"Bagaimana?" tanya Kaia penuh harap.

"Hm.." Prabas belum bisa menjawab. Pria itu kembali mencicipinya sekali lagi. Kurang puas, ia mengambil potongan daging kecil dan mengunyahnya. Hm... rasanya memang mirip tapi kurang nendang seperti biasa. Apa yang beda?

"Kamu... nggak suka ya?"

"Suka, ini enak," jawab Prabas berbohong. Ini rasanya seperti sop iga biasa. Tidak seenak buatan Tio Saujana sebelumnya. Mungkin pria itu sudah mulai pikun sehingga lupa akan resep buatannya sendiri.

Kaia menghela napas lega. "Fiuh, senang kalau kamu suka. Nggak sia-sia aku bantu papa."

"Huh? Ini buatanmu?" tanya Prabas bingung.

Kaia mengangguk cepat. Prabas melihat kuah sop di depannya dengan pandangan berbeda sekarang.

"Pantas saja berbeda!" Kaia yang merasa senang seketika menjadi gugup. Ternyata Prabas merasakan perbedaan sop iga yang dibuat. Apakah buatannya tidak enak?

"Aku tahu ini bukan buatan papamu. Ini jauh lebih enak! Setelah suapan pertama aku merasa ada yang aneh. Ini lebih enak. Terima kasih, Ai. Aku akan menikmati ini dengan sepenuh hati."

Kaia hanya bisa melihat Prabas yang makan dengan lahap. Pria itu tidak memberikan jeda. Tak ada satu bulir nasi pun yang tersisa. Bahkan Prabas menghabiskan sopnya hingga tetesan terakhir. Prabas mengembalikan semua peralatan makan dengan senyum lebar.

"Terimakasih, sangat lezat."

Kaia merona atas pujian Prabas.

"Um... kalau kamu mau. Aku bisa buatin makan siang buat kamu di kantor," ucap Kaia malu-malu sambil menutup kembali semua kotak makan dan merapikannya ke dalam tas yang dibawanya.

"Kamu nggak apa-apa? Aku nggak mau buat kamu repot."

"Enggak apa-apa, aku akan melakukannya dengan senang hati."

"Ai... sini sebentar."

Prabas menarik tangan Kaia dan memeluk. Pria itu menahan tubuh Kaia agar tidak menjauh. Kevin tidak akan tahu. Menerima takdirnya, Kaia pun mengalah dan meletakkan kepalanya di pundak Prabas. Ia memejamkan matanya sejenak ketika Prabas mencium pundaknya.

"Ai, kamu buat ini semakin berat. Rasanya ingin aku jadikan istri secepatnya."

Kaia tidak membalas perkataan Prabas. Ia tetap pada pendiriannya. Kaia akan lebih memilih papanya ketimbang Prabas. Namun saat memikirkan itu ada rasa sakit di dadanya. Kaia membiarkan Prabas terus memeluknya karena pelukan Prabas itu perlahan membuat Kaia tenang kembali. Kaia seperti bisa mengandalkan dan bersandar pada Prabas.

"Ai, sebentar lagi masa magangmu akan selesai kan? Apa boleh aku sesekali berkunjung ke rumahmu? Atau ... kalau kamu butuh tempat untuk menyelesaikan studimu, kamu bisa ke sini."

Kaia mengangguk. "Kalau kamu nggak keberatan ketemu papa."

"Buktinya Kevin merestui kita kan? Aku yakin papa juga pasti akan merestui kita."

"Papa?"

"Ah, maksud aku papa kamu."

Kaia tertawa kecil dan melepaskan pelukan Prabas.

"Kamu sembuh dulu. Kalau kamu besok ke kantor, aku bisa buatkan kamu makan siang juga," ujar Kaia untuk mengalihkan pembicaraan dari papanya.

Dan keesokan harinya Prabas pun seketika menjadi orang tersehat di dunia. Saat dokternya berkunjung di pagi hari, Prabas yang selalu bermalas-malasan di atas tempat tidurnya sudah terlihat rapi dengan jas kantornya.

Dokter kembali menyarankan mengambil libur agar bisa terus beristirahat. Tapi keras kepala Prabas tidak ada yang bisa mengalahkan. Jika dia berhasil meyakinkan dokternya kalau selama ini dia sakit, maka mudah bagi Prabas untuk meyakinkan dokternya kembali jika dia sudah sangat sehat bugar.

Prabas tidak akan membuang kesempatan mendapatkan makan siang buatan kaia. Bahkan jika harus melewati samudra pasifik hanya demi sepotong ayam goreng gosong pun, akan Prabas arungi lautan.

Prabas tiba di kantor lebih awal, karena Kaia juga berada di lantai sepuluh, Prabas sengaja melambatkan langkahnya berharap melihat sekelebat sosok Kaia di ruangannya tapi Kaia tidak ada. Tiba di depan ruangannya, Kevin sudah tiba dengan tas makanan yang sama seperti yang Kaia bawa kemarin.

"Dari Ai," ucapnya singkat.

Tidak lupa Prabas mengucapkan terimakasih dan membawa tas itu ke dalam ruangannya. Prabas ingin mengintip dulu agar dia semakin semangat mengerjakan semua pekerjaannya yang tertunda.

Prabas membuka kotak makan pertama berisikan potongan buah. Pria itu membuka satu lagi dan senyumnya tiba-tiba menjadi kaku.

"Ah... wah... ayam yang kelewat matang sungguhan," ujar Prabas dengan senyum canggung kemudian menutup kembali semua kotak makan. Prabas tertawa kecil mencoba membohongi dirinya sendiri.

Prabas memotret tas tersebut dan mengirimkannya kepada Kaia.

Untuk: Ai Nona Cantik

Tidak sabar untuk jam makan siang. Terlihat sangat lezat.

***

Kita senang-senang dulu yaa... ^^

Jangan Bilang Papa!Where stories live. Discover now