19

11 0 0
                                    


Fandi terdiam mematung di depan pintu, sambil tatapan matanya tidaklah lepas dari seorang gadis, yang saat ini sudah beranjak remaja di depannya.

Ilora selama beberapa saat terpaku, momen inilah yang kerap kali ia hindari. Sesekali gadis itu memejamkan kedua matanya. Ilora mencoba meraup pasukan oksigen sebanyak mungkin, yang mendadak terasa sulit untuk ia hirup.

"Tante maaf, Lora nggak bisa lama di sini. Udah sore, dan Lora belum izin sama Ibu." Pamit Ilora yang merasa tidak ingin berlama-lama terjebak di dalam ruangan tersebut.

Dengan tangan yang sedikit kaku, Ilora meraih tas yang sebelumnya ia letakkan di atas sofa yang memang tersedia di ruangan tempat Dewi dirawat.

"Biar diantar sama Aldan ya sayang?" Dewi mencoba meraih lengan Ilora, bermaksud menghentikan langkah gadis itu.

Dengan senyum yang sedikit ia paksakan, Ilora mengelengkan kepalanya pelan. "Nggak usah Tante, Lora bisa kok pulang sendiri. Lora pamit dulu ya, lekas sehat Tante."

Tepat setelah mengatakan hal tersebut, Ilora melangkah kakinya, sambil berjalan mendekati pintu. Tepat di mana Fandi saat ini berdiri.

"Permisi," ujar Ilora sebelum sepenuhnya meninggalkan ruangan Dewi.

Fandi masih menatap kosong punggung Ilora yang semakin berjalan menjauh. Selama beberapa detik ia terdiam, hingga sosok Ilora sudah tidak lagi terlihat.

"Perbaiki sebelum semuanya terlambat Mas," ujar Dewi tiba-tiba menyadarkan lamunan Fandi.

"Ngomong apa kamu?" seolah bersikap masa bodoh, Fandi berjalan mendekat ke arah ranjang istrinya.

"Ilora juga anak kamu, darah daging kamu. Tidak sepantasnya dia mendapatkan perlakuan seperti itu dari kalian, dari keluarga dia sendiri." Lanjut Dewi lagi dengan sorot mata yang masih terlihat sendu.

Jujur, sebagai seorang Ibu, hati dia ikut sakit saat mendengar penjelasan demi penjelasan yang keluar dari mulut putranya. Selama hampir 3 tahun mereka berdua menikah, Dewi  baru mengetahui fakta, jika Istri pertama suaminya masih hidup, bahkan anak dari hasil pernikahan mereka berdua sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik.

"Kamu masih butuh banyak istirahat Wi. Jangan banyak berfikiran ngaco seperti itu."

"Mas?! Mau sampai kapan Ilora kehilangan peran seorang Ayah dalam kehidupannya?" tanya Dewi lagi yang masih tidak habis fikir dengan jalan fikiran suaminya.

"Nyawa adik aku melayang di tangan wanita itu! Rasanya nggak adil buat Feni kalau aku nganggap kematian dia sebagai hal yang sepele!" Tanpa sadar Fandi menaikkan intonasi nada bicaranya.

"Wanita itu siapa yang kamu maksud? Mbak Vina? Dan apa adil jika gadis seusia Ilora menanggung kesalahan yang sama sekali tidak dia perbuat?!"

"Kamu Ayah gadis itu Mas, dan kamu masih punya kewajiban untuk menafkahi semua kebutuhan Ilora, juga memberi dia kasih sayang seorang Ayah sebagai mana mestinya. Bukan justru lepas tangan gitu aja."

"Kamu nggak tau apa-apa Dewi! Masalah yang pernah terjadi di keluarga aku nggak sesimple yang kamu kira!"

"Masalah Ilora, dia sendiri yang memilih kehidupannya seperti ini!"

"Mas!"

"Bisa tolong jangan berantem? Kasian Denis, dia baru aja tidur." Dengan nada dingin, Aldan berbicara memotong pembicaraan Dewi dengan Fandi. Setelah beberapa detik menguping pembicaraan kedua orang tuanya, Aldan mulai bisa menebak, apa pemicu perdebatan kedua manusia dewasa di depannya.

"Aldan laper, mau nyari makan di kantin, kalian tolong kondisikan suara kalian, ini rumah sakit. Takutnya banyak yang terganggu." Tepat mengatakan hal tersebut Aldan pergi begitu saja melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan tempat Dewi dirawat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Zielo{On-going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang