Prabas membuat catatan sendiri dalam kepalanya untuk lebih menjaga lisannya. Untuk mata akan tetap ia biarkan melihat jika kelihatan seperti tadi. Prabas berbaring dengan resah. Ia mengangkat tangannya untuk menutup wajahnya yang terasa panas. Telinga putihnya memerah membayangkan apa yang dilihat tadi.

Tak merasa nyaman, Prabas berbalik dan pemandangan yang seharusnya tak boleh ia lihat pun kembali membayang-bayanginya. Dia benar-benar anak remaja puber. Prabas yang selalu bangga akan sikapnya yang selalu menjaga diri kini kesulitan mengontrol hasratnya sendiri.

"Pokoknya nanti kalau pulang nanti aku harus cepat-cepat nikahin dia."

***

"Nggak bisa!"

"Hm?"

"Pa... kan Kevin cuma bilang saja. Bukan berarti ini beneran terjadi loh, ini kan seandainya. Bagaimana kalau seandainya nanti tiba-tiba jodohnya Ai tuh Prabas gitu?'

"Gila kamu, Vin!"

"Ya kalau bukan Prabas, setidaknya Utama deh. Meskipun dia cuma anak dari selingkuhan tapi Pak Salim sepertinya peduli juga ke Utama."

"Nggak! Papa bilang nggak, itu artinya enggak, Vin! Mau itu si Ifrit, Utama, Kenzo, Budi, apalagi si brengsek Kian. Nggak akan papa izinin Ai untuk berhubungan dengan orang-orang itu."

"Pa... tenang. Kevin cuma tanya jika ini seandainya saja. Bukan sesuatu yang harus dibawa serius."

"Kamu juga tiba-tiba tanya begitu. Kayak nggak ada sesuatu yang lebih baik diomongin. Papa nggak akan pernah relain Ai sama siapapun dari keluarga itu. Mau dia si Utama yang baik sampai di si Kian, papa nggak akan izinin mereka bernafas satu udara sama Ai."

"Well, itu sepertinya sedikit berlebihan."

"Vin, udah ya. Lama-lama tekanan darah papa naik kamu ajak ngomong gini. Papa lagi mau mengurus pensiun dini setelah ini, kamu juga kalau bisa cari tempat kerja lain ya. Kita sudah terlalu hidup atas rasa kasihan Pak Salim. Rasanya papa semakin sesak setiap harinya. Apalagi kalau ketemu Prabas. Papa rasanya..."

"Ini bukan cuma masalah papa dipecat papanya Prabas aja kan?"

"Vin, jangan mancing papa. Mentang-mentang Prabas pergi kamu leha-leha di rumah. Mending kamu cari lowongan kerja lain."

Tio menepis tangan Kevin yang sedang memijat pundaknya.

"Papa mau kemana?"

"Papa mau istirahat dulu. Nanti malam papa mau ketemu pihak pemasaran mall. Papa mau mulai cari tenant untuk usaha setelah pensiun."

Pria itu masuk ke dalam kamarnya dengan pundak yang luruh ke depan. Kevin mengusap keningnya akibat rasa gugup yang ditahan sedari tadi.

Perjuangan Prabas akan sia-sia. Mau sekeras kepala apapun. Prabas tidak akan pernah bisa menang. Pada akhirnya hanya adiknya yang akan terluka di sini. Kevin meraih rokok yang ada sakunya kemudian berjalan ke teras depan. Pria itu meraih selang air yang tergulung dan mulai menyiram air sambil menghembuskan asap rokok yang keluar dari bibir.

"Nggak bisa, Ai. Kalian harus berhenti sebelum benar-benar ketahuan. Tapi... you look so happy."

Kevin sengaja menyiram tanaman kemangi di ujung halaman dengan air yang lebih banyak. Semua ini adalah salahnya. Seandainya kesalahannya di awal bisa dihapus seperti ia menghapus daunan kering dengan air mengalir. Kevin menggigit rokoknya dengan kesal.

"Damn you, Bas. Aku harus resign juga. Gaji banyak buat apa kalau keluarga berantakan."

***

Hari perpisahan pun tiba. Kaia memeluk teman-temannya untuk terakhir kali. Mereka berjanji akan terus saling kontak. Kaia bukan anak naif yang percaya itu. Itu hanyalah basa-basi. Senyum karir tak lepas dari wajah-wajah mereka. Setelah mereka kembali ke instansi pendidikan mereka masing-masing, mereka akan kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Ia mendengarkan Kepala HR memberikan pidato terakhir. Semuanya mendengarkan dengan seksama. Ponselnya bergetar tanda ada pesan masuk. Kaia membukanya sebentar dan membaca nama pengirim di layarnya. Gadis itu berdeham malu dan membukanya.

Sebuah gambar dua tiket film detective conan terbaru. Hanya itu saja.

Pesan baru masuk menyusul.

I miss you. Meet me on theater on 7 p.m

Kaia mengernyitkan keningnya. Ia kira Prabas baru pulang lusa di hari minggu. Ini masih jumat.

Sebuah foto menyusul masuk ke layar percakapan. Foto selfie seorang pria yang mengangkat kedua tiket film di depan layar poster film. Kaia tahu Prabas tidak terbiasa dengan selfie karena sudut pengambilan gambar juga ekspresinya terlihat canggung sekali.

Okey.

***

Kira-kira Kevin lebih mihak ke siapa ini? Papanya atau Ai?

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now