36 // She's All That

643 195 28
                                    


Sudah lama sejak terakhir Mabel tertidur setelah lelah menangis sekuat tenaga. Tapi saat dia terbangun, dia tidak berada di lantai di balik pintu, melainkan di atas tempat tidurnya. Langit sudah gelap, tidak ada cahaya yang masuk ke dalam kamar. Cahaya di sini hanya mengandalkan lampu yang berwarna putih terang dan menyilaukan.

Mabel merasa ada yang memperhatikan. Maka dia pun berusaha bangkit. Seorang gadis bergegas menghampirinya, menatap Mabel tapi sedikit menunduk.

"Apakah Neng Mabel butuh sesuatu?"

"Kamu siapa?" Suara Mabel serak. Sudah berjam-jam dia menangis dan tidak minum. Kerongkongannya sangat kering.

Gadis itu segera mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Benda yang entah kapan muncul di situ. Karena haus, Mabel segera mengambil gelas itu. Tapi begitu ingat sikap ibunya, Mabel berhenti.

"Kamu dulu yang minum. Aku nggak mau ambil risiko itu diracun atau dikasih obat."

Gadis itu menelan ludah. "Saya perlu ambil gelas dulu."

Mabel tidak peduli. Dia pun kembali berbaring saat gadis itu melesat keluar kamar Mabel. Meninggalkan pintu tidak dikunci. Dengan tenaganya yang tersisa, Mabel turun dari tempat tidur, berjalan keluar dari kamarnya. Kamarnya di lantai dua membuat Mabel bisa melihat ruang tamu dan keluarga jika Mabel berjalan sedikit. Saat Mabel bersandar di balkon dan melihat ke bawah, rumah itu sepi. Tidak ada siapapun di sini. Jadi, kenapa tadi Mabel dikunci di kamarnya sendiri?

"Neng, maaf, Neng nggak boleh keluar."

Gadis itu sudah kembali, membawa gelas. Melihat Mabel berada di luar, tangannya sedikit gemetar.

"Apa hak kamu melarang saya?" Mabel mengabaikannya, kali ini melanjutkan langkah ke tangga.

"Saya..." Dia bingung.

"Dan kamu siapa?"

"Saya pembantu di sini. Diminta Ibu untuk jaga Neng."

"Menjaga bukan berarti mengurung saya di kamar dan nggak bisa ke mana-mana," Mabel terus berjalan. Gadis pembantu itu menghampiri Mabel, berusaha meraih tangannya.

"Nanti saya akan dimarahi Ibu," ujarnya.

Mabel tak mau tangannya disentuh. Dia segera mengibaskan tangan gadis pembantu itu dan membuat gelas yang dipegangnya terlepas dari tangan, jatuh menyentuh lantai dalam bunyi memekakkan telinga.

Si pembantu menjerit, melompat menjauh dari gelas. Tapi Mabel bergeming. Dia tak menghindar. Pecahan kaca mendekati kakinya tapi tak melukai. Tak peduli, Mabel lanjut melangkah ke bawah.

Rupanya bunyi gelas pecah telah menarik perhatian orang. Arif segera muncul begitu Mabel berada di kaki tangga.

"Neng, saya minta Neng Mabel tetap di kamar." Arif menghampiri Mabel, lalu menundukkan kepala saat berbisik. "Mas Bas akan menjemput saat Ibu tidak di sini. Dua hari lagi."

Mabel tidak mengerti pada Arif. Dia pegawai ibunya tapi bersedia membantu Mabel.

"Aku harus bicara dengan Mama."

"Ibu sedang rapat dengan Ketua Partai."

"Aku nggak peduli."

"Pintunya dikunci dari dalam."

"AKu gedor sampai Mama terganggu."

Tekad Mabel sudah bulat. Dia tidak mau diperlakukan seperti ini lagi. Sudah saatnya Ratna memperlakukan Mabel sebagai manusia, sebagai putrinya, sebagai keturunannya.

Arif sepertinya tak sampai hati untuk mencegah Mabel. Dia mengikuti langkah Mabel menuju ruang kerja Ratna.

Mulanya, Mabel membuka kenop pintu. Benar terkunci. Kedua, Mabel mengetuk. Tak ada respon. Ketiga, yang memang menjadi rencana Mabel, digedornya pintu itu seperti sedang menggerebek markas judi.

Lovygdala (END - WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang