Setelah beberapa waktu memilih, pandangan Ziega tertarik pada sepasang jam tangan Rolex yang modelnya cukup klasik namun mampu menarik perhatiannya.

Tanpa menunggu lama, dia segera membeli benda tersebut dengan raut wajah yang bisa di bilang tidak terbaca.

"Lo mau makan dulu?" tanya Ziega pada gadis mungil yang saat ini sedang berjalan di sampingnya sambil menikmati sebuah es cream cone yang sedang yang pegang.

"Ini, Lora'kan lagi makan," celetuknya sambil mengulurkan apa yang ada di genggamannya.

"Makan-makanan berat maksud gue."

Ilora mengelengkan kepalanya, "Nggak deh, Lora masih kenyang." Tolaknya dengan kepala yang bergeleng beberapa kali, yang tentunya ikut membuat rambut panjang gadis itu bergerak ke berbagai sisi.

"Beli brownies mau?" tawar Ziega tiba-tiba.

"Buat dibawa ke rumah, dan dimakan nanti." Lanjutnya lagi.

Ilora menghentikan langkahnya mendadak. Tatapan mata gadis itu menatap lekat manik mata pemuda di sampingnya. "Ega tau kalau Lora suka brownies?"

"Tau."

"Ega inget?" tanya Lora dengan nada suara yang semakin terdengar antusias.

"Kan lo emang sering makan brownies kalau istirahat, gimana gue nggak inget. Orang lo makannya aja langsung di depan mata gue," sahut Ziega santai.

Seketika bahu Ilora meluruh, dia kira, lelaki itu mengingat tentang kenangan kecil mereka berdua. Namun, pupus sudah harapan Ilora saat mendengar jawaban yang jauh berbeda dari apa yang dirinya harapkan.

"Gimana? Lo mau beli brownies apa nggak? Selagi kita masih di sini?" tawar Ziega sekali lagi.

"Nggak deh, di rumah masih ada Brownies, tadi Lora udah minta Ibu buat bikinin soalnya."

★★★★★

Ilora memandang bangunan yang berdiri megah di depan matanya sendiri. Bangunan yang ukirannya jauh berbeda dengan rumah yang saat ini dia tempati.

"Ke rumah gue dulu ya, gue mau ngasih jam ini. Kalau nunggu nanti takutnya mereka keburu berangkat lagi."

"Lora tunggu di—"

"Lo ikut gue masuk, gue nggak mau di tuntut keluarga lo, kalau lo sampai diculik apa ilang."

"Lora udah gede Ega. Nggak bakal ada yang berani nyulik Lora."

"Tapi tubuh lo masih kaya bocah SD Almero."

Mendengar hal itu, bukannya tersinggung, Ilora justru menunjukkan cengiran polosnya. Dalam hati ia merasa bersyukur untuk detik ini dikasih kesempatan bisa lebih dekat dengan sosok yang selama ini dirinya kagumi.

"Yyyyeee! Malah cengengesan kagak jelas, buru masuk Almero! Waktu kita nggak banyak." Karena sedikit terburu, Ziega menarik begitu saja tangan Ilora, dan membawanya memasuki bangunan mewah yang selama 17 tahun ini menjadi tempat tinggalnya.

Benar saja seperti dugaan lelaki itu, baru saja ia membuka pintu, sudah lebih dulu di suguhkan pemandangan yang membuat dadanya mencelos.

Kedua matanya bisa dengan jelas, menatap Sofie yang tengah menggeret sebuah koper berukuran sedang, juga di sampingnya terlihat Rian yang sedang sibuk dengan ponselnya dan tengah melakukan sebuah panggilan.

Ilora menatap pemandangan di depan dia dengan tatapan tidak terbaca, sedikit banyaknya ia sudah mulai bisa menebak, jika kedua orang tua Ziega memang sesibuk itu. Terbukti, ini tanggal penting untuk keduanya. Namun, mereka justru lebih mementingkan urusan mereka masing-masing.

"Ma, Pa buru-buru?" tanya Ziega sedikit canggung. Bahkan suaranya nyaris tertahan. Rasanya lelaki itu ingin sekali mengumpatti nasibnya sendiri yang tidak seberuntung anak-anak lain di luaran sana.

"Iya," sahut Sofie dengan suara yang sama canggungnya. Terlihat sekali seperti sudah lama tidak terlibat obrolan sebagai mana keluarga kecil pada umumnya.

"Ma, Ayo!" Rian yang memang baru saja menyelamatkan pangilan, menatap heran istrinya yang masih berdiri tidak bergerak sedikitpun. Ia sendiri tidak sadar jika putranya tengah berdiri di depannya saat ini bersama gadis yang terasa asing untuknya.

"Ziega, ada apa?" Kalimat itu keluar dari mulut Rian.

Ziega mengigit bawah bibirnya sendiri, dan tangannya terulur memberikan sebuah paper bag berisikan 2 jam yang baru saja ia beli.

"Buat kalian."

Sofie dan Rian saling pandang satu sama lain.

"Happy Anniversary Ma, Pa." lanjut Ziega lagi, seolah menjawab kebingungan kedua orang tuanya.

Lagi dan lagi, sepasang suami istri itu kembali saling tatap, seolah mereka lupa, atau sengaja tidak ingin mengingat jika hari ini merupakan tanggal penting untuk pernikahan mereka.

"Terima kasih," sahut Rian dengan suara tersendat.

"Kita buru-buru, kamu jaga diri. Kalau uang bulanan kamu habis bisa hubungi Om Revan. Nanti Papa suruh sekertaris Papa transfer seperti biasa." Tepat setelah mengatakan hal tersebut mereka berjalan beriringan keluar rumah meninggalkan putra tunggalnya yang menatap sendu punggung kedua manusia yang baru saja pergi.

"Ega, Ega nggak papa?" tanya Ilora, menatap lamat lelaki yang saat ini tengah menundukkan kepalanya.

"Nggak papa, emang gue kenapa?" tanya Ziega masih mencoba untuk bersikap seolah tidak terjadi apapun.

"Perasaan kecewa, sedih, marah, manusiawi kok." sambung Ilora tiba-tiba. Gadis itu bisa melihat seantusias apa Ziega saat berusaha memberikan hadiah terbaik untuk kedua orang tuanya. Dengan tatapan penuh binar sedari tadi Ziega berulang kali lelaki itu melirik ke arah paper bag yang ia bawa. Dan bisa Ilora tebak, jika lelaki itu berharap kedua orang tuanya akan sama antusias seperti apa yang ia rasakan.

Namun, sayangnya harapan Ziega harus pupus, saat melihat respon Sofie, juga Rian yang seolah biasa saja.

★★★★★

Zielo{On-going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang