03. Ujian matematika

1.4K 150 6
                                    

-HAPPY READING-

Keesokkan harinya. Satu jam sebelum pelajaran matematika, para siswa yang ada dikelas Nafika belajar Kimia yang sama memusingkannya seperti Matematika.

Mereka tidak mempermasalahkan belajar Kimia setelah itu belajar Matematika, yang mereka permasalahkan adalah, pak Adi yang sudah siap di depan pintu kelas menunggu Ibu Delsi selaku guru kimia kelas sebelas selesai mengajar. Pria tua itu rela berdiri diluar selama 10 menit lamanya, hanya agar para murid tidak menyiapkan kertas contekan.

Bel pergantian jam berbunyi, sudah waktunya ujian matematika dimulai. Pak Adi tersenyum ramah pada Ibu Delsi yang menyapanya. Kemudian langsung masuk kedalam kelas dengan menatap tajam semua siswa, berjaga-jaga jika ada yang berani membuat catatan rumus.

Pak Adi duduk sambil memegang sebuah rotan ditangannya. "Kita langsung mulai saja ujiannya, untuk absen, akan saya lakukan setelah kalian menyelesaikan ujian."

"Baik, Pak!" balas para siswa. Keringat dingin tentunya membasahi mereka. Pria tua ini sangat bengis dan disiplin, hal itulah yang membuatnya terkenal killer.

Lembar ujian telah dibagikan oleh ketua kelas. Nafika tersenyum kecut ketika membaca lembar ujian itu-tidak ada yang ia pahami sama sekali. Semua angka yang bersatu pada soal dan rumus-rumus membuat otaknya berasap hanya dengan melihatnya.

"Mati gue kalo gini." Nafika mendesis menoleh kearah Anna yang sudah mulai mengisi lembar jawaban beralih menoleh kearah Saga yang juga sudah mulai mengisi satu persatu soal.

"Kalo lagi serius gini, gantengnya kamu itu nambah," kata Nafika kesem-sem. Bukannya ikut mengisi lembar jawaban, Nafika justru menopang dagu menatap Saga. Hal itulah yang sering ia lakukan baik ujian ataupun tidak. Nafika sama sekali tidak berminat pada pelajaran, yang ia ingin hanya menatap wajah Saga.

Nilainya merah semua? Tidak tuntas? Tenang saja, keluarganya holang kaya, dia bisa menyogok jika hanya ingin lulus-itu yang ada dipikiran Nafika. Otak gadis itu memang dangkal, oleh karena itu dia sering berpikiran pendek.

Lima belas menit berlalu. Nafika tetap pada posisinya mengamati Saga, sesekali dia tersipu sendiri melihat Saga yang begitu tampan-baginya. Meski sudah melihat Saga setiap saat, Nafika tidak pernah bosan pada laki-laki itu.

Anna yang sedari tadi melirik lembar jawaban Nafika yang masih kosong, mengumpat dalam hati. "Emang kebiasaan ni bocah! Bucin udah tolol sampai ke akar. Udah tau ujian masih aja itu kebiasaan ga hilang."

Kaki Anna menyenggol kaki Nafika yang ia silangkan. Nafika menoleh, menaikkan satu alisnya. "Kenapa?"

"Waktu tersisa dikit lagi, Fika. Kapan lagi lo mau ngisi?" bisik Anna yang memperhatikan Pak Adi, berjaga-jaga supaya tidak ketahuan berbicara.

Nafika melirik jam tangannya. Apa yang dikatakan Anna benar, hanya tinggal lima belas menit lagi. "Coba liat jawaban lo." Tangannya bergerak menarik lembar jawaban Anna, dilihatnya semua jawaban itu tidak terlalu panjang, mungkin akan sempat jika dia mengerjakannya beberapa saat lagi.

"Pendek tuh jawabannya, sekali tulis aja kelar!" jawabnya enteng, mengalihkan pandangan dan kembali menopang dagu menatap Saga yang terlihat sangat serius. Sebenarnya Nafika tau Saga sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu, ia yakin Saga masih memastikan jawaban itu terlebih dahulu. Ketelitian laki-laki itu yang menyebabkan hampir semua nilainya sempurna.

Anna memutar kedua bola matanya jengah. "Awas aja kalo lo ga sempat nyalin, salah sendiri."

"Yayayaya, bawel lo, ah!"

Menit demi menit berlalu, Saga beranjak dari duduknya, menjadi yang pertama mengumpulkan jawaban pada Pak Adi. Perhatian Nafika sedikit teralihkan, apalagi para siswa yang lain mulai menyusul mengumpulkan tugas, membuat Nafika kelimpungan.

Dear Nafika badbaby sist!Where stories live. Discover now