30 // Black and White

694 163 10
                                    


Another weekend is about to come. Beriringan dengan kekhawatiran yang muncul kembali setelah beberapa kali Mabel berusaha meredamnya.

Pagi ini Mabel bangun dari tidur nyenyak di samping suaminya. Menggeliat beberapa saat dan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Baskara sedang memandanginya sambil tersenyum.

"Pagi, Bas," Mabel menyapa dengan suaranya yang masih agak serak lalu mengecup cepat bibir sang suami.

"Pagi, Cantik," balasnya.

Mabel mengangkat alis sedikit tapi tidak mempermasalahkannya. Setelah Sayang, sekarang Cantik. Bas mulai sering memanggilnya dengan panggilan lain selain namanya sendiri.

"Besok Sabtu..." Bas mengingatkan saat Mabel duduk dan bersiap turun dari tempat tidur.

Nada suara Bas tidak menyiratkan kegembiraan menyambut akhir pekan. Melainkan menggantung, bermaksud melanjutkan namun tak sampai hati. Tapi Mabel tetap harus ingat juga. Mereka masih punya hutang satu orang lagi yang harus ditemui.

"Aku tahu." Pundak Mabel melengkung. Ditatapnya ujung kasur, tangannya tanpa sadar meremas selimut.

"Aku yang akan bicara," Bas meraih tangan itu dan memegangnya. "Menundanya tidak akan membuat ini kurang mengerikan."

Mabel pun memberanikan diri menatap suaminya, mencari dukungan yang dibutuhkannya, bahkan sebelum menemui orang yang ditakuti sekaligus disayanginya.

"Oke," Mabel mengangguk.

***

Bas menghubungi Arif. Dari ajudan Ratna yang sekarang bisa dibilang akrab denganya, Bas bisa tahu bahwa Ratna akan ada di rumahnya selama hari Sabtu. Bekerja dan rapat dari rumah sebelum besok kembali bergerilya di daerah pilihan untuk mencari suara.

Mabel dan Bas berangkat dari Bandung menuju Jakarta sejak dini hari. Arif menyarankan Mabel dan Bas bertemu Ratna saat waktu sarapan. Waktu makan bisa jadi waktu yang cocok untuk pertemuan dan membahas hal penting. Ketika Bas mengkonfirmasi persetujuannya, Arif melaporkan kepada Ratna, dan Ratna pun setuju.

Di dalam hatinya, Bas masih tetap saja heran. Mabel mau bertemu ibunya bagai akan bertemu pejabat asing. Harus menghubungi ajudan–bukan ibunya langsung–dan membuat janji sebelumnya. Bas memang bersyukur bahwa dia bisa menemui orang tuanya kapan saja, tapi dia juga ikut sedih untuk istrinya.

Sepanjang perjalanan, Mabel lebih banyak diam. Bas tahu dia gugup. Mereka datang ke Jakarta bukan untuk menyampaikan berita baik. Melainkan berita sedih yang entah akan ditanggapi bagaimana oleh Ratna. Mulanya Mabel tak mau memberi tahu ibunya karena dia takut. Kepercayaan dirinya sudah kembali sejak Bas rutin menghiburnya dan mertuanya pun sudah menguatkan. Tapi benteng itu kembali roboh ketika Mabel sadar bahwa dia juga harus menghubungi ibunya, memberitahukan bahwa cucu yang ditunggu Ratna belum akan datang dalam waktu dekat.

Karena itulah Mabel selalu menolak dan mengundurkan waktu untuk bertemu Ratna. Tapi Bas tahu bahwa lebih cepat lebih baik. Mereka bisa kembali fokus untuk memiliki anak setelah menyingkirkan satu hal yang menjadi kekhawatiran.

Sekitar pukul setengah delapan, mobil Mabel yang dikendarai Bas akhirnya sampai di kediaman Ratna di Jakarta. Satpam membukakan pintu dan mereka masuk tanpa kesulitan. Arif menyambut di depan pintu dan langsung mengantarkan mereka ke ruang makan. Mabel melihat ibunya sudah duduk di ruang makan, mengenakan kaca mata sembari membaca sesuatu. Belum apa-apa, tangan Mabel sudah bergetar. Entah melihatnya atau tidak, Bas segera meraih tangan Mabel, menggenggamnya erat.

Ratna mengangkat kepala begitu merasakan ada yang mendekat. Bas mengambil kesempatan untuk menyapa lebih dulu.

"Pagi, Ma."

Lovygdala (END - WATTPAD)Where stories live. Discover now