11 | Hujan

13 4 2
                                    

Bel sekolah berbunyi menandakan waktu untuk para murid pulang ke rumah masing-masing. Para murid kelas pun segera bergegas keluar kelas dengan perasaan lega. Kecuali satu orang, atau dua?

Dyan memperhatikan gerak-gerik Virsa yang perlahan memasukkan barang- barangnya ke dalam tas. Dyan bimbang harus menghampiri Virsa atau tidak. la berniat untuk mengantarkannya di halte seperti waktu itu. Tetapi lagi-lagi ia masih malu dan gengsi untuk melakukan itu.

PLAK!

"Sana cepet!" Ujar Varrel setelah menepuk 'pelan' punggung Dyan.

Dyan menatap sinis Varrel dan mengusap pelan punggungnya. la menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

la jinjing tasnya dan mulai melangkah menghampiri Virsa. "O-oy?" Gugup Dyan.

"Bego. Panggil Namanya!!!"

Virsa melirik ke arah yang memanggilnya. la tersenyum. "Gimana, Dyan?"

"Lu... Halte?" Tanya Dyan tidak jelas. 

"Iya."

"...Anter?" 

"Ngga usah. Makasih ya."

Dyan terdiam canggung. Ia mengusap lehernya dan mengangguk kaku. Di saat itulah ia sadar, bahwa Virsa benar-benar marah. 

Tindakan yang seharusnya Dyan lakukan saat ini adalah menahan Virsa. Bila perlu, memaksanya untuk mau diantar. Ia harus minta maaf dan menjelaskan. Tetapi Dyan merasa canggung. Merasa bahwa hubungan mereka tidak sampai di titik ia harus menjelaskan. 

Terlalu lama berdiam diri, Ia bahkan tidak sadar bahwa Virsa sudah menuju pintu kelas. Di detik Virsa melangkahkan kakinya keluar dari kelas, Dyan merasakan rasa penyesalan mengguyurnya.

Dyan menghela nafasnya berat. Ia mengepalkan tangannya.Mungkin ia lebih buruk daripada Arsa. 

PLAK!

Dyan kembali merasakan pukulan di belakang kepalanya. Ia mengusap kepalanya lemas dan melirik ke orang yang melakukannya. 

"Bego! Pengecut Lo?!" Gertak Varrel.

"Mungkin."

"H-hah?"

"Gue pengecut."

Varrel menjadi merasa tidak enak. Ia mengusap kepala Dyan di bagian yang ia pukul tadi. "J-jangan depresi gitulah," Ujarnya. 

Arsa terdiam melihat Dyan. Sedikit kecewa dengan tindakan Dyan. Namun, bagaimana pun, Dyan sendiri tidak paham mengenai perasaannya. 

Arsa merangkul Dyan dan menepuk bahunya. "Ayo. Mumpung Virsa masih di depan. Masih belum terlambat," Ujar Arsa menyemangati.

"B-bener! Buruan samperin!" Sahut Arsa.

"...Kalian ngomong kek gue bakal kehilangan sesuatu."

"Menurut lo sendiri gimana?"

Dyan tidak menjawab pertanyaan itu. Ia melepas rangkulan Arsa dan melangkah keluar kelas. 

"Dih. Telat puber kalik ya?" Ujar Varrel. 

•••

Dyan melangkah sedikit lebih cepat. Seperti mengejar sesuatu. Sesuatu yang penting. Sesuatu yang akan hilang jika tidak ia tahan. 

Suhu di sekitarnya menjadi dingin. Dyan melihat sekitaran. Beberapa tetes air mulai berjatuhan dari langit yang tadi sangat cerah. Siapa sangka akan turun hujan ketika cuaca sangatlah panas tadinya?

Dyan melanjutkan langkahnya menuju gerbang sekolah. Berharap Virsa masih di sana. Entah mengapa ia memiliki firasat baik setelah melihat rintikan air yang mulai berjatuhan. Ia merasa hujan seperti membantunya. Membantunya menahan seseorang. 

Dan benar saja, belum sempat ia mencapai gerbang sekolah, ia sudah menemui Virsa. Berdiam diri menatap air langit yang terus berjatuhan. Sepertinya ia tidak membawa payung. 

Dyan merasa lega. Sangat lega. 

Ia menghampirinya lalu menepuk bahu Virsa. Virsa sedikit terlonjak terkejut.

Entah karena terbawa perasaan atau bagaimana Dyan tersenyum. Ia tidak tahu alasan mengapa ia tersenyum. Ia hanya senang. Senang dikarenakan gadis di depannya. Lagi-lagi, Virsa membuatnya merasakan berbagai emosi. Ia tidak suka, namun ia juga tidak membencinya. 

Padahal baru saja Virsa merasa down, karena itu ia tidak mau berada di dekat orang yang membuatnya merasa seperti itu. Ia berniat untuk langsung beristirahat di rumah dan menjadi lebih baik besoknya. 

Tetapi nyatanya, melihat senyum Dyan sudah membuatnya merasa lebih dari baik. Entah sihir apa yang Dyan berikan padanya.

Merasa meringis terlalu lama, Dyan berdehem malu. "H-hujan ya?" Basa-basinya.

Virsa mengedipkan matanya beberapa kali menyadarkan dirinya dari lamunannya. "Oh.. Iya," Jawabnya. 

Suasana canggung kembali menyerang. Sejenak Dyan melupakan tujuan ia menghampiri Virsa. Ia menggali otaknya mencoba mencari cara untuk membuka topik.

Dyan melepas tas slempangnya dan merogoh isinya untuk mengambil sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah payung. Kemudian ia sodorkan payung itu kepada Virsa.

"Pake."

"...? Ngga usah kan kamu juga but–"

"Gue ada jas hujan. Lagian gue naik sepeda. Lu naik bis kan?"

Virsa mengangguk ragu. Ia merasa sedikit gengsi, namun ia sendiri memang membutuhkannya. "...Cie perhatian," Iseng Virsa.

Dyan berusaha keras untuk tidak membentuk senyuman di bibirnya dan mencoba memasang muka kesal. Entah kenapa ia merasa geli sendiri mendengar Virsa kembali menggodanya.

"...Geer."

Virsa kembali dengan kekehan andalannya. "...Kalau gitu aku duluan ya. Makasih," Ujar Virsa sambil mulai membuka payung Dyan.

"Bentar!" Henti Dyan.

Sesuai kata Dyan, Virsa menghentikan langkahnya. Ia sedikit memringkan kepalanya menatap Dyan. Dyan menjadi salah tingkah sendiri dan sejenak lupa apa yang ingin ia katakan.

"...Mey. Cuman temen."

Virsa mengedipkan matanya beberapa kali. Bukan karena ia tidak paham. Entah bagaimana ia bisa mengetahui maksud dari Dyan. Ia terkejut, karena Dyan sendiri mengklarifikasi kan langsung kepadanya. 

Virsa tertawa. Walau terhalang oleh suara hujan yang terus berjatuhan, gelak tawa Virsa bisa terdengar jelas di telinga Dyan. Muka lelaki itu memerah panas.

"M-MAKSUDN–"

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Virsa mendekati wajahnya. Ia tersenyum lebar. 

"...Makasih."

Virsa mengangkat payung yang telah ia buka ke atas kepalanya. Ia mulai melangkah keluar dan melambai ke arah Dyan.

Dyan tidak melambai balik. Namun ia terus menatap sosok Virsa hingga ia hilang dari pandangannya. 

Setelah menyadari Virsa telah menghilang, Dyan mulai berlari ke arah parkiran, membiarkan hujan membasahi tubuhnya.

Ia pun mulai mengeluarkan dan menaiki sepedanya. Ia tatap lama sejenak hujan yang tak kunjung henti di depannya. Bukannya merasa kesal, ia tersenyum. Ia merasa bahwa air yangb erjatuhan ini telah membantunya.

"...Makasih," Ujarnya kepada hujan.

Dyan mulai mengayuh sepedanya keluar dari sekolah.

Tanpa jas hujan.

Weirdos.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang