" bingung Rimba tidak mengerti.

Argo mengunyah makanan dalam mulut agar tidak tersedak sebelum menjawab pertanyaan sang adik. "Urusan orang dewasa menyebalkan lebih baik kita tidak ikut campur," sahut Argo.

"Om memiliki masalah apa dengan Om Ed?" tanya Fano tidak mengerti.

"Entahlah abang tidak paham mengenai orang dewasa," sahut Argo.

"Bohong sekali dirimu Argo Siji Jovetic. Kau bahkan lebih tua pikirannya dibandingkan kedua adikmu saat ini," ujar seseorang.

"Kau datang di waktu yang kurang tepat Henry. Aku malas bertengkar denganmu," sahut Argo dalam batin.

"Aku rasa kedua orangtuamu mungkin saja tiada di masa depan apabila kau nekat merubah masa depan. Ingat apapun yang menjadi garis takdir kematian sulit untuk dihindari begitupula yang dihadapi kedua adikmu," ujar Henry memberi peringatan kepada Argo.

"Aku tidak akan membiarkan siapapun tiada di keluargaku apapun yang terjadi di masa depan kelak!" ujar Argo.

"Kau sangat serakah Argo. Kuharap kelak anakmu tidak sepertimu," ujar Henry.

"Aku bahkan belum tertarik mengenai seorang wanita," sahut Argo.

"Lanjutkan makanmu kulihat kedua adikmu menatapmu khawatir," ujar Henry.

Ucapan Henry membuat Argo tersadar lantas menatap kedua adiknya. Ternyata mereka menangis membuat Argo langsung memeluk mereka berdua.

"Abang hidungnya berdarah," tangis Rimba.

Mengelap hidung secara kasar ada jejak darah disana. Argo lupa bahwa dia belum sepenuhnya bisa berkomunikasi leluasa dengan Henry. Sosok lain Argo muncul ketika dia diculik membuat Henry muncul membunuh sangat sadis orang-orang disana.

Sejak saat itu dia diincar secara terus-menerus oleh para pria dewasa di dunia bawah. Mereka tidak mau Argo tumbuh dewasa mengancam kedudukan mereka saat ini yang bisa saja diambil secara mudah oleh Argo di masa depan.

Ketakutan mereka bukan tanpa alasan berdasar. Sosok Henry memang terlihat cuek seperti Argo di satu sisi dia tipikal orang yang tidak pandang bulu menghabisi orang.

Bahkan dulu ketika ada anak kecil di lokasi Henry juga menghabisi anak itu. Tubuh para korban kesadisan Henry sangat mengenaskan kondisinya. Tubuh mereka termutilasi sangat brutal bahkan bagian vital berserakan disana. Hampir seluruh tubuh korban tidak berbentuk utuh lagi. Bahkan sosok Stevan yang tiba untuk menyelamatkan sang anak seketika terdiam melihat pemandangan di depan matanya.

Saat itu juga Stevan menyadari bahwa Argo membangkitkan sosok lain di tubuhnya. Kala itu terjadi Stevan sedikit berbicara dengan Henry untuk berkenalan selesai bersalaman tubuh Argo ambruk untung ada Stevan menangkapnya.

"Abang ok. Kalian tidak perlu khawatir sama abang," ujar Argo menenangkan kedua adiknya.

Mendengar ucapan sang kakak kedua anak kecil itu menatap wajah yang lebih tua dari mereka. Ternyata benar Argo lebih baik walaupun wajahnya sedikit pucat.

"Adek panggilkan om ya. Kasihan abang kalau dibiarkan jalan sendiri," ujar Rimba kepada sang adik.

"Baik aku mengerti," sahut Fano.

Balita berusia tiga tahun itu melepaskan pelukan lantas berlari menuju dimana kedua pria dewasa tengah berkelahi. Entahlah mereka meributkan mengenai apa tidak dimengerti sama sekali oleh anak kecil.

"OM! TOLONG ABANG HIDUNGNYA BERDARAH!" teriak Fano.

Teriakan cempreng Fano menghentikan aksi baku hantam kedua pria tersebut.

Marcus menghampiri sosok Fano terlihat jelas ada beberapa luka lebam di wajah Marcus. Pria itu berjongkok di depan Fano yang berusaha mengatur nafasnya. "Dimana abangmu, Fano?" tanya Marcus kepada Fano.

"Disana!" tunjuk Fano kearah dimana kedua kakaknya berada. "Abang bersama kakak. Tadi abang hidungnya berdarah banyak sekali," celoteh Fano.

"Tingkah cerewetmu terkadang mengingat om dengan sosok ayahmu di masa kecil," batin Marcus menatap wajah Fano.

Putra bungsu Stevan dan Lusi memang sangat cerewet dibandingkan yang lain. Tidak ada yang melarang mengenai suara cempreng Fano di lingkungan keluarga.

Lagipula Fano sedikit mengerti tentang adab walaupun berusia belia. Didikan Lusi dan Stevan cukup keras kepada Fano. Sebagai orang tua baik Stevan atau Lusi tidak suka ketiga anak mereka seenaknya tentang sopan santun.

Sosok berisik Fano hanya ketika berada di lingkungan keluarga saja. Waktu itu saja ketika pertama kali diperkenalkan ke publik sebagai putra bunga Stevan dan Lusi sosok kecil Fano lebih banyak diam.

Mereka berdua menuju kearah dimana Argo dan Rimba berada. Rimba menahan tubuh Argo yang lebih besar darinya.

Usia mereka yang berbeda tiga tahun terkadang dianggap sebagai anak kembar. Tinggi Rimba juga lumayan tinggi untuk ukuran anak berusia sembilan tahun.

Mungkin saja di masa depan Rimba akan lebih tinggi daripada Argo. Biasanya tinggi seorang kakak akan kalah oleh sang adik.

"Abang jangan banyak memikirkan pelajaran nanti cepat tua," nasihat Rimba.

"Pelajaran mudah diingat sama abang," sahut Argo.

"Ujian kelas enam sulit gak, bang?" tanya Rimba kepada Argo.

"Tidak terlalu sih bagi abang," jawab Argo.

"Abang jenius aku tidak," gerutu Rimba.

"Kau tahu abang senang kamu jadi adik abang," ujar Argo.

"Dan juga senang punya abang sebaik dirimu," ujar Rimba.

Argo terdiam mendengar ucapan Rimba. Entahlah kejadian di masa lalu terekam jelas di otak dia. Dimana sang adik Rimba memilih pergi dari Indonesia demi melupakan kematian Fano sang adik bungsu.

Ketika berpamitan sebelum lepas landa pesawat Rimba berkata bahwa dia sangat merindukan sang adik. Rimba bahkan memuji semua orang sebelum dia pergi ke luar negeri.

Nyatanya itu ucapan terakhir Rimba sebelum dia benar-benar pergi untuk selamanya. Pesawat yang dia tumpangi meledak diatas saat terbang di udara disebabkan oleh bom di kabin.

"Dan kumohon kali ini jangan pergi. Abang takut kejadian tersebut terulang kembali."

"Kehilangan kalian berdua dalam jangka berdekatan mengguncang mental abang," batin Argo.

"Eh abang menangis?!" kaget Rimba melihat air mata Argo menetes di pelupuk matanya.

"Abang takut kehilanganmu," ujar Argo memeluk sangat erat tubuh Rimba.

Ucapan Argo membuat Rimba bingung. Merasa pundak dia berat ternyata Argo pingsan. Rimba kaget akan kejadian tersebut ketika akan memanggil Marcus ternyata Marcus lebih dulu menggendong tubuh lemah Argo.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Sabtu 09 Maret 2024

Save My Brothers Where stories live. Discover now