32 // The Whys

594 175 6
                                    

Pasca malam sendu dan sepi yang dialami oleh Mabel, hari ini dia dan Bas bisa kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Setidaknya dalam pandangan Bas. Mabel bilang dia memang sudah tidak memikirkan kata-kata ibunya, memilih untuk fokus pada dirinya sendiri. Tapi saat Mabel sendirian dan tidak sadar Bas memperhatikan, ada kalanya Mabel termenung, pandangannya kosong, lalu menghela napas begitu panjang.

Bas sudah mencoba sekuat tenaga untuk menguatkan Mabel, mengatakan padanya bahwa tidak ada yang salah pada dirinya. Mabel juga mengiyakan kata-kata Bas, menyetujui hal tersebut. Tapi dalam hati seseorang, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Bas menceritakan perihal permasalahannya kepada Mas Indra. Atasan sekaligus satu-satunya orang yang entah kenapa bisa Bas percayai di kantor. Padahal kalau membahas pekerjaan, mereka bisa berdebat dan bertengkar, bisa pula saling menyetujui ide satu sama lain. Tapi Bas malah tetap nyaman bercerita dan meminta saran dari atasannya itu. Mungkin karena sifat Mas Indra bisa begitu berbeda saat bicara tentang urusan kantor dan urusan pribadi. Di luar, mereka bisa mengobrol dan merokok bersama (dulu) dan melepaskan titel di kantor.

Mas Indra berusia hampir 40 tahun. Anaknya sudah dua. Sepenglihatan Bas, meskipun beliau tegas di kantor, tapi dia bucin terhadap istrinya. Untuk hal ini, mereka sama.

"Mas, sebat yuk," Bas melongok ke ruangan Mas Indra, saat jam menunjukkan setengah jam lewat jam pulang kerja sesungguhnya.

"Bukannya udah nggak ngerokok lu?" Namun Mas Indra tetap saja mengambil rokok, dompet, dan ponsel, lalu berdiri.

"Sesekali boleh. Yang penting pulang nggak bau rokok," Bas nyengir.

Mereka pun menuju area merokok. Bukan hanya mereka berdua yang masih di kantor dan merokok, rupanya ada karyawan lain yang juga melakukan hal yang sama.

"Mau ngomongin apa?" Mas Indra mengeluarkan rokok, dan Bas sigap membantu menyalakan.

"Gimana ya Mas biar cepet punya anak selain usaha secara natural?" Bas tanpa ragu bertanya selagi menyalakan rokoknya sendiri.

"Oh. Mau langsung usaha lagi?" Mas Indra sudah pasti tahu perihal Mabel yang perlu dikuret beberapa waktu lalu.

"Iya. Sebenernya aku santai aja sih Mas. Tapi ibunya Mabel tuh..." Bas mendeskripsikan dengan menggidikkan badannya, merinding. "Masa pas kita cerita bahwa Mabel keguguran, komentar beliau malah, 'Hamil aja nggak becus'."

Mata Mas Indra membelalak. Dia juga merasakan bahwa itu kata-kata yang tidak pantas.

"Mabel sampai kena serangan panik, Mas. Dia megap-megap, badannya dingin, wajahnya pucat, hampir pingsan. Aku juga stress banget dengernya, ditambah liat Mabel begitu." Bas menggaruk kepala. "Tapi ibunya tetep nyuruh punya anak sebelum masa Pilkada. Kalau nggak inget aku nikahin anaknya, aku udah teriak, 'Udah gila kali ibu ini'."

Mas Indra tertawa atas reaksi Bas. "Jangankan kamu Bas. Aku aja yang denger udah pengen marah. Itu beneran ibu kandungnya Mabel?"

Bas meringis. "Kandung, Mas."

"Yang jelas sih kamu jangan sampai tinggalin Mabel. Selalu kuatkan dia apapun yang sedang dia rasakan," Mas Indra masuk ke mode serius. Bas mengangguk setuju.

"Kalau soal anak, anak itu karunia Tuhan sih ya Bas. Kita nggak bisa maksa kalau memang belum waktunya. Tapi memang ada beberapa cara buat usaha." Mas Indra merasa obrolan semakin serius maka dia mematikan rokoknya. "Adik aku itu udah delapan tahun nikah belum punya anak. Akhirnya dia adopsi, Bas."

"Oh gitu?" Mata Bas berbinar, merasa memiliki jalan keluar.

"Tapi ada beberapa syarat. Ini yang aku inget ya. Usia suami istri minimal 30 tahun. Usia pernikahan minimal lima tahun."

Lovygdala (END - WATTPAD)Where stories live. Discover now