28 // Something Has Changed

640 176 13
                                    

Begitu sampai di rumah, Bas segera melesat lebih dulu ke kamar mandi. Mabel sendiri–yang merasa belum terlalu lelah dan pekerjaannya sudah selesai saat menunggu Bas tadi–malah langsung menuju dapur.

"Mbak, biar saya yang bikin makan malam hari ini." Mabel menghentikan Mbak Ijah yang sedang bersiap memasak.

"Eh, kenapa Neng?"

Mabel mengangkat bahu. "Tiba-tiba pengen masak buat suami aja."

"Tapi Neng baru pulang kerja. Masih capek," Mbak Ijah tidak begitu mudah menyerahkan tanggung jawabnya. Biarpun sekarang Mabel kembali sering memasak, tapi biasanya di akhir pekan. Hanya beberapa kali Mabel memasak untuk bekal Bas, setelah memasak sebagai ucapan terima kasih waktu itu. Kadang memasak makan malam kalau sedang di rumah.

"Aku nggak capek kok. Tadi udah istirahat di kantor Bas. Mbak Ijah bantu aku siapin bumbu aja ya," Mabel menghentikan perdebatan dengan segera memakai celemek. Dicucinya kedua tangan dan mulai bekerja.

Seusai mandi, Bas melihat Mabel yang masih mengenakan pakaian kerja dan sedang berada di dapur. Karena kamar mandi rumah ini tidak berada di dalam kamar, Bas jadi bisa langsung melihat keberadaan istrinya.

"Masak?"' Bas menghampiri dapur.

Mbak Ijah yang melihat Bas hanya melilitkan handuk dan bertelanjang dada, segera memalingkan wajah karena segan.

"Iya. Gak apa-apa kan makan malamnya aku yang masak?"

"Nggak apa-apa banget. Tapi kamu nggak capek?"

"I'm good. Pake baju gih." Mabel menunjuk tubuh Bas, suaminya itu hanya nyengir lalu buru-buru berpakaian.

Masakan sudah matang dan tertata di meja. Karena tugasnya sudah usai malam ini, Mbak Ijah pamit ke kamarnya dengan membawa jatah makan malam yang sudah dipisahkan lebih dulu. Mabel menunggu Bas di dapur untuk makan malam bersama. Dia akan mandi setelah makan malam saja.

Bas kembali ke dapur setelah berpakaian. Dilihatnya makanan yang menggiurkan meja lalu dia pun memegang tangan Mabel. "Thank you for your hard work, Sayang."

Sayang. Mabel menyadari akhir-akhir ini Bas beberapa kali memanggilnya 'Sayang'. Mabel tak tahu apa yang membuat Bas menyebut kata itu. Dia tak mau terlalu banyak berpikir.

"Bas..." Mabel merasa ini waktu yang tepat untuk mulai membicarakan topik yang sejak dalam perjalanan pulang, terlintas dalam benaknya. Bas sedang makan, jadi dia bisa fokus dulu mendengarkan pemaparan Mabel.

"Hmm?" Bas mendongak selagi mengunyah, menunjukkan siap mendengar apa yang mau dikatakan Mabel.

"Akhir-akhir ini berpikir. Terutama setelah kehamilanku tidak berkembang. Gimana ya Bas, kalau kita benar-benar nggak punya anak?"

Dada Bas tiba-tiba terasa sesak. Dan dia tahu itu bukan karena terlalu banyak makan masakan ini.

"Dalam perjanjian kita memang disebutkan bahwa kalau dalam setahun kita nggak punya anak, kita bakal pisah. Sekarang sudah enam bulan. Aku memang sempat hamil, tapi ternyata nggak berhasil dan kita nggak tahu kapan lagi aku akan hamil."

Bas meletakkan sendoknya. Ternyata dia tidak suka dengan topik yang mengiringi makanan enak yang disajikan Mabel ini.

"Bisa nggak, kita nggak usah bahas soal itu?"

Mabel mendengar nada enggan dalam pertanyaan itu.

"Aku cuma mau membahas 'kalau', situasi yang mungkin aja terjadi, Bas."

"Masih ada waktu enam bulan, Mabel. Kita nggak perlu berpikir tentang apa yang belum kejadian." Bas tidak mau berpikir tentang prospek dia dan Mabel mungkin berpisah.

"Iya, Bas. Aku kan cuma bilang 'kalau'. Yang artinya perjanjian kita berakhir dan..."

"Tidak." Bas menyela, tegas dan keras. Suaranya membuat Mabel tersentak dan menegakkan tubuh, waspada.

"Bas..."

"Masih ada waktu enam bulan sampai tenggat waktu di perjanjian itu. Kita masih bisa mengusahakan soal anak. Kamu sendiri yang bilang kita nggak tahu kapan dikasih lagi. Gimana kalau bulan depan kamu hamil lagi? Jangan selalu berpikir yang terburuk, tapi pikirkan juga yang terbaik." Bas sudah mengabaikan makanan di atas piringnya. Perasaannya tak karuan begitu topik ini dibahas malam ini. Apalagi karena Bas sebenarnya tak mau berpisah dengan Mabel, memikirkannya pun tak mau.

"Kedua, kalaupun memang dalam satu tahun kita sama sekali nggak punya anak, apa kamu benar-benar mau berpisah? Setelah berbulan-bulan kita menikah, kamu masih melihat hubungan ini sebagai hubungan transaksional? Perjanjian itu masih berlaku?"

Pertanyaan Bas malah menimbulkan pertanyaan lain di diri Mabel. Kenapa? Apa yang membuat Bas sampai terpikir seperti itu. Tentu saja perjanjian itu masih berlaku. Apakah ada hal yang terjadi yang membuat Bas ingin mengubah isi perjanjian?

"Buatku, sekarang anak sudah bukan permasalahan, Bel." Nada suara Bas merendah. Dia masih tetap menatap Mabel tapi tatapannya jadi lebih sendu. "Orang tuaku sudah menerima bahwa keberadaan anak tidak bisa dipaksa. Tapi mereka tahu bahwa aku, kita, berusaha. Mereka melihat bahwa pernikahan ini punya arti lebih besar dari sekedar untuk menghasilkan anak. Bahwa aku dan kamu saling memberi pengaruh baik yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya."

"Tapi mamaku..."

"Mamamu. Ya. Mama Ratna masih sangat berkeras untuk memiliki anak. Beliau juga belum tahu bahwa terjadi keguguran." Bas berkata gusar. Ratna belum tentu bisa menerima berita duka itu semudah Agus dan Dyah. Bas bahkan bisa menduga bahwa Ratna akan marah saat tahu putrinya keguguran.

"Bas... aku cuma... takut. Apa yang akan terjadi ke depannya..." Suara Mabel bergetar, tapi Mabel bertahan, tak mau menangis. "Soal anak ini masih jadi prioritas utamaku..."

Dan prioritas pertamaku ya kamu.

"Ya, aku tahu. Aku tahu. Buatku, anak sudah bukan permasalahan utama, tapi buatmu, masih. Aku nggak bisa berandai-andai tentang apa yang akan terjadi kalau kita tidak kunjung diberi anak. Tepatnya, aku nggak mau, Bel." Bas menarik napas berat dan mengembuskannya. Karena yang Bas mau bukan memikirkan prospek untuk berpisah saat tak kunjung ada anak di antara mereka. Yang Bas mau adalah memikirkan kehidupan pernikahan mereka, dengan atau tanpa anak. "Yang bisa aku katakan sekarang, kita akan berusaha lagi. Sampai batas waktu terakhir. Kita juga mungkin bisa coba metode lain yang lebih pasti. Misalnya IVF, atau mungkin adopsi. Kalau itu juga nggak berhasil, kita akan bicarakan lagi nanti."

Bas menunduk, menatap meja. Kata-katanya sendiri seakan mengatakan bahwa dia siap untuk berpisah dengan Mabel jika sampai batas waktu perjanjian mereka usai, Mabel tak kunjung hamil. Padahal hatinya berkata sebaliknya. Namun Bas pun tak mampu untuk mengatakan bahwa dia mencintai Mabel dan ingin terus bersamanya.

"Aku selesai," Bas menutup sendok. Tanpa menatap Mabel, Bas bangkit, masuk ke dalam kamar.

Mabel membeku di tempat duduknya, menatap punggung Baskara yang menjauh.

"Duh," Mabel menunduk, menyangga kening dengan tangannya. "Buatku juga berat, Bas. Kamu sangat cocok dengan anak. Aku tahu kamu juga mau punya anak. Anak yang bakal kamu manjakan, didik, bahagiakan. Aku bahkan bisa membayangkan apa yang kamu lakukan dengan anak kita nanti. Tapi kita juga dikejar waktu. Apa salah kalau aku bertanya apa yang akan terjadi nanti?"

Mabel belum juga masuk ke kamar dalam satu jam ke depan. Ketika dia masuk, yang didapatinya adalah Bas yang berbaring memunggunginya. Tanpa Mabel tahu bahwa Bas sama sekali tak bisa tidur malam itu.

***

Agak sedih ya. Padahal sama-sama mau bahagia, tapi jalannya belibet gitu.

-Amy

Lovygdala (END - WATTPAD)Where stories live. Discover now