"Ai..."

Kaia hampir melepaskan tangan Prabas kembali. Namun mengingat bahwa tidak ada siapa-siapa di sana selain dirinya, gadis itu kembali menggenggamnya. Prabas mengernyit dalam tidurnya. Tidurnya semakin resah. Kaia memanggil Prabas beberapa dengan lembut tapi pria itu tak kunjung bangun. Keningnya terasa semakin dingin. Begitu juga telapak tangannya yang mulai terasa basah.

"Maaf ... maaf ... bunda ... jangan ... hiks ... ma ... mama ... Ai ... aku tidak ingin jadi kakak ... maaf ..."

"Bas... "

Racauan Prabas semakin acak. Ia memanggil bundanya. Kaia tahu bahwa bunda adalah wanita itu. Prabas tak pernah memiliki sosok ibu karena ibunya telah meninggal sesaat setelah melahirkannya. Satu-satunya sosok wanita di hidupnya adalah wanita itu.

Bintang kecil ... di langit yang biru ...

Seperti yang selalu ia lakukan, Kaia mulai bernyanyi lembut. Genggaman tangan Prabas semakin kencang membuat tangan Kaia memerah. Ia bisa merasakan kuku Prabas yang menusuk kulit di pergelangan tangannya. Gadis itu terus bernyanyi ... dan perlahan semuanya mereda. Napas cemas pria itu perlahan stabil. Cengkraman kuatnya di tangan Kaia juga melonggar. Kaia tersenyum melihat tangannya yang terluka.

Masih dengan bernyanyi, Kaia mengusap keringat yang muncul di kening pria itu.

Saat Kaia masih mengusap keringatnya, pelan-pelan mata yang terpejam itu terbuka. Kaia memperhatikan Prabas yang mengerjap pelan. Namun di balik bayangan kelopak matanya, ia tahu iris hitam itu menatapnya lekat-lekat.

"Ai," panggilnya dengan suara serak.

"Iya, Prabas?" balas Kaia tak kalah lembutnya membuat Prabas memejamkan matanya kembali sambil tersenyum.

"Terimakasih, Ai."

Prabas menarik tangan Kaia yang menyeka keringat untuk beristirahat di atas dadanya. Dadanya yang naik turun dengan stabil. Degup jantung pria itu juga terasa begitu jelas di bawah telapak tangan Kaia.

"Ai."

"Hm?"

Prabas masih memejamkan matanya. Merasa enggan untuk bangun tapi ia harus tetap sadar agar Kaia tidak menghilang.

"I'm sorry."

"Untuk?"

"I didn't mean to take her away from you or your family. I didn't know," ucapnya dengan suara yang berbisik.

Kaia mengangguk. Dia juga cukup tahu itu.

"I'm sorry ... because ... I love her too as a mother. I'm sorry ..."

Hati Kaia bergetar ketika Prabas mengucapkan maaf. Tangan pria itu bergetar menggenggam tangannya di atas dada. Prabas menutup matanya menggunakan lengannya yang terdapat selang infus agar bisa menyembunyikan matanya yang berair.

"Bas, semuanya sudah berlalu. Bahkan kalau pun dia jadi ibumu, aku sama sekali nggak marah. Dia nggak pernah ada di hidup aku sampai buat aku merasa kehilangan."

"Itu terdengar sangat salah, Ai. Dan kamu ngerasa begitu karena aku dan papa aku."

"Sudahlah. Sekarang kamu lebih baik fokus untuk sembuh."

"Sulit, Ai. These guilty feelings ... I can't get rid of them. Tio dan Kevin ... rasa bersalah ini terlampau besar."

"Terus mau kamu sekarang bagaimana?" tanya Kaia membuat napas Prabas tercekat. Genggaman tangannya semakin erat.

Prabas tak menjawab apa pun. Dirinya juga tidak tahu apa yang ia inginkan. Prabas ingin Kaia tetap di sampingnya tapi dia adalah alasan utama Kaia kehilangan sosok ibunya. Mereka bahkan hampir menjadi saudara tiri. Kevin dan Kaia akan menjadi saudaranya. Memiliki keluarga seperti Kevin dan kaia adalah impiannya. Dia mau itu. Dia ingin mereka menjadi keluarga.

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now