41. Viper

2.8K 416 89
                                    

Siapa yang bilang kehancuran akan pelecehan hanya terjadi pada perempuan saja?

Devan mengeratkan genggamannya pada selimut yang menutupi perut sampai bagian bawah tubuhnya. Sekujur tubuhnya merinding oleh bekas sentuhan menjijikkan yang membuatnya tak berdaya.

Ini bukan saatnya untuk menangis, tapi Devan ingin melakukannya.

Dia ingin menangis sambil meluapkan emosinya. Mencekik perempuan yang tertidur pulas di sebelahnya lalu dia dorong dari lantai tujuh belas ini. Lantai teratas eksklusif dari rumah bordil. Mirisnya, Devan berakhir di sini. Hanya karena Rama menjual Theron atas namanya. Seolah belum cukup sampai di situ, Devan harus membayarnya dengan sesuatu yang dia bangga-banggakan. Harga dirinya.

Hidupnya hancur.

| 41. Viper |

Keesokan harinya setelah pertemuan Arion dengan Devan, ada kesan yang ditimbulkan dari percakapan kemarin. Arion menjadi lebih pendiam. Rendi yang menyadarinya langsung mengirimkan kode pada Krisan yang sibuk menggelitiki Arkha. Krisan memang meliriknya sekilas, lalu acuh. Sialan.

Jadi langkah pertama Rendi adalah mengembuskan napas panjang, kemudian menabok kepala Krisan kuat-kuat.

"Lo hibur dia," ancam Rendi setengah peduli.

Setengahnya lagi lebih tertarik membawa kabur Arkha.

"Apa-apaan lo?!" bentak Krisan, keras.

"Arion. Lo budek, ya?! Gue bilang hibur dia!"

Di tempatnya, Arion yang tengah melamun lantas tersedak.

"Puk-puk, nyanyiin kek, atau apapun, gue paling nggak bisa ngelihat mukanya kusut gitu," kata Rendi.

"Lo nggak bisa seenaknya nyuruh gue buat lakuin itu, brengsek!"

"Gue bisa! Ini rumah gue! Gue tahu rasanya pas mati-matian ngehibur lo dulu, hampir sama kayak ekspresi Arion sekarang. Dia lagi butuh temen. Kalo lo nolak, silahkan tanda tangani pengalihan hak asuh Arkha sama Athalla."

Krisan mencebikkan bibirnya. "Tukang ngancam."

"Nurut makanya," sewot Rendi setelah bicara panjang lebar. "Ini bayi gue bawa dulu. Hibur yang bener, tanyain ada masalah apa. Gini-gini lo abangnya."

Arkha menurut saja saat beralih ke dalam gendongan Rendi. Sengaja, dia memeletkan lidahnya ke arah Krisan. Krisan yang melihatnya menyeringai sesaat.

"Bentar," interupsi Krisan secara tiba-tiba. "Kayaknya si bayi mau ngucapin salam perpisahan."

Rendi yang tidak bisa menebak apapun hanya menatap Arkha dengan penasaran. Tetapi anak itu sudah anteng, lantas salam perpisahan macam apa? Krisan mengigau, ya?

"Siniin dulu," perintah Krisan.

Si idiot mengalihkan tubuh si kecil ke tangan yang tidak seharusnya. Pada akhirnya, Rendi diserang kaget kuadrat saat melihat Krisan menjilat bibir Arkha.

"Ngapain tadi melet-meletin lidah? Pengen banget gue belit?" tantang Krisan, ambigu.

Tidak ada bendera putih, sprei pun jadi. Rendi membutuhkannya sekarang juga.

"Biar gue kasih tahu salam perpisahan paling epik yang nggak bakalan bisa lo lupain," ujar Krisan sambil memiringkan kepalanya, tujuan pendaratannya adalah belah bibir merah muda yang kecil itu. Sampai-sampai Krisan kepikiran, kalau dia memasukkan bibir itu ke dalam mulutnya, pasti sensasinya seperti permen mungil yang kenyal.

Hatchi!

"God bless you," bisik Krisan.

Meski terjeda karena Arkha yang bersin, mana bisa Krisan gagal memberi salam. Dengan gerakan kilat, dikecupnya bibir yang sudah dia klaim sebagai miliknya. Gemetar tubuh Rendi yang melihatnya. Kalau Ae ada di sini, pasti cowok Jepang itu histeris sambil memekik; kowai! Yamete, Kurisan-kun!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 03 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

NAUTILUS Where stories live. Discover now