26 // What If(s)

628 174 10
                                    

Mabel pulang ke rumah Bas kali ini. Kebetulan yang sebelumnya mengontrak rumah ini tidak memperpanjang sejak bulan lalu. Sebelum Mabel pulang dari rumah sakit, Bas sengaja meminta Mbak Teti dan Mbak Ijah membersihkan rumahnya itu. Alasan Bas mengajak Mabel ke rumah milik Bas dan bukan milik Mabel, karena Bas ingin Mabel melihat suasana baru. Rumah Bas juga cenderung tenang karena berada di pinggir kota. Rumah Bas yang cenderung mungil dengan halaman yang lebih luas dibanding rumah Mabel, membuat mereka bisa lebih merasakan ketenangan.

"Istirahat dulu di sini selama beberapa hari. Mbak Rita juga sudah wanti-wanti aku supaya kamu jangan dulu mikirin kerjaan," Bas mengingatkan Mabel begitu mereka sampai di rumah.

"Iya. Tapi nggak mau lama-lama," Mabel memohon.

"Dua hari. At least," Bas nyengir.

Mabel menyetujuinya. Kalau Bas menyebut seminggu, Mabel akan protes.

Mbak Ijah dan Mbak Teti juga diboyong ke sini. Jadi Bas dan Mabel tak perlu khawatir soal pangan mereka. Mbak Teti sigap hadir setiap Mabel membutuhkan apa-apa. Bas sudah mengarahkan kedua pembantunya supaya mereka bertiga sigap dan siap dalam memenuhi apapun kebutuhan Mabel.

"Apa Mama dan Papa kamu sudah dikabari?" Mabel bertanya lirih sebelum malam itu mereka tidur.

Bas tertegun. Kepalanya menoleh pelan-pelan ke arah Mabel seperti paara aktor di film horor saat dirasakannya ada hantu mendekat. "Belum," jawab Bas pelan.

"Kita harus bilang..." Mabel menggigit bibir. Dalam hatinya sudah mulai takut bahwa orang tua Bas akan kecewa dan menyalahkannya. Tapi mertuanya harus tahu agar tak berharap cucu dalam waktu dekat. Kemudian, Ratna juga tahu.

"Aku yang akan sampaikan. Kamu nggak usah khawatir. Sini, mending bobo sambil aku peluk."

Mabel masih tak puas, ada kekhawatiran bercokol di hatinya. Keraguan itu tampak dari matanya sehingga Bas harus menarik Mabel untuk berbaring dan memeluk Mabel erat-erat.

"Gwenchana. Sleep tight, Mabella." Bas pun konsisten menepuk-nepuk kepala Mabel. Hingga Mabel pun menyerah dan tertidur.

***

Biarpun tak rela, Bas terpaksa berangkat kerja hari ini. Bas berangkat ke kantor bukan hanya karena dia harus hadir di kantor setelah absen beberapa hari, melainkan karena Mabel terus bertanya kapan dia akan bercerita pada Dyah dan Agus. Mau tak mau Bas pun berangkat. Dia tak mau membenani Mabel sehingga Bas mengambil keputusan dia seorang saja yang menemui orang tuanya.

Bas tiba di rumah orang tuanya tidak lama setelah maghrib. Dyah tidak menyangka Bas datang di tengah pekan dan sendirian.

"Ada masalah?" Tanya Dyah begitu Bas menyebutkan salam dan menyapa orang tuanya.

Bas tidak bisa menyembunyikan dari ibunya. Dia pun nyengir. "Duduk dulu yuk, Ma, Pa."

Orang tuanya mulai khawatir, tapi Bas malah santai. Dia pergi ke dapur, mengambil air, mencari cemilan. Sampai membuat Agus dan Dyah semakin penasaran.

"Baskara?" tanya Dyah.

Bas tahu dia tak bisa mengelak lagi. Dia pun duduk di depan orang tuanya yang sudah duduk bersebelahan sedari tadi.

"Bagaimana..." Bas bingung, menutup mulut. "Kalau..." Kalimatnya terputus lagi. Dia semakin bingung memulai dari mana.

"Apa, Bas?" tanya Agus pelan, diiringi senyuman.

"Aku harus minta maaf pada Papa dan Mama." Bas memberikan senyum pahit. "Maaf karena... bagaimana kalau... Bas dan Mabel belum bisa punya anak dalam waktu dekat?"

Dyah terkesiap. "Bukankah Mabel sedang hamil?"

Bas menelan ludah. Berat, dia menggeleng. "Janinnya... tidak berkembang, Ma. Tiga hari lalu Mabel dikuret."

"Astagfirullah," seru Agus.

"Kenapa kamu baru cerita sekarang?" Dyah memegang dadanya.

"Karena Bas fokus dulu kepada Mabel. Dia terpukul. Sangat-sangat sedih dan menyalahkan dirinya. Memang Mama dan Papa juga harus tahu dan maaf Bas baru bisa menyampaikannya sekarang." Bas hanya mampu menunduk. "Bas juga minta maaf karena sampai saat ini belum bisa memenuhi keinginan Mama dan Papa untuk punya cucu. Bas dan Mabel berusaha, sungguh. Tapi keadaannya..."

Dyah dan Agus terdiam. Mereka juga tahu ini bukan hal sepele. Tidak ada gunanya juga menyalahkan orang atau bertanya kenapa Bas tak bisa mengabari lebih cepat.

"Ceritanya..." Bas memutuskan menceritakan semuanya tanpa sensor. Agus dan Dyah mendengarkan tanpa menyela, sampai Bas mengatakan, "Selesai."

"Lalu bagaimana keadaan Mabel sekarang?" Agus bertanya.

"Secara fisik sudah baik-baik saja. Tapi secara mental... Bas masih menguatkannya setiap hari. Karena yah... dia masih menyalahkan diri." Bas mengusap rambutnya.

"Kita tengok dia," Agus memegang tangan istrinya. "Kita juga perlu jelaskan ke Mabel supaya dia tidak khawatir."

Bas terperangah. "Papa dan Mama nggak apa-apa?"

"Kami tentu sedih karena belum bisa punya cucu. Padahal kemarin Mabel sudah hamil. Tapi... Mabel adalah menantu yang baik, Nak." Agus memajukan posisinya, menepuk pundak Bas. "Tidak adil bagi kami menyalahkan Mabel yang telah baik selama ini hanya karena dia keguguran."

"Kehilangan anak itu bukan main-main, Bas," Dyah menambahkan. "Biarpun istrimu sedih karena merasa gagal, tapi Mama tahu dia juga sedih karena tidak bisa bertemu dengan anak pertamanya. Dan kami rasa, untuk menyalahkan dia bukanlah hal yang bijak."

"Jika ada umur panjang, Papa akan berdoa supaya diberi kesempatan lain supaya Papa dan Mama punya cucu. Mungkin sekarang masih belum waktunya."

Bas terenyuh lagi. Dia bangkit, berlutut di hadapan orang tuanya. "Makasih, Ma, Pa. Makasih banyak."

Dyah dan Agus berpandangan, namun tak dinyana mereka juga terenyuh. Dengan canggung, keduanya balas memeluk Bas. Bagi kedua orang tua ini, memiliki menantu seperti Mabel rupanya sangat berdampak positif kepada anak mereka sendiri.

***

Malam itu Bas pulang ke rumah agak larut. Dia masih mengobrol dengan orang tuanya sampai larut, membahas apa yang kiranya baik dilakukan kepada Mabel. Jadi ketika Bas pulang ke rumah, Mabel sudah tertidur. Laporan dari Mbak Ijah, Mabel tidak bertingkah 'aneh' hari ini. Hanya menonton, membaca, tidur siang, lalu menonton video Youtube tentang merajut.

Keesokan harinya adalah akhir pekan. Pagi-pagi sekali, saat Mabel terbangun, dia sudah ingin menginterogasi Bas tentang pembicaraannya dengan orang tuanya. Tapi suaminya itu masih molor. Dibangunkan pun tidak bergerak.

"Maaf Neng, ada mertua Neng." Mbak Ijah mengetuk pintu kamar.

Mabel terkejut, dia bahkan belum mandi. Tapi tidak mungkin dia mandi dulu sebelum menyambut mertuanya. Maka Mabel pun tergopoh-gopoh keluar kamar, merapikan rambut dan pakaian seadanya. Untung saja dia saat ini tidak sedang mengenakan 'baju haram'.

Rumah Bas memungkinkan dirinya keluar dari kamar dan langsung sampai di ruang keluarga. Jadi Mabel langsung bisa melihat Dyah dan Agus duduk nyaman di sofa dengan banyak bingkisan di meja.

"Ma, Pa, maaf Mabel belum mandi," Mabel mencium tangan keduanya.

"Nggak apa-apa. Kami yang kepagian," ujar Dyah. "Ini buat di sini ya. Kita makan sama-sama atau buat stok kalian."

Ragu-ragu, Mabel menerima itu semua. Pasalnya, dia masih penasaran dengan hasil obrolan Bas jadi dia masih bingung bagaimana harus bersikap.

"Bas sudah cerita kemarin." Dyah menyadari keraguan Mabel. Dia berdiri di hadapan menantunya. "Tidak apa-apa, Nak. Tidak perlu merasa bersalah kepada kami. Tidak perlu merasa gagal. Fokus saja pada pemulihan kamu ya."

Mabel tak bisa lagi menahan diri. Sekali lagi mertuanya menunjukkan bahwa Mabel berharga. Air mata yang tidak dia duga masih ada ternyata berhasil keluar lagi. Apalagi saat Dyah merangkulnya dan menenangkannya, Mabel membiarkan dirinya menangis lagi. Setengah kekhawatirannya berkurang. Mertuanya yang juga sangat ingin memiliki cucu, tak menyalahkannya saat Mabel belum berhasil melahirkan anak.

Dyah masih terus merangkul dan membelai Mabel. Dibangunkan oleh suara-suara, Bas akhirnya berdiri di ambang pintu, melihat istrinya menangis dan ditenangkan oleh ibunya. Bas bersyukur dan semakin yakin untuk bertahan.

*** 

Lovygdala (END - WATTPAD)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن