11

3 0 0
                                    

Ilora mengulurkan sebuah cup es cream rasa strawberry ke arah Ziega. Saat ini mereka berdua duduk bersebelahan masih di dalam rumah Ziega.

"Lora nemu ini di kulkas Ega, kata Bi Lastri gapapa Lora minta. Jadi Lora ambil 2."

"Lo tadi udah makan es cream, sekarang mau makan lagi? Nggak bosen?"

Ilora mengelengkan kepalanya sebagai jawaban. Dengan sorot mata jernihnya, ia menatap wajah Ziega yang memang sedikit terlihat murung.

"Dulu, pernah ada anak baik yang ngasih Lora es cream, kata dia, makan ini bisa bantu ngilangin kesedihan."

"Terus? Ini ceritanya, lo ngasih gue es cream, biar gue nggak sedih gitu? Siapa yang sedih sok tau lo." Kilah Ziega seketika merubah raut wajahnya sendiri sedrastis mungkin.

"Nggak usah sok kuat gitu. Lora tau kok kalau Ega ngerasa kecewa sama kedua orang tua Ega. Lora ngerti, Lora bisa lihat."

Sudut bibir Ziega sedikit tertarik, ia tertawa remeh, menertawakan takdir kehidupannya.

"Gue ngerasa nggak seharusnya berekspektasi lebih. Ya harusnya gue sadar kalau keadaannya udah dari lama berbeda."

"Lo tau?" Ziega memandang kosong kearah sebuah figura yang terpasang di dinding, berisikan potret 3 manusia penghuni rumah ini. Dengan 1 bayi yang berada dalam gendongan seorang wanita cantik berambut panjang.

"Gue sengaja ngasih mereka jam, dengan maksud, agar mereka ingat waktu. Agar mereka sadar kalau waktu terus berlalu. Dan sekarang sudah hampir 10 tahun mereka berdua seolah lupa dengan peran mereka sendiri sebagai orang tua."

"Gue suka iri lihat kedekatan Arlo sama Tante Letta sama Om Agam, dan sekarang keirian gue bertambah saat lihat kedekatan lo sama nyokap lo."

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ziega, Lora hanya bisa terdiam, gadis itu mematung.

"Maaf ya, kalau Lora lancang. Lora boleh  penyebab mereka berubah?" Dengan nada penuh kehati-hatian, Ilora menanyakan rasa penasarannya. Sedikit banyak, gadis itu bisa menarik kesimpulan jika sebelumnya hubungan Ziega dengan kedua orang tuanya tidak serenggang ini.

"Gue nggak tau." Kedua bahu Ziega terangkat menjawab pertanyaan gadis yang saat ini tengah menatapnya sembari menanti sebuah jawaban.

"Seingat gue, semuanya dulu nggak sedingin ini."

★★★★★

Sofie melirik kearah suaminya, yang memang duduk tepat di sebelah wanita itu. Suara mesin mobil juga kendaraan yang berlalu-lalang sama sekali tidak berhasil membuyarkan lamunan Rian. Terlihat sosok lelaki tersebut yang tengah memandang ke arah luar jendela mobil yang sedang ia tumpangi.

"Ini mau langsung ke bandara Tuan?" tanya Yanto selaku supir pribadi Rian, yang sudah lebih dari 20 tahun mengabdikan diri di keluarga itu.

Sofie menatap sekilas ke arah jam tangan di tangannya yang merupakan hadiah dari Ziega.

"Kita mampir ke kantor dulu Pak, ada berkas saya yang ketinggalan. Kalau bisa sedikit ngebut ya, takutnya ketinggalan pesawat."

"Baik Nyonya."

"Mas," Sofie menyentuh pelan punggung tangan Rian, sesekali terdengar helaan nafas kasar dari bibir suaminya.

"Setiap kali melihat Ziega, aku selalu ngerasa gagal sebagai Orang tua Ma."

"Tapi mau sampai kapan Ziega nanggung ini semua?" tanya Sofie dengan sedikit berhati-hati.

"Sampai aku bisa berdamai sama semuanya."

Zielo{On-going}Donde viven las historias. Descúbrelo ahora