33. Ibu dan anak

447 48 1
                                    

-HAPPY READING-

Nafika menyeritkan dahi, bertanya tak mengerti. "Maksudnya lo lebih baik dari Saga?"

"Iya. Gua bisa balikin nama baik lo," jawab Reo dari balik pintu.

Nafika tertawa pelan mendengar itu. "Lo engga bisa jadi kayak Saga, Reo. Lo cuma berandalan, sama begonya lagi kek gue."

Keduanya menjadi senyap setelah Nafika mengatakan itu. Reo menatap ke bawah, bertanya sesuatu, "Mana yang lebih penting? Prestasi? Organisasi? Atau nilai akademik?"

Nafika berpikir sejenak, lantas menjawab, "Prestasi?"

"Salah. Itu memang penting, tapi ada yang lebih penting dari itu," balas Reo lembut.

Nafika memeluk lututnya, berada di lantai membuat dingin lebih cepat menyentuh kulitnya. Apalagi dengan pembahasan Reo yang penuh dengan tanda tanya. "Terus? Apa yang penting selain prestasi? Nilai akademik?"

"Dari yang gua sebutkan di atas, semuanya salah." Reo tersenyum tipis, menghela napas pelan. "Yang penting dalam hidup itu pengalaman, Fii. Lalu disusul kapabilitas diri, fundamental, relasi, koneksi, progres, dan wawasan. Dan yang lebih utama, etika dan adab."

Reo berkata lagi, "Tanpa hal-hal yang gua ucapkan tadi, baik itu prestasi, organisasi, dan nilai akademik ga akan bisa digapai."

Wajah Nafika terlihat kagum mendengar perkataan Reo tadi. Selama ini dia sulit menangkap penjelasan dalam pelajaran, tapi ketika Reo yang menjelaskannya Nafika langsung mengerti. "Sejak kapan lo jadi pinter gini?" Nafika tertawa kecil, meragukan bahwa yang berbicara dengannya tadi bukan Reo asli, melainkan hantu.

Reo mengeluh atas balasan Nafika. "Lo pikir gen otak orang tua gua ga nyampai ke anaknya?"

"Kali aja, kan? Kayak gue, Mama sama Papa pinter, pengusaha hebat. Lah gue? Wah gue sendiri sampai ga tahan mau nyebut panggilan yang pas buat gue." Suara Nafika perlahan berubah lirih. "Mungkin benar kata Mama, harusnya gue hidup kayak tikus mati."

"Gua bilang itu bukan buat merendahkan lo, Fii." Reo merasa bersalah. "Coba lo liat sapu tangan itu, lihat apa yang dijahit di sana."

Mata Nafika terlihat bingung. "Emang apa yang ada di dalam sapu tangan ini?" Nafika membuka lipatan sapu tangan berwarna biru dongker itu, ada sebuah sulaman benang tambahan di sana.

"Untukmu 9 tahun yang lalu?" Nafika membaca sulaman yang tertulis di sapu tangan itu dengan nada bertanya.

Reo bergumam, "Sekarang udah 9 tahun, Fii."

"Ya?" Nafika tidak mendengar apa yang dikatakan Reo karena terlalu pelan.

Reo bangkit, menepuk pelan jas yang dia pakai. "Lupakan. Sekarang putuskan, lo mau pacaran pura-pura sama gua, atau ngga?"

"Entahlah." Nafika menunduk, menatap kembali sapu tangan itu. Hatinya seperti diganjal sesuatu setelah membaca itu. Dia memperhatikan lagi detail sulaman yang ada, dan itu berantakan.

Alis Nafika terangkat, tidak mungkin Reo menyewa tukang jahit payah yang tidak bisa menjahit 5 kata saja. Beberapa detik kemudian Nafika sadar, kata-kata itu dijahit sendiri oleh Reo.

Dengan cepat Nafika berdiri. "Reo!"

"Maaf kalau jelek jahitannya, Fii." Seakan tahu kenapa Nafika memanggil namanya, Reo tertawa kecil.

Nafika menggeleng cepat. "Kenapa lo susah-susah ngejahit sapu tangan ini?"

"Entahlah. Permintaan maaf, mungkin?" jawab Reo ambigu.

Perasaan Nafika semakin kesal. Dia selalu saja tidak mengerti apa pun mengenai orang sekitarnya. "Reo-"

"Dia datang, Fii," Reo menyela lebih dulu. Membuat Nafika langsung bungkam.

Dear Nafika badbaby sist!Место, где живут истории. Откройте их для себя