36. Moment of Silence

3.8K 559 32
                                    

Cerita dongeng diwarnai kalimat pembuka paten seperti; Pada zaman dahulu kala. Atau dalam versi lain; Di sebuah tempat terpencil di pelosok, tinggallah...

Cerita klasik. Happily ever after.

Lalu ada cerita inspiratif. Awal-awal bab ditambahi quotes singkat tentang betapa bermaknanya apapun yang terjadi di dunia ini, entah saat roda berputar di bawah atau saat manusia sedang khilaf oleh kesenangan.

Tetapi dalam novel Aphorism yang bajingan, kalimat pembuka saat Arkha membaca prolognya dahulu adalah umpatan tokoh antagonis dan protagonis yang berkelahi.

Jujur saja, buka-bukaan seperti;

"Brengsek! Gue bilang jauhi Nata!"

Lalu disebutkan Athalla--si antagonis--melayangkan pukulan ke wajah Theron. Theron membalas, dan keduanya berakhir dengan lebam. Tetapi tak berselang lama, Natalia datang. Dia memeluk Theron dari belakang, meredakan amarahnya. Gadis itu menangis, membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi tidak tega. Pertengkaran terjeda. Dan secara tidak langsung, apa yang dilakukan Natalia kepada Theron telah mematahkan perasaan seorang laki-laki dengan gelar yang sebagai seorang penjahat.

Arkha sungguh-sungguh memberikan rating 4/10 untuk novel Aphorism. Terkecuali untuk Athalla, tokoh kesayangannya yang satu itu punya rate tak terhingga seperti hobi guru memberikan tugas dan pekerjaan rumah.

| 36. Moment of Silence |

Aphorism.

Bagi Athalla, diabaikan adalah teman terbaik. Dia biasa sendirian selama ini. Hari-harinya berlalu seperti biasa, monoton dan membosankan. Ada Theron, si Mr. Perfect yang selalu diagung-agungkan, Arkha adiknya yang pendiam, dan ayah yang tidak pedulian.

"Bang, gue nebeng, ya?"

Pendiam? Sejujurnya, Arkha tidak sependiam itu. Dia cukup aktif mencari perhatian meski jelas-jelas diabaikan.

Athalla mengurungkan niatnya untuk memakai helm. "Najis!"

"Bang, kita kan satu arah," mohon Arkha, lesu. "Ntar lo turunin gue di depan bengkel Pak Anwar aja nggak apa-apa, gue mau ambil sepeda di sana."

Athalla mengulas senyum miring. Dia berdecih. "Yang ada gue turunin lo di tempat pembuangan sampah. Lo cocok di situ, emang harusnya sampah nggak lupa tempatnya."

Jarak dari sekolah ke bengkel Pak Anwar seperti yang dimaksud Arkha kira-kira dua kilometer. Sedang dari tempat pembuangan sampah yang dimaksud Athalla, masih ada empat kilometer lagi menuju sekolah. Dan apa katanya tadi? Arkha sampah?

"Bang, kemarin lo aja ngasih tebengan ke cewek. Gue adek lo sendiri nggak dibolehin ikut?"

"Gue nggak sudi ngijinin lo naik motor gue," desis Athalla, tidak suka. "Sekarang minggir! Mau mati lo berdiri di situ?!"

Arkha mengulas senyum miris. "Berdiri doang mati?"

"Gue tabrak, posisi lo jatuh nabrak pot, abis itu kepala lo gue lindes, mati."

"Keren, dan lo butuh seenggaknya keberanian besar kalo mau lakuin itu," tantang Arkha.

Athalla tersenyum miring. "Lo salah mancing gue kayak gitu."

Kontan saja, Arkha mundur selangkah. Aura mengancam yang dilayangkan Athalla begitu pekat.

"Kalo gue mati, lo jadi anak tunggal. Gue masih mau kita rebutan warisan," ungkap Arkha, pelan.

NAUTILUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang